Maret, 2016


Air mataku membisu, melihat hujan ikut meramaikan pedihnya bumi saaat ini. Dari lapangan sebrang yang terhitung jauh dari pesantren, kakiku terus melawan lemas yang singgah untuk tetap berlari. Tidak peduli hujan membanjiri pelataran di depanku, kakiku terus saja berlari. Tidak peduli gemuruh petir menulikan telingaku, kakiku terus berlari. Tidak peduli otot-otot tubuhku kaku, kakiku terus melawan untuk berlari
Sampai di depan pesantren, gaung tangisan sudah menggema begitu nyata. Ribuan santri menangis penuh air mata. Ribuan santri saling memeluk tanpa kata dengan Al-Qur’an yang sudah menempel erat di dada kanan mereka. Hari ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana ribuan santri benar-benar merasakan kehilangan yang amat dalam, ya! Tepat hari ini.
Aku sampai di depan kamarku dengan baju olahraga yang masih penuh keringat. Tubuhku lemas dan begitu pening., seluruh pembuluh darahku kesemutan, dan air mataku sama sekali tidak mau berhenti menangis. Menangisi kepergian makhluk-Nya yang sangat mulia, Ibu pesantren kami tercinta. Seluruh anak kamarku sudah bermukena, sama, dengan air mata yang membasahi wajah mereka. Kami saling memeluk, sama-sama merasa kehilangan tanpa kata. Kami semua menangis, sama-sama menangis merasa kehilangan tanpa bahasa.
Hari ini, ya! Hari ini, tidak ada yang tahu bahwa Allah akan memanggil ibu kami begitu cepat, padahal shubuh tadi kami masih berjamaah di masjid pesantren. Hari ini, tidak ada yang tahu bahwa Allah akan memanggil ibu kami begitu cepat, padahal pagi tadi seorang santri putra baru saja menghadap beliau dengan keramahan luar biasa seperti biasanya. Hari ini, tidak ada yang tahu bahwa Allah akan memanggil ibu kami begitu cepat, padahal pagi tadi kami semua masih berangkat sekolah seperti biasanya. Tidak ada yang tahu.


Tidak ada yang tahu. 

Padahal rasanya baru kemarin malam Ibu memberikanku semangkuk kolak saat ramadhan. Dengan sekotak persegi panjang dan beberapa lembar buku lengkap beserta penanya.

Tepat di samping pintu aula yang masih terekam jelas di memoriku. Di malam dimana sepasang demi sepasang mata mulai melelap. 

Iya, Ibu berdiri di samping pintu aula. 

Membawakanku semangkuk kolak. Lengkap dengan keramahan dan sifat keibuan Ibu yang luarbiasa.

Ibu. Aku rindu. :) 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16