Kembali kepada Padasan

 

Kembali kepada Padasan

Oleh: Andy Evan

Sejak awal tahun 2020 kita kembali dihadapkan pada wabah virus sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Virus Corona (Covid-19) telah melanda segala aspek kehidupan dan kita dituntut mampu beradaptasi dengan berbagai gaya hidup baru. Menyusun kembali reruntuhan dari peradaban sebelumnya. Memakai masker, menjaga jarak, bertemu, belajar, bekerja secara virtual, juga yang tak kalah penting yaitu mencuci tangan.

Yang terakhir disebutkan bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa bukanlah hal baru. Kita punya kearifan lokal serupa yang sudah ada sejak lama dalam budaya masyarakat kita, yang hampir ditinggalkan, yaitu tradisi Padasan. Kini wabah covid-19 mendorong kita untuk kembali menghidupkan tradisi membersihkan diri tersebut. Bahkan World Health Organization (WHO) juga menganjurkan mencuci tangan dan menjaga kebersihan diri agar terhindar dari virus Corona. Apalagi setelah beraktifitas di luar rumah.

Kita kembali pada tradisi Padasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Padasan artinya tempayan yang diberi lubang pancuran untuk keluarnya air, biasanya digunakan untuk berwudhu. Di masa lalu Padasan ini berfungsi untuk membersihkan diri seperti mencuci kaki, tangan dan membasuh muka. Secara awam Padasan berarti gentong atau tempayan berisi air yang terbuat dari tanah liat. Kita sekarang mengenal banyak wadah air yang terbuat dari plastik, tetapi Padasan tanah liat adalah hal yang berbeda. Air yang keluar dari Padasan tanah liat pasti terasa lebih dingin dan segar seperti air yang kelaur dari sumbernya. Karena tanah liat mampu menjaga kesegaran air.

Zaman dulu hampir semua masyarakat perdesaan menyediakan Padasan di depan rumahnya, bahkan tak jarang diletakkan di pinggir jalan dan tempat umum seperti Masjid.  Selain tempayan yang diberi lubang, tekadang ada Padasan yang dilengkapi dengan gayung berbahan tempurung kelapa yang dikenal dengan siwur, juga ada yang memiliki hiasan tertentu.

Jika kita ke Masjid tradisional seperti Masjid Menara Kudus, kita akan menemui Padasan yang berada di sebelah selatan masjid dengan hiasan figuratif pada dua deret pancuran yang masing-masing berjumlah delapan. Seolah-olah air keluar dari mulut kedhok (topeng). Ini merupakan tradisi seni Hindu-Budha, namun dipakai pada seni bangun Islam. Pancuran Padasan itu memiliki kemiripan dengan saluran air jaladwara pada tradisi seni bangun candi Hindu-Budha. Hal ini juga nampak pada kerajinan Padasan yang berasal dari Sitiwinangun, Kabupaten Cirebon, yang memiliki motif atau ragam hias Megamendung yang merupakan hasil akulturasi budaya Cirebon dan Cina yang melambangkan dunia atas dan kesuburan.

Tradisi Padasan ini sendiri tidak lepas dari kondisi yang ada di masa lalu. Aktifitas  masyarakat tradisional yang tak lepas dari kondisi alam, seperti bertani, bertenak, dan berkebun. Tentu saja, hal tersebut membuat badan mereka menjadi kotor. Selain itu, Padasan digunakan untuk keperluan bersuci atau wudhu bagi mereka yang beragama Islam.  Inilah salah satu tujuan adanya Padasan di hampir semua rumah masyarakat dan tempat umum seperti masjid.

Padasan yang diletakkan di depan rumah dan di pinggir jalan juga dimaksudkan bagi siapapun yang membutuhkan air bisa mengambilnya sesuai keperluan, termasuk dapat diminum oleh siapapun yang melintas. Sebab, dahulu orang-orang seringkali berpergian dengan berjalan kaki. Apalagi ketika musim panas. Padasan akan sangat membantu bagi mereka yang ingin melepas dahaga di perjalanan. Para pelintas tidak perlu meminta izin kepada sang pemilik rumah. Seturut dengan kebiasaan itu, tuan rumah pun rutin memastikan agar air dalam Padasan tetap ada untuk kepentingan siapapun tanap peduli kenal atau tidak dengan orang tersebut. Di sisi lain, orang yang memanfaatkan Padasan juga cukup sadar untuk menggunakan airnya dengan sebijak mungkin. Ini akan mengarahkan mereka pada kesadaran bahwa ada orang lain seperti dirinya yang mungkin akan menggunakan air dalam Padasan tersebut. Hal ini menunjukkan nilai-nilai seperti keikhlasan dan kerelaan berbagi dalam masyarakat.

Di musim penghujan, air dalam Padasan biasa digunakan untuk mencuci bagian kaki yang terkena cipratan air kotor. Alas kaki juga biasanya sekalian dicuci agar ketika masuk ke dalam rumah tidak membawa kotoran. Di musim kemarau, biasa digunakan untuk membasuh muka orang-orang yang lewat. Setidaknya dapat memberi kesegaran dengan membasuh muka atau meminumnya.

Tradisi Padasan adalah ikatan solidaritas antar sesama, kisah masa lalu ihwal harmoni masyarakat Jawa, sekaligus bentuk komunikasi, budaya tegur sapa serta konsep tolong-menolong sesame manusia tanpa membeda-bedakannya. Orang Jawa meyakini bahwa selain menjaga kesehatan tubuh, menjaga silaturahmi dalam konteks sosio-kultural adalah kunci hidup sehat, baik fisik maupun rohani.

Rumah merupakan tempat kita merasa aman, bersih dan tenang. Ketika berada di luar rumah, kita bertemu dengan hal-hal positif dan negatif. Masyarakat Jawa juga mempercayai hal-hal seperti sawanan (seperti kesurupan). Tradisi ini menunjukkan bahwa orang-orang dahulu terbiasa membersihkan tubuh di luar rumah. Sepantasnya bagi penghuni rumah mewaspadai segala macam ancaman bahaya, salah satunya dengan meletakkan Padasan di depan rumah. Sebab air dipandang sebagai salah satu unsureyang mampu menghilangkan sukerta atau kesialan, baik penyakit fisik, maupun hal-hal yang dianggap mistik. Selain memiliki manfaat untuk membersihkan tubuh, dan nilai-nilai sosial, Padasan juga memiliki nilai-nilai spiritual tersebut.

Air memang tidak sepenuhnya membersihkan diri dari virus corona. Namun orang Jawa tidak menyandarkan kebersihan pada konsep itu saja, melainkan dari sisi kebahagiaan yang membuat sistem kekebalan tubuh meningkat. Meminum serta membersihkan diri dengan air gentong membentuk sugesti tersendiri ihwal kebersyukuran atas hilangnya dahaga selama di perjalanan atau kesegaran sebelum bertemu dengan tuan rumah.

Hadirnya tradisi serupa seperti bersih desa, slametan, lalung sesaji dan ruwatan adalah bagian dari upaya masyarakat Jawa dalam membentengi tubuh lewat kebersihan batiniah serta membentuk kepercayaan diri sehingga kekebalan tubuh kembali meningkat. Hasilnya adalah kehidupan yang sehat, terbebas dari pelbagai penyakit. Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa. Dengan kearifan lokal, suatu bangsa dapat menyerap dan mengolah kebudayaan.

Sebelum menutup saya ingin mengutip adagium lawas yang dikenal masyarakat Jawa yang berbunyi: “urip mung mampir ngombe” atau yang berarti “hidup hanya mampir untuk minum.”. Orang Jawa menganggap hidup layaknya persinggahan sementara. Oleh karena itu sudah sepantasnya manusia saling berlomba dalam berbuat baik. Menyediakan gentong yang berisi air adalah salah satu langkah di jalan kebaikan.

Menjaga tradisi Padasan ini mengajarkan kita untuk menjaga kebersihan lahir dan batin, melestarikan nilai-nilai sosial dan spiritual, membantu sesama manusia, menumbuhkan akar keikhlasan dalam berbagi. Pandemi ini menyadarkan kita terhadap budaya kita yang selama ini hampir kita tinggalkan. Saatnya kembali kepada Padasan. Tabik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16