Saya Menyesal menjadi Santri
Pada hari ini, beberapa orang memanggil hari ini sebagai hari lahir. Tepat, 22 Oktober. Ya! 22 Ok-to-ber . Hari Santri , begitu katanya. Di hari yang berjuta-juta orang tengah menunggu; menantikan; merindukan; mendambakan; atau kata lain yang dapat kalian gunakan sebagai wujud pengharapan agar hari ini datang, saya mengakui bahwa saya menyesal menjadi santri. Pada hari pertama kakiku menapak di pesantren, mataku melihat sepasang mata yang paling berharga di dunia ini menitikkan air matanya. Ibu. Ada peluh di bawah matanya; ada kekhawatiran yang ku baca. Barangkali Ibu ragu apakah aku bisa hidup mandiri dengan baik meski umurku sudah genap lima belas tahun. Pada senja di pojok jemuran dengan sarung juga jilbab yang berterbangan khas jemuran pesantren, aku seringkali terdiam dan melamun. Bukan karena aku tengah kesurupan melainkan, perihal problem-problem di pesantren yang rupanya tak semudah aku bayangkan untuk dihadapi. (Juga) pada hari-hari liburan pesantren. S