Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

BUKU SAKU HIPERTENSI SEBAGAI MEDIA PREVENTIF KOMPLIKASI HIPERTENSI

Oleh: Inggrid Anggraini    Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. [1] Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju. Namun seiring meningkatnya jumlah penduduk dan proporsi usia produktif, maka meningkat pula tantangan-tantangan masalah kesehatan pada usia produktif.  Berdasarkan data International Health Metrics Monitoring and Evaluation (IHME) tahun 2017 di Indonesia, penyebab kematian pada peringkat pertama disebabkan oleh stroke, diikuti dengan penyakit jantung iskemik, diabetes, tuberkulosa, sirosis, diare, PPOK, alzheimer, infeksi saluran napas bawah dan gangguan neonatal serta kecelakaan lalu lintas. [2]

Jauh

  Rinduku menyiprat merdu di pinggiran danau Melompat-lompat merayapi pipi Menari-nari di bawah payung gerimis pagi Menyanyikan aroma tanah berparas melodi   Libur baru saja akan bangun dan membuka mata Sedang pikiranku lebih dahulu terbang sampai di sana Memeluk setiap celah pepohonan di hulu desa Menutupi kenyataan tentang jarak yang enggan membohongi rasa   Sampai kesadaranku hanya dapat meringkuk Memeluk merdu ciprat air di pinggir danau Bertanya harap pada atap langit yang sama saat di desa Berangan dapat membalik badan dan melangkah pulang   Dan langit pun menjawabkan; akhirnya Perihal jarak yang tak membohongi rasa Nyatanya hari esok masih harus ditapaki Menapaki langkah yang semakin jauh dari di desa Desa yang ku tengok kemarin

Maghrib

 Di bawah kolong truk yang menengger di pematang sawah Sepotong hatiku tertinggal Terjuntai jalanan hitam yang kupandangi Melayang-layang daun cokelat yang sudah kering Daun pintunya membuka Lalu sepotong apel menempati sepetak tempat yang menghilang Kepalaku menggeleng saat tanganmu mengunyahkannya untukku Biar saja dia utuh, tersimpan rapi di sepotong hati yang enggan pergi

Ingin

 Aku mencintaimu lewat prakata-prakata bisu Tepat cakrawala jingga memeluk burung bangau Ibu, aku mencintaimu benar tanpa bahasa Karena kalimatku tak cukup mampu menebus kamusmu Ibu, aku mencintaimu benar tanpa apa Karena cintamu terlampau besar tanpa prasyarat Ibu Esok kan menggigitmu Yang menggendongku tanpa rasa peluh Maka aku sungguh ingin, Ibu Menggendong dan memelukmu Menebus jejas-jejas yang terluka Dengan cinta tanpa bahasa Di pelataran jingga yang tertawa

Jumpa

Aku merindukanmu Di pesisir senja yang basi Merekat erat di pelukan dadaku Aku merindukanmu Persis sejak kacamataku meneropongi wajahmu Lengkap sudah sesak dada yang meronta2 Aku ingin bertemu Menangis lagi di pundakmu Meluapkan bahasa yang tak dapat luap kepada selain kamu Aku ingin bertemu Merengek lagi di pangkuanmu Layaknya bocah2 sekolah dasar meminta jajan Tulus. Dan jengkal memang bukan sekadar rindu Meski dadaku sudah sesak sekali ingin bertemu Meluap bahasa yang ingin berterbangan Diam terpaku ingin mendengar Aku ingin bertemu Terhadap kamu yang ku sebut penyesak rindu. Jumpa-

Hujan

Sampai akhir bulan Juni Tidak ada hujan turun Ya benar pikirmu, aku pemuja puisi, novel dan film hujan bulan Juni, karya pak sapardi Awal bulan Juni kemarin cerah Pertengahan bulan Juni mendung Akhir bulan juni gerimis, hampir hujan. Hingga tanggal 19 bulan Juli datang. Hujan turun  sangat deras.. Ya,  hujan itu turun bukan dari langit Tapi dari mataku. -kafein

Hujan bulan juli

Gambar
19 Juli menjadi awal berakhirnya hujan dari bulan Juni. Hujan yang menerpa bersamaan dengan ketabahan, kebijakan, dan kearifan terhenti. Awan mendung yang membersamai rindu yang membumbung, akhirnya terarak hilang oleh panasnya matahari. Pada akhirnya buku harus ditutup, tinta berhenti dicelup, dan kisah harus diakhiri. Sebab sudah waktunya pergi, karena di luar hujan telah menjelma pelangi. Pada beberapa sajakmu, Eyang, aku belajar tabah. Tentang kayu, api, dan cinta. Juga awan, hujan, dan isyaratnya. Serta kerelaan, dari seekor burung yang mengajari sebuah "hanya". Pada suatu hari nanti, dalam tulisan Eyang, jasadmu memang tak akan ada lagi. Suaramu tak terdengar lagi. Impianmu pun tak akan dikenal lagi. Tapi setidaknya eyang sudah berhenti mencari. Panggilan yang tidak dapat dibantah, harus didatangi. Kita abadi, eyang. "Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu.  Yang fana memang waktu. Eyang tidak pergi. Eya