Haruskah Santri Lahir dari Pesantren?


Hal kedua yang harus digaris bawahi sebelum kalian terfokus pada kalimat terakhir tulisan ini adalah bahwa kalian harus tahu terlebih dahulu, meskipun topik yang dibahas di dalam tulisan ini perihal santri tetapi penulis hanya sekadar pribadi yang hidup dan dekat dengan para santri. Jadi, bolehkah saya untuk tetap menulis? Tidak apa ya. Sedikit bertanya dalam benak, “Santri nusantara. Haruskan menjadi santri adalah pemilik tubuh yang seutuhnya masuk dan keluar pondok pesantren dengan sarung yang terus update atau dengan kitab kuning yang tak pernah lepas dikandung badan ?” Ku jawab “barangkali sudah tidak”.  

Saat ini santri sudah dapat beradaptasi dengan cepat atas segala tuntutan jaman yang terus maju. Salah satu istilah yang sudah tidak asing di telinga kita adalah “santripreuner” yang fokus pengembangannya adalah dunia bisnis. Pengembangan santripreneur ini sudah mulai diterapkan di lingkungan pondok pesantren. Meskipun saat berbicara perihal santri, beberapa orang kerap menyimpulkan kata santri masih tergolong ke dalam ejaan lama. Seolah di dalamnya menjadikan kata santri yang jadul, monoton, klasik, mmmmmmm atau yan lain. Berbeda dengan pendapat tersebut pendapat lain yang dapat dikatakan sedikit lebih tinggi lagi dengan KBBI menerjemahkan bahwa kata santri dapat dijabarkan sebagai, (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; dan (3) orang yang saleh. Benar adanya, sungguh mulia sekaligus berat tanggungjawab yang diemban dari sosok santri, maka bukan hal yang sederhana lagi bagi seseorang yang sudah menyandang santri. 

Pesan kyai Said Aqil Siradj yang dengan jelas disampaikan oleh beliau tentang santri adalah “Santri bukan hanya yang keluaran dari pesantren, santri adalah seseorang beragama islam yang mempunyai akhlaqul kharimah dan hurmat terhadap ulama, walaupun tidak pernah masuk pesantren”. Ingatkah saat kita sudah mulai dewasa mengenal dunia?; mengenal komunitas?; mengenal banyak teman dari berbagai latar belakang?. Yang amat sangat saya ingat perihal itu semua adalah teman-teman santri saya. Bersyukur sekali sampai saat ini saya dikenalkan dengan santri beserta kebiasaannya, karakternya, ketulusan hatinya, adabnya dan masih banyak lagi. Keseluruhannya mencerminkan kehidupan pesantren tempat mereka menimba ilmu agama. Berada ditengah-tengah mereka secara tidak langsung menuntut kita untuk berperilaku seperti mereka dan kemudian juga menjadi sebuah kebiasaan sehingga berefek pada pembentukan karakter santri yang berjiwa positif.  

Menemukan diri sendiri dan menjadi santri merupakan perkara yang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Maka sungguh sebenar-benarnya terimakasih untuk teman-teman santri, yang telah saya temukan dan menuntunkan kebaikan; yang telah ikut serta mengantarkan saya menemukan sekaligus memaksimalkan segala potensi yang ada dan menjadikan saya menjadi diri sendiri. Ucap syukur yang tak terhenti sampai saat ini, karena santrilah saya sampai pada hari ini. Santri; pengantar dan penuntun untukku lebih dekat dengan para kyai dan ulama. 

Pada intinya, di hari peringatan santri ini yang terpenting bukanlah euforianya semata. Bukan permasalahan peringatan hari nasionalnya. Ada hal yang penting, yakni memahami kata santri yang sesungguhnya, mengetahui sejarah santri pada umumnya dan mengetahui peran santri dalam merebut kemerdekaan negara Indonesia yang mana itu semua tak lepas dari karakter dan pembekalan diri seorang santri. Terakhir, tidak ada yang lebih penting dari kalimat apapun mengenai santri karena yang lebih penting dari pengakuan sebuah santri adalah pancaran Akhlakul karimah. 


Terimakasih, salam pelajar nusantara 
Belajar, berjuang, bertaqwa.

(Azis Aneko Putro) 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16