TASAWUF DAN NASIONALISME
Nama : Tirta Indah Perdana
Fakultas/Jurusan : Kedokteran dan Ilmu kesehatan/Kesehatan Masyarakat
Tasawuf dan nasionalisme, dua hal yang cukup berbeda jauh. Yang satu sering dilakukan oleh kaum agamawan, yang satu lagi sering didengungkan oleh para negarawan. Dua hal ini bisa dibilang berseberangan, namun sebenarnya jika ditelisik lebih jauh, tasawuf mampu menumbuhkan rasa nasionalis atau cinta tanah air. Tentunya kedua hal ini tidak bisa dihubungkan secara langsung, butuh beberapa langkah untuk melancarkan proses dari seorang sufi (orang yang melakukan tasawuf) menjadi seorang nasionalis.
Dalam menjalankan proses ini, seseorang membutuhkan pengalaman lebih sepanjang hidup dengan memperhatikan kalangan terbawah hingga kalangan teratas, dari para pengejar sesuap nasi yang sering berada di pingggir jalan, hingga para pemangku kebijakan yang berada di belakang meja dan berkantor di gedung-gedung pencakar langit. Dari semua kalangan itu kita bisa mempelajari masalah-masalah yang memenuhi pikiran mereka. Masalah-masalah yang mereka alami dan tak dipungkiri juga dialami oleh kita menjadi warna tersendiri dari diorama kehidupan yang fana ini. Di sinilah tasawuf hadir di tengah-tengah masyarakat yang memiliki segudang masalah. Membersihkan batin yang merupakan inti dari tasawuf mampu menjernihkan pikiran dan perasaan, sehingga dengan menjalani proses tasawuf, hati dan pikiran masyarakat menjadi jernih dan mampu mencerna dan menyelesaikan masalah dengan sangat baik, tanpa ada pihak yang dirugikan.
Tasawuf adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Salah satu seorang sufi yang terkenal adalah Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani. Nama beliau sudah tak asing lagi di telinga kita, mulai dari kalangan agamis hingga orang-orang awam yang belum pernah mengenyam pendidikan pesantren atau keagamaan secara intensif. Intinya, semua orang pernah mendengar nama Sufi yang satu ini. Beliau dijuluki Sulthaanul Auliya’ (Rajanya para Wali) karena kezuhudan dan tasawufnya yang begitu tinggi. Manaqibnya sering dibacakan di pesantren-pesantren. Penulis jadi teringat ketika masih mengenyam pendidikan pesantren ketika membaca manaqib (biografi) Syekh Abdul Qadir Al-Jalilani sampai terkantuk-kantuk karena dibaca pada malam hari dan cukup panjang isi manaqibnya.
Berikut salah satu kutipan tasawuf dari sang Sulthaanul Quluub, mengenai menjernihkan hati :
“ Hati kotor, berkarat, dan gelap tidak akan bisa jernih kecuali jika engkau banyak membaca Alquran, banyak mengingat mati, menghadiri majelis dzikir, dan bertafakkur kepada Allah. Hati gelap itu karena cintamu tethadap dunia tidak disertai dengan sifat wara’.
Wahai, saudarakau, terimalah apa yang disampaikan nabi kepadamu. Lenyapkanlah karat di dalam hatimu dengan obat penawarnya, sebagaimana telah kujelaskan kepadamu. Seandainya seorang di antara kamu sakit, kemudian dokter menunjukkan obatnya, tentu tidak akan mencapai ketentraman hidup sebelum melaksanakan resep itu. Jagalah Tuhanmu dalam kesepianmu. Hadirkanlah di dalam hati, seakan-akan engkau melihat Allah. Jika tidak mampu, maka sesungguhnya Allah melihatmu. Siapa yang mengingat Allah di dalam hatinya, maka ia akan disebut sebagai orang yang ingat. Dan barang siapa yanhg hatinya tidak mengingat Allah disebut orang yang tidak ingat.
Sesungguhnya lisan (lidah) itu jembatan hati. Jika nasihat itu lenyapddari hati, maka seseorang akan menjadi buta mata batinnya. Hakikat taubat adalah menjunjung perintah Allah dalam segala situasi. Atas dasar inilah seorang ulama berkata ‘kebaikan itu terlaetak pada dua kalimat, yang menjunjung takdir Allah dan saling menyayangi semua makhluk’. Jika seseorang tidak menghormati takdir Allah dan tidak menyayangi sesama makhluk, berarti jauh dari Allah swt.
Sungguh bahagia orang yang saling menyayangi. Betapa sia-sia usiamu jika engkau habiskan hanya untuk makan, minum, berhias diri, dan berkumpul dengan orang-orang jahat. Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan, hendaknya dia mampu menundukkan hawa nafsunya dari perkara haram, syubhat (hal-hal yang meragukan), syahwat, dan takdir-takir Allah yang diwajibkan, meliputi larangan dan menerima keputusan-Nya”
Dari kutipan tersebut kita mulai bisa menaiki angkot yang mana kita berada di Terminal Tasawuf menuju Terminal Nasionalisme, mulai menempuh dengan melihat peta hakikat akan penciptaan Tuhan kepada makhluk-Nya, yakni semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Bagaimana penulis bisa mengatakan kita bisa menaiki angkot menuju Terminal Nasionalisme? Dengan bersihnya hati kita memiliki banyak manfaat, salah satunya dapat saling menyayangi antar sesama makhluk. Saling menyayangi antar sesama makhluk mampu menumbuhkan rasa cinta tanah air. Dengan adanya rasa saling menyayangi secara mendalam, maka akan muncul sifat saling mencintai, menghargai, dan menjaga satu sama lain. Jika tanah air kita beserta isinya, kekayaannya, budayanya, nilai historisnya, dan semua yang berada di dalam tanah air kita sayangi, lama kelamaan rasa sayang itu akan tumbuh menjadi cinta tanah air, dan itulah yang dinamakan nasionalisme.
Banyak yang patut kita banggakan dari Indonesia yang dapat menumbuhkan nasionalisme, contohnya berupa karya hebat ulama-ulama terdahulu kita. Banyak ulama-ulama Indonesia yang karyanya terus dikaji hingga sekarang. Misalnya Syaikh Mahfudz Termas dengan karyanya yang terkenal yakni Syarah Alfiyah. Kitab in menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Fakta ini menunjukkan ulama-ulama Indonesia tidak kalah hebat dengan ulama-ulama Mesir, Tunisia, Aljazair, dan negara lainnya. Sudah selayaknya kita bangga akan bangsa kita. Islam di Nusantara berkembang oleh ulama-ulama yang membawa nilai luhur. Oleh karena itu, merupakan hal yang mubazir jika kita mendengungkan negara Islam secara konstusional dan formal. Penulis pernah mempelajari bahwa ada sistem kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah berupa top-down dan bottom-up. Top-down adalah berupa memberi kebijakan langsung kepada masyarakat atau rakyat yang dipimpinnya, tanpa melihat masalah yang terjadi di masyarakat.sistem ini sering digunakan raja-raja zaman dahulu, yang dianggap raja adalah titisan Tuhan dan semua perkataannya benar. Namun kebijakan yang dibuat sering tidak tepat sasaran sehingga tidak dapat berguna bagi kesejahteraan masyarakat. Sementara Bottom-up menggunakan sistem dari bawah dahulu, dari orang-orang yang dipimpinnya. Biasanya dilakukan survey atau dengar pendapat oleh warganya mengenai masalah-masalah yang menjadi aspirasi rakyat, kemudian disusun dan dicatat kemudian dipertimbangkan bersama asisten pemimpin dan menteri-menterinya beserta para jajarannya. Jika membentuk negara Islam secara konstitusional, kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak akan tepat sasaran, dan cenderung secara top-down. Jika kita survey dahulu memperbaiki pondasi suatu pemerintahan berupa masyarakatnya atau secara bottom-up, kebijakan yang dibuat akan tepat sasaran, menyejahterakan rakyat, dan mampu menguatkan negara tersebut. Nasionalisme akan menumbuhkan rasa demokratis dan menyejahterakan seluruh kalangan dan golongan, tidak hanya satu golongan atau satu kalangan saja. Mudah-mudahan dengan tasawuf ini kita nasionalisme kita menjadi meningkat dan mampu menekan paham radikalisme di negeri kita tercinta ini, dan rakyatnya makin sejahtera karena pemimpinnya menjalankan tasawuf dalam menjalanlan roda pemerintahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mughni, Abdul. Intisari Ajaran Syekh Abdul Qodir Jailani. Surabaya : Pustaka Media
Unknown. 2013. “Pengertian Tasawuf”. Diakses pada tanggal 19 Mei 2016 dari http://www.masuk-islam.com/pembahasan-tasawwuf-lengkap-pengertian-tasawuf-dasar-dasar-tasawauf-tujuan-tasawuf-perkembangan-tasawauf-dll.html
Unknown. 2016. “Indahnya Islam Nusantara”. Diakses pada tanggal 19 Mei 2016 dari http://www.nu.or.id/post/read/68298/indahnya-islam-nusantara
Komentar
Posting Komentar