Budak Cinta


Perbucinan duniawi masih menempati posisi teratas dikalangan mahasiswa, contoh kecilnya adalah; mahasiswa lebih memilih menghabiskan waktu dimalam minggunya dengan jalan-jalan, ngopi di Kafe, meletakkan beberapa warna tawa dengan pasangannya dibandingkan dengan nongkrong di warung kopi bersama teman-teman tongkrongannya.

Barangkali.. Tuhan menciptakan kopi, agar mereka; yang tidak memiliki pasangan tak terlalu merasa kesepian dimalam minggu.Hal tersebut sangatlah lumrah, pun aku juga tidak bisa menafikan itu.Kamis, 19 September 2019, tepat selesai sholat maghrib. Awal mula aku memberanikan diri untuk menyapanya lewat whattsapp, mengetik salam sambil memikirkan topik apa yang akan aku bahas untuk mengajaknya bertemu supaya bisa berlama-lama mengobrol dengannya disatu beranda meja yang sama.

 Tanpa kusadari detak jantung kian berdegub lebih kencang saat ada pesan masuk yang tidak lain adalah jawaban salam darinya.Arasywati, itu adalah akhiran dari nama panjangnya, perempuan kelahiran 2001 yang terlihat seperti bocah yang baru lulus SMP. Namun tidak, dia mahasiswi semester 3 jurusan Farmasi Fakultas Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tingginya hanya sepundakku, aku tidak menyangka dia satu kampung halaman denganku.

Dia mengaminkan ajakanku untuk menunaikan temu di warung kopi yang tidak begitu jauh dari kosanku. Ntah apa yang membuat ia terlihat begitu anggun, dengan kerudung cokelat yang ia kenakan, juga celana kotak-kotak dan baju berwarna cream, asyik sekali memandangnya. Malam itu aku tidak sadar, bahwa ini bukanlah kali pertama aku jumpa muka dengannya, dia mengingatkanku bahwa beberapa bulan sebelumnya kami sempat bertemu kala perkumpulan mahasiswa kepulauan seribu untuk membahas masa depan tanah kelahiran kami.

"Kak, kitakan pernah ketemu sebelumnya, inget ga?" tanyanya kepadaku untuk memecahkan keheningan perjalanan.  Aku mengangguk sambil menatap sunggingan senyumnya dikaca spion sebelah kiri, tandaku mengiyakan.Jalanan setapak, penglihatanku temaram, udara mengampas, isi pikiranku terjerembab kebahagiaan, tak perduli ingar-bingar kendaran kiri maupun kananku, kami saling bertukar cerita kasih yang telah menjadi kisah.

"Es susunya bang satu", teriaknya memesan ketika sampai di warung kopi.Sedang aku tetap setia kepada pahit kopi, aku merasa ada yang beda, bahwa pahit kopi hari ini terbuat dari upaya rindu yang saling melupakan.Semakin malam, semakin dingin, semakin rindu, semakin candu pada apa yang kemudian kami sebut ibadah temu itu, ia berbicara apa saja yang berkelebat didalam kepala maupun hatinya, tanpa beban. Kami larut dalam cerita, sehingga lupa bahwa malam telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. "Aku sangat berterima kasih kepada tuhan karena telah menciptakan kopi dan mempertemukanku dengannya", Gumamku dalam lamunan ditubir cangkir kopi yang kupesan sambil menyeruputnya perlahan.

Aku suka cara malam yang menjadikan; kopi semakin nikmat, kehilangan semakin hikmat dan rindu yang semakin kurang ajar. Aku mengakhiri pertemuan itu dengan menjelaskan pertanyaan yang ia lontarkan perihal organisasi. Bagiku, malam selalu punya cara untuk menjadikan yang biasa menjadi tidak biasa.

"Kak, pulang yuk, next time kita agendakan lagi untuk menuntaskan cerita yang belum selesai". Ajaknya.. Aku mengangguk tanda mengiyakan. "Meskipun dengan cara sederhana, dan waktu yang amat singkat ini. Aku berharap kau tetap mengenang hal-hal menyenangkan yang pernah terjadi diantara kita malam ini, selamat tidur , selamat mengistirahatkan kehilangan pada pejam". Kataku sebelum dia beranjak kerumahnya setelah dia turun dari motor saat mengantarnya. Dia tersenyum sambil berlalu, dia membuka dan menutup pintu rumahnya, tak ada lagi Arasy dihadapanku.

Pagi, selepas pertemuan malam itu, di Ciputat; embun merayap, dari bunga ke kaca. Di dadaku; kau hinggap, dari tatap ke lembar doa. Namanya adalah doa yang selalu menggema disetiap jeda kopiku kala pagi. Dia selalu meracuni, serta menarik perhatian dan langkahku dengan senyumnya yang sulit menghindar dari pikiran. Sangat manis, aku sampai lupa kalau aku punya jantung, ia berdetak tak teratur, meluap-luap, ingin meledak, tapi lacurnya, kopiku tidak akan pernah menjadi kopinya, sebab ia lebih menyukai es susu.

Memang susah untuk mempertahankan harap ditengah keputusharapan. Namun padanya, pada matanya, hatinya dan seluruhnya; kutitip banyak sekali hal, yang kuharap dia menjaganya dengan sangat baik.Kau tahu..Rasy!!!Rindu ini seperti pahit kepada kopi, tak mengenal masa, tak mengenal usia. Maka, selama apapun kau diamkan, ia tak bisa mengenal mati. Kemarilah, telah kuseduhkan sekopi rindu, untukmu, untuk siangmu, dan untuk apa-apa yang semoga saja mampu sedikit meredakan lelah, meskipun aku tahu kau tidak menyukainya. Paling tidak, kau mau sedikit menyeruputnya hanya untuk sekadar menyicipi buatanku.

Sampai bertemu pada jam, menit, dan detik berikutnya, meski hanya untuk sekadar saling sapa..




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16