Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Sepotong Rindu yang Mulai Mendingin

Gambar
by : Aul Izinkan aku menyapamu. Melalui desau angin dan rintik hujan di sore hari. Dalam riuhnya suara semesta Aku membisikan namamu. Juga sepotong rindu yang sudah mulai mendingin. Deru kereta tadi pagi. Seakan menertawakan kebodohanku Aku yang masih berdiri di tepian rel Mengumpulkan sisa-sisa hangatnya pelukanmu. Masih kuingat segaris senyuman Terbingkai jendela kereta yang berdebu. Lalu seakan sang waktu melaju begitu cepat. Secepat deru yang semakin menjauh. Membawamu bersamanya. Izinkan aku bercerita. Melalui purnama yang tersenyum malam ini. Perihal sepotong rindu yang mulai mendingin. -Jtr, 5 Juni 2017-

Suara dari Timur

Gambar
by : Anonim He kau bajingan tanpa busana Kau tutup erat pusarmu hingga kau tak merasa malu Dimanakah kau simpan rasa banggaku Yang dulu ku torehkan hanya untukmu Ya.. hanya untukmu!! Air mata darah dari sesal dihati mereka Kau tawarkan madu-madu dalam lidahmu Tapi mengapa racun-racun dalam tempurungmu andil berperan? Ratapan-ratapan, jeritan-jeritan, hingga mentari turut menangisi Lidahmu menari-nari bagai belati Terasa tersayat hatiku tak mampu lagi meronta Sang fajar hanya dapat bersaksi dengan tangis tanpa tetesan Menyaksikan tarian lidahmu yang kosong tanpa makna Kusampaikan goresan tinta ini Entah kau hiraukan atau tak begitu saja Aku tak peduli karena aku memang tak berhak Tapi ku memohon pada sang fajar Sampaikanlah rengekan ini pada tuhanmu

“Bisik Rintik”

Gambar
Oleh : Zahidah Amatillah Hujan membisikku malu Tentang lelaki dingin di bawah payung pilu Tentang lelaki kaku tak mau tau Hujan membisikku dengan syahdunya Dengan nada di setiap kali angin berhembus menariknya Dengan irama di setiap rintik jatuhnya Hujan bilang, Ia akan mendatangkan rindu pada si empunya kalbu Tapi nyatanya aku tak menemukan rindu itu Atau mungkin Aku yang hanyut oleh ketidakpekaan? Atau memang Sejatinya rindu itu (tak) pernah ada? Mengapa hujan selalu dipersalahkan atas rintiknya yang mendatangkan rindu? Padahal rindu adalah suatu ketiadaan bagiku Hujan selalu berbisik Sedang aku tak pernah tertarik Hindarku dari si pembawa rintik Bersama derap langkah yang melemah Bersama daun layu yang membasah Serta hembusan angin dalam relung resah

Sebab-Sebab Berlainan Tanggal Satu Qamariyah

Gambar
picture  source : www.google.com By: Anonim Sederhana saja, akulah biangnya........ Namaku hilal, intiplah bagaimana lahirku: Kumpulan pertama, fikih sebutannya Harus melihatku, bukti Jangan sendiri, Saksi Kumpulan kedua, astronomis akrabnya Suhu, ketinggian, tolak ukur Satu lagi, antara aku dan matahari, sudut elongasi Kumpulan ketiga, matematis gelarnya Angka berderet, utak-atik Ketemu tanggal lahirku Kumpulan keempat, sosial politis Nanti, tunggulah bapak menteri Mengetok palu, aku sah hadir Kumpulan kelima, sosial kultur Seperti kanjeng Nabi bertitah pada sahabat Engkau patuh, manut, dalam ucapan junjunganmu, aku resmi muncul Aku, hilal Ya, begini Lahirku banyak metoda rupanya 17 Mei 17

Perempuan di Busway

Gambar
              picture source : www.google.com                          BY : ANONIM                                                   Sebagai ibukota, Jakarta menyediakan lapangan pekerjaan melimpah bagi mereka yang berpendidikan atau mereka yang memiliki orang dalam. Setiap pagi, bahkan sebelumnya, jutaan penduduk menyerbu Jakarta, adu sikut adu mulut, adu kecepatan adu ke egoisan, semua seolah lapar akan harta kekayaan. Ketika malam tiba, jutaan orang tadi kembali, Jakarta mulai kesepian, semua pergi seolah tanpa salah, padahal mereka meninggalkan polusi dan sampah. Begitulah rutinitasnya, jutaan penduduk dari Tangerang, bogor, Bekasi dan depok setiap hari pulang pergi mengais rejeki di kota metropolutan, termasuk aku dan seorang perempuan itu. Hari ini aku lebih dulu masuk ke dalam bus, kemudian beberapa saat ia menyusul. Kulihat semua bangku sudah terisi, ia menoleh kesegala arah, berharap ada yang mau mengalah. Sebagai laki laki, yang memang seharusnya lebih kuat, aku

Bila Cinta Belum Saatnya

By : Devi Adia Bila cinta belum saatnya maka pastikan kau tetap berjalan dijalanNya menjadi insan pembelajar dan terus memperbaiki diri bila cinta belum saatnya jangan sampai kau lalai akan panggilanNya meninggalkan kalamNya bahkan kau lupa menyebut namaNya bila cinta belum saatnya jangan bersedih apalagi berputus asa yakinlah bahwa Dia telah mempersiapkan seseorang yang pantas engkau cintai bila cinta belum saatnya jangan terperdaya pada mereka yang telah menemukan jangan iri terhadap mereka yang lebih dahulu karena Takdir cinta adalah hak Dia semata bila cinta belum saatnya alihkan dirimu pada hal kebaikan berusaha menjadi teladan agar nanti kau bisa pantas dengannya

Merendah

Oleh : Suis_Belle Jika kau Tanya siapa Aku Maka tengoklah gundukan pasir digurun sahara Lihatlah tetesan hujan disungai waiwa Begitu juga secuil debu ditengah adukan semennya Jangan kau Tanya seberapa pentingnya Aku Tatkala kau lihatku di pelupuk matamu Apalah Aku ketika IA memanggil Ku enggan mendekat Bahkan ketika jemarinya mendekap Aku mengelak hendak menjauh Padahal, tentu Aku tau Hanya IA yang mampu menerimaku Tatkala semua menjauh dari sisiku

TASAWUF DAN NASIONALISME

Nama : Tirta Indah Perdana Fakultas/Jurusan : Kedokteran dan Ilmu kesehatan/Kesehatan Masyarakat Tasawuf dan nasionalisme, dua hal yang cukup berbeda jauh. Yang satu sering dilakukan oleh kaum agamawan, yang satu lagi sering didengungkan oleh para negarawan. Dua hal ini bisa dibilang berseberangan, namun sebenarnya jika ditelisik lebih jauh, tasawuf mampu menumbuhkan rasa nasionalis atau cinta tanah air. Tentunya kedua hal ini tidak bisa dihubungkan secara langsung, butuh beberapa langkah untuk melancarkan proses dari seorang sufi (orang yang melakukan tasawuf) menjadi seorang nasionalis. Dalam menjalankan proses ini, seseorang membutuhkan pengalaman lebih sepanjang hidup dengan memperhatikan kalangan terbawah hingga kalangan teratas, dari para pengejar sesuap nasi yang sering berada di pingggir jalan, hingga para pemangku kebijakan yang berada di belakang meja dan berkantor di gedung-gedung pencakar langit. Dari semua kalangan itu kita bisa mempelajari masalah-masalah yang mem

Kasihan dikau

Gambar
Hai kau peneriak ras, suku, juga agama Kemanakah dasar pikirmu? Dari dulu kau selalu meminta Dari dulu kau selalu mendesak Hingga sekarang kau malah terkapar Dulu kau mendesak pancasila diubah Bagimu dia hanya sila tanpa makna Bagimu dia hanya burung tak berbusana Mana dasar pikirmu kaum-kaum peneriak ras, suku, juga agama Dia tanpa makna karena kau hanya mengucap diluar kepala Bahkan hatimu pun tak pernah mengenalnya Dia tak berbusana karena pandanganmu terhalang akan debu Padahal dari matamulah, dia mempunyai baju Dan sekarang kau terkapar, karena pancasila Suaramu hampa dan usahamu tak berkira Semua sirna Karena yang kau usahakan adalah fana Ketidakkekalan ; hanya tumpukan ego belaka Karena yang kau teriakan adalah nama Sementara, dan kadangkala sama Karena pancasila adalah kita Dan definisi masing-masingnya ~salah satu penggemar pancasila Ciputat, 01 Juni 2017