Hujan bulan juli
19 Juli menjadi awal berakhirnya hujan dari bulan Juni.
Hujan yang menerpa bersamaan dengan ketabahan, kebijakan, dan kearifan terhenti.
Awan mendung yang membersamai rindu yang membumbung, akhirnya terarak hilang oleh panasnya matahari.
Pada akhirnya buku harus ditutup, tinta berhenti dicelup, dan kisah harus diakhiri.
Sebab sudah waktunya pergi, karena di luar hujan telah menjelma pelangi.
Pada beberapa sajakmu, Eyang, aku belajar tabah.
Tentang kayu, api, dan cinta.
Juga awan, hujan, dan isyaratnya.
Serta kerelaan, dari seekor burung yang mengajari sebuah "hanya".
Pada suatu hari nanti, dalam tulisan Eyang, jasadmu memang tak akan ada lagi.
Suaramu tak terdengar lagi.
Impianmu pun tak akan dikenal lagi.
Tapi setidaknya eyang sudah berhenti mencari.
Panggilan yang tidak dapat dibantah, harus didatangi.
Kita abadi, eyang.
"Tapi yang fana adalah waktu, bukan?"
Tanyamu.
Yang fana memang waktu.
Eyang tidak pergi.
Eyang hanya menjelma menjadi abadi.
Terima kasih eyang sudah membolehkanku mengambil secuil keabadianmu.
Akhirnya aku paham,
"Keabadian memang harus digoreskan."
Entah berupa tulisan, atau gagasan yang diturunkan bersinambungan.
Eyang, sekarang izinkan aku menikmati pelangi usai hujan bulan Juli.
Sebab nanti, aku yang akan menjelma abadi.
Iki firmin syihridhi. Surabaya, 19 Juli 2020.
SumberFoto : Gramedia dalam Kompas.com
SumberFoto : Gramedia dalam Kompas.com
Komentar
Posting Komentar