Perempuan di Busway

              picture source : www.google.com
                         BY : ANONIM
                                                 



Sebagai ibukota, Jakarta menyediakan lapangan pekerjaan melimpah bagi mereka yang berpendidikan atau mereka yang memiliki orang dalam. Setiap pagi, bahkan sebelumnya, jutaan penduduk menyerbu Jakarta, adu sikut adu mulut, adu kecepatan adu ke egoisan, semua seolah lapar akan harta kekayaan. Ketika malam tiba, jutaan orang tadi kembali, Jakarta mulai kesepian, semua pergi seolah tanpa salah, padahal mereka meninggalkan polusi dan sampah. Begitulah rutinitasnya, jutaan penduduk dari Tangerang, bogor, Bekasi dan depok setiap hari pulang pergi mengais rejeki di kota metropolutan, termasuk aku dan seorang perempuan itu.
Hari ini aku lebih dulu masuk ke dalam bus, kemudian beberapa saat ia menyusul. Kulihat semua bangku sudah terisi, ia menoleh kesegala arah, berharap ada yang mau mengalah. Sebagai laki laki, yang memang seharusnya lebih kuat, aku berdiri, mempersilahkanya duduk. Ini adalah kesekian kali, mungkin 7 kali aku mengalah padanya, setidaknya itulah yang ku ingat. Ia masih sama, diam, tertunduk dan hanya mengangguk. Hampir setiap hari kami satu bus, terkadang jalan beriringan, entah kantorya dekat dengan kantorku, atau sebenarnya kami sekantor hanya tidak saling kenal. Aku turun di halte terahir dan ia di halte sebelumnya, sesekali kita pernah sama-sama duduk bahkan berdampingan, seringnya sama-sama berdiri. Persamaanya ialah ia tetap hanya diam, tertunduk, mengangguk. Malam ini bus tidak terlalu penuh sesak, hanya beberapa yang berdiri, beberapa lainya duduk melepas lelah, sisanya pura pura tidur enggan mengalah. Meski sebenarnya berdiripun tetap bisa tidur, mengalah dan melepas lelah. Aku berdiri, menikmati perjalanan diantara kilat kendaraan dan di hadapan seorang perempuan.
********
20 menit kemudian, penumpang sebelahnya turun. Ia menatapku, untuk pertama kalinya kulihat wajahnya menengadah. Wajahnya tak begitu putih untuk ukuran perempuan ibukota, tapi lebih cerah dari kulit wajahku yang gelap. Ia diam, tak menyuruhku duduk, perempuan macam apa yang dapat begitu bisunya pada laki-laki yang telah beberapa kali memberinya bangku.
“Silahkan duduk mas”, justru seorang ibu di sampingnya yang mempersilahkanku.
“iya bu, terimakasih”
Aku duduk di sampingnya, terkadang aku curi-curi pandang mengamati wajahnya, yang kala lampu merah di perempatan jalan menyala, senyumnya akan merekah, namun seketika wajahnya menjadi amat gundah atau mungkin sedih ketika ada pengendara motor yang menyerbot lampu merah. Aku ssangat menikmati suasana seperti ini, waktu dimana kuhiraukan sekitaran, hanya untuk mengamati sosok perempuan, biasanya dalam situasi seperti ini aku mudah jatuh hati.
30 menit kemudian, ia masih saja membisu, masih membuatku penasaran, semakin membuatku berperasaan. Kuberanikan diri membuka percakapan. 
“pulang kerja mba?” ia hanya mengangguk.
“kerja dimana? Sepertinya kita sering berpapasan?” ia kembali menangguk dan menunjuk Id card yang masih ku kenakan
“ohh, kita satu kantor?” ia mengangguk, lagi. Aku seolah seperti orang tolol yang bicara pada benda mati, mencercaki banyak pertanyaan tanpa kudapati jawaban. “Bisa gila lama lama orang yang mencoba mengajakmu bicara” batinku.
“Kamu siapa?” terdengar seperti suara perempuan, terdengar sangat lembut dengan nada rendah, kami bertatapan, inilah kali pertama kudengar suara perempuan itu.
“aku?” kupastikan bahwa memang pertanyaanya memang untuku, ia hanya mengangguk.
“aku andre, bagian marketing di kantor, mba siapa?”, jawabku.
“Aku Clara”. Namanya cukup modern dan pantas disematkan untuk perempuan dikota besar.
“ohh, dari divisi mana?”
“dari Secretary Director”
“wahh, keren masih muda sudah di posisi mapan, sudah berapa tahun?”. Aku mencoba bertanya tentang apapun, hanya supaya percakapan kita tak berhenti, meski jawabanya hanya satu atau dua kata, bahkan ketika jawabanya hanya anggukan saja.
“aku baru 6 bulan” jawab Clara.
Aku berpikir keras mencari pertanyaan selanjutnya, setelahnya, kemudian dan lain lain. 
“Rumahmu mana? Lulusan mana? Tahun berapa? Kenal ini gak? Itu gak……..” bla bla bla.
40 menit kemudian,  kami mulai akrab. Ia tak canggung membalas pertanyaanku, sesekali aku becanda meski ia tak juga tertawa. Ketika hampir semua penumpang terlelap atau sibuk dengan hp masing masing, kami justru saling memberi pertanyaan dan saling mengakrabkan. Aku masih penasaran dengan wajahnya yang sering datar, namun tetap menawan. Kini aku berani bertanya kondisinya.
“apa setiap hari kamu seperti ini?” kataku, tapi ia tak paham.
“maksudnya? Perilakuku?” jawabnya
“bukan, maksudku mengapa kamu sering terlihat tak senang? Apakah aku mengganggumu?”
“untuk apa aku terlihat senang, jika kemudian orang-orang juga akan melupakan? Tidak, tidak masalah” kali ini ia menjawab sedikit lebih panjang.
“lantas kenapa kamu selalu tersenyum ketika lampu merah?” aku melanjutkan.
“jawabanku takan ada gunanya kau dengarkan, takkan merubah apapun” Clara menatap jalanan, wajahnya kembali terlihat sedih ketika bus kami meninggalkan perempatan jalan. 
“apakah sebuah masalah? Siapa tahu aku bisa membantu”, Ia menatapku sesaat kemudian kembali berpaling, kembali diam, tertunduk.
“5 tahun lalu, aku tak seperti ini, aku nakal, keluyuran, suka keluar malam, seolah hidup hanya untuk bersenang-senang. Hampir setiap malam aku menjadi joki perempuan balapan liar, memacu motor secepat kilat agar dapat uang dan bisa jajan. Ketika aku mulai lelah, terkadang ku tenggak sebotol atau beberapa bir, supaya mata tetap terjaga dan makin gila”. Ia mengambil nafas dalam-dalam, beberapa kali sampai kudengar hembusanya begitu penuh emosi. 
“Lalu?”
Ia melanjutkan ceritanya.
“meski banyak teman sepergaulan yang mendekatiku, aku justru jatuh cinta pada Roby, teman sekelasku yang selalu berprestasi. Ia lebih mirip orang culun, kalem, pakai kacamata, baju sekolah yang selalu ia masukan, tak pernah membolos, tak keluar malam apalagi mengenal duniaku di balap motor. Terkadang perasaan memang menjatuhkan pilihan hati sesukanya, meski terkesan aneh, nyatanya Roby memiliki perasaan yang sama. Hingga akhirnya kami pacaran. Aku masih terus mejalani duniaku dan Roby dengan dunianya, aku setiap malam balapan dan menenggak bir, Roby setiap malam belajar dan mengabariku, jangan lupa istirahat ya.” 
Nafasnya mulai tesendu, matanya berair. Kini giliranku diam, tertunduk dan hanya mampu mengangguk-angguk juga. Ceritanya masih belum selesai.
“lama-lama kami mencoba kebiasaan masing-masing, beberapa malam aku hanya belajar, namun masih belum berani mengajak Roby ke balapan Liar. Saat Roby Ulang tahun, aku masih ingat ia tak minta apa-apa, ia hanya memohon aku berhenti balapan liar. aku sangat suka caranya memberi perhatian. Tapi tak begitu saja kutinggalkan hobi yang seolah sudah kujadikan ajang mencari rejeki, setelah orangtuaku bercerai. Permintaanya kutanggapi dengan gurauan, “jika kau bisa mengalahkanku, aku berhenti”. Roby lantas menerima tantanganku. Malam itu juga di Jalan Juanda, kami balapan, sejauh 3 lampu merah. Saat kita mulai, kubiarkan Roby melaju duluan, aku masih bimbang memutuskan pilihan, toh aku tau kecepatan motor satriaku dan motor bebek Roby yang tak seberapa. Aku tak bisa berhenti balapan. Akhirnya aku melaju menuju Roby, pada lampu merah pertama ia berhenti, aku mendekat, Roby menatapku “Aku mencintaimu Clara”, aku tersenyum “ayo buktikan”, aku melaju duluan sambil teriak “balapan gak kenal lampu merah”, Roby tetap menunggu hijau. Aku memelankan motor, menunggunya mendekat. “akan kukalahkan kamu Clara” ia kembali memacu motornya. Aku berpikir betapa kerasnya Roby berusaha hanya untuk membuatku lebih baik, dan aku malah menantangnya, aku kembali dilema, tapi aku berpikir “bagaimana nanti nafkah Keluarga?”. Aku kembali melesat dengan motorku, sesaat kemudian  aku sudah di depan Roby lagi. Lampu merah kuterbos, kulihat kebelakang, roby memelankan motornya, mungkin ia ragu. Kemudian matanya menatapku Tajam, ia kembali memacu gas semaksimal mungkin, menerobos lampu merah,,,,,”. Mata Clara meneteskan air, sepertinya sebuah duka. Ia mengeluarkan tissue, mengusap pipi kiri dan kanan. Aku semakin penasaran.
“saat itu kulihat Roby pertama kali menerobos lampu merah. Ternyata saat itulah terakhir kali kulihat wajahnya. Ia tertabrak bus dari arah samping kanan……” Clara tak mampu melanjutkan cerintanya, dan tanpa ia ceritakan aku bisa tahu bagaimana keadaan Roby dan motor bebeknya saat itu.
Ia melanjutakan “aku selalu merasa tenang dibawah lampu merah, ada harapan bahwa roby akan kembali dan mengajaku bicara lagi”. Wajahnya tampak penuh kesalahan.
“jika kau bisa membantu, apa kau bisa menghidupkan Roby lagi?” Tanya nya. Aku menggeleng.
“takkan merubah apapun, meski kuceritakan”, Clara kembali bicara.
Aku merasa salah memulai percakapan ini “maafkan aku, aku tak berniat mengusik masalalumu, apalagi membuatku sedih”
“tidakpapa, sudah lama aku tak menangis seperti ini”
. Kini yang ada kita saling membisu, saling tertunduk. Aku pikir ceritanya selesai, rupanya ia masih sanggup meneruskanya.
“semenjak saat itu hidupku seolah luluh lantah, aku tak lagi bisa merasakan kesenangan, setiap malam aku berkunjung ke bar, memesan bir hanya untuk merasa senang, tapi tetap saja itu hanya sesaat. Ketika bangun setelah mabuk aku akan kembali menghadapi kenyataan Roby-ku telah pergi. Setiap hari aku berharap bisa bertemu denganya sesaat dan memberi kabar  “Aku tak lagi balapan liar”, aku taklagi mampu memacu motorku sekencang dulu. Bersenang-senang di bar, membuat uangku tak cukup untuk jajan dan melanjutkan kuliah, sampai akhirnya aku dikenalkan dengan pak Budi disebuah Kafe, ia sangat baik, bahkan sanggup menguliahkanku sampai selesai, hanya dengan syarat menemaninya makan setiap malam. Kadang ia berusaha genit atau merayuku tapi kami tak pernah benar-benar bersentuhan badan, katanya ia hanya kesepian dan butuh teman. Setelah lulus Pak Budi memintaku bekerja di kantornya sekarang”. Pak Budi adalah salah satu direktur di kantor kami, aku tak peduli, ada apa diantara mereka. Mungkin sekarang aku lebih bimbang dari Clara, ia sudah melewati masamasa itu dan aku masih tak bisa membayangkan kehidupanya.
“kamu perempuan yang kuat” ucapku menanggapi kisahnya yang pilu.
“aku perempuan yang salah dan tersesat, kematian Roby tak bisa kumaafkan,,,,” ia menggelengkan kepala.
“sssttt,, Tuhan maha Mengampuni, sudah seharusnya kita ringan maaf, apalagi atas kesalahan diri sendiri” aku mencoba membangkitkan semangatnya. 
Kulihat wajahnya kini tersenyum, kukira karena ucapanku, ternyata lampu merah menyala diperempatan.
“bagaimana kalau ku traktir makan malam ini? Sebagai bentuk maafku yang tak bisa membantu masalahmu” aku mencoba menemukan moment bersamanya, berdua.
Ia menangguk, kemudian berkata “bagaimana jika makan di dekat halte rumahku?”.
Aku mengangguk, kemudian berkata “oke”. Kali Aku mendapati senyumnya bukan lantaran lampu merah di perempatan.
60 menit kemudian. Kami siap-siap turun
******
Seorang menepuk bahuku, Rupanya tangan perempuan. Mataku masih kabur, berbayang dengan lampu-lampu pinggir jalan, aku pening. Ku dengar suara di Bus menginformasikan sampai di Halte Pondok Pinang, halte biasanya perempuan itu turun. Banyak sekali penumpang yang turun, kulihat ia sudah diluar, masih tertunduk. Aku ikut berjalan kedepan menuju pintu bus, mengikuti orang yang akan keluar. Dengan sedikit sempoyongan, aku mencoba sadar, ternyata aku baru saja terlelap, bermimpi sambil berdiri dalam perjalanan. Aku tak jadi keluar di halte pondok pinang. Dan kembali ke bangku awalku yang di duduki perempuan tadi. Mimpi macam apa tadi, sebegitu penasarankah aku pada perempuan ini. Ku tenggak air mineralku. Aku tertunduk, menghadap kebawah, kulihat ada dompet ketinggalan. Kubuka, kutemukan foto perempuan itu, Namanya Carolina Larasati. Setelah turun dari bus, aku menuju sebuah kafe, memesan kopi dan menyulut rokok, sembari menghubungi nomor kontak pada kartu nama yang tertera. Telponku tidak diangkat, dan belum ada balasan pesan, aku semakin penasaran.
 Bersambung……

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16