Saya Menyesal menjadi Santri


Pada hari ini, beberapa orang memanggil hari ini sebagai hari lahir. Tepat, 22 Oktober. Ya! 22 Ok-to-berHari Santri, begitu katanya. Di hari yang berjuta-juta orang tengah menunggu; menantikan; merindukan; mendambakan; atau kata lain yang dapat kalian gunakan sebagai wujud pengharapan agar hari ini datang, saya mengakui bahwa saya menyesal menjadi santri.

Pada hari pertama kakiku menapak di pesantren, mataku melihat sepasang mata yang paling berharga di dunia ini menitikkan air matanya. Ibu. Ada peluh di bawah matanya; ada kekhawatiran yang ku baca. Barangkali Ibu ragu apakah aku bisa hidup mandiri dengan baik meski umurku sudah genap lima belas tahun.

Pada senja di pojok jemuran dengan sarung juga jilbab yang berterbangan khas jemuran pesantren, aku seringkali terdiam dan melamun. Bukan karena aku tengah kesurupan melainkan, perihal problem-problem di pesantren yang rupanya tak semudah aku bayangkan untuk dihadapi.

(Juga) pada hari-hari liburan pesantren. Saat bibirku hanya dapat tersenyum kepada orang-orang sekitar rumah yang selalu beranggapan bahwa santri, sekali nyantri langsung ahli di bidang ilmu agama. Masalahnya, saat aku bingung untuk menjawab, kesan yang didapat justru sebuah ketakutan kalau-kalau aku sampai salah menyampaikan jawaban yang benar.
            
Tiga paragraf di atas hanyalah sekelumit kepahitan. Tentu ada lebih banyak lagi.

Hari ini, di hari peringatan santri nasional, saya benar-benar mengakui bahwa saya menyesal menjadi santri. Apa yang amat sangat saya sesali? Saya sangat menyesal bahwa saya menjadi santri tidak genap sampai tiga tahun secara mukim. Kenapa tidak sedari usia yang leih muda dari usia lima belas tahun?. Saya amat menyesali itu. Penyesalan kedua selepas saya menjadi santri adalah kurang sungguhnya saya ketika menimba ilmu di pesantren. Sungguh.
            
Barangkali jika saya benar-benar bersungguh-sungguh, air mata dari sepasang mata Ibu yang jatuh di hari pertama masuk pesantren dapat saya gantikan dengan prestasi dan kebanggaan di hari ini; barangkali jika saya benar-benar bersungguh-sungguh, kebingungan yang saya takutkan saat liburan pulang dapat saya gantikan dengan senyuman sederhana atas rasa bahagia telah berbagi.

Tapi, ya sudahlah. Bagaimanapun, rintik hujan sudah memeluk bumi, Tak dapat lagi dia memeluk awan dan menjadikan langit kembali terang. Yang saya pahami hari ini adalah (jika beberapa dari kalian adalah orang yang sama seperti saya tengah menyesak di antara sela-sela sesal) tanamkanlah bahwa kita semua masih punya masa depan. Jadi, bermimpilah setinggi mungkin selagi kita bisa. Kita harus percaya bahwa mimpi-mimpi hari ini yang sudah terwujud adalah mimpi-mimpi di hari kemarin yang awalnya tampak sangat tidak mungkin. Maka bermimpilah semustahil mungkin lalu wujudkan mimpi-mimpi itu. Wujudkan dan berikan pengabdian terbesar kita kepada guru-guru terbaik kita; kepada orang-orang terbaik kita; kepada orang-orang baik di sekeliling kita lewat mimpi-mimpi yang sudah terwujud itu. Fighting!

Yang terpenting dari sebuah kepahitan adalah kemauan diri untuk berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan yang lebih penting dari menjadi pribadi yang lebih baik adalah pribadi yang bermanfaat.


Salam berjuta!
Belajar, berjuang, bertaqwa.
[ma.ms, 22 Oktober 2019]
           

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16