Corona dan Sedikit Kompromi Saya pada Masyarakat Indonesia

Sebelumnya, tentu tulisan ini adalah bentuk relevansi diri saya mengenai pandemik global saat ini, covid-19. Setidaknya, tulisan ini adalah buah renungan saya ketika menjalani #dirumahsaja, minimal, relevan sampai tanggal 18 maret 2020. Silakan membaca. (Tulisan ini ada dalam mode poor reference, saya sengaja karena sudah sangat banyak data yang tersebar di masyarakat, anggap saja ini opini intelektual saya). 

Desember 2019, Covid-19 teridentifikasi di mainland China, tepatnya di Kota Wuhan. Januari 2020, ledakan kasus baru covid-19 semakin menjadi di China, pergerakan kasus di luar mainland cenderung lambat. Februari, kondisi di China mulai teratasi, pergerakan kasus di luar mainland mulai tidak tenang, namun Indonesia masih baik-baik saja dengan agenda-agenda evakuasi WNI yang ada di China. Maret 2020, pergeseran pola epidemiologi secara tempat geografi mulai terjadi, prevalensi kasus di China cenderung stagnan dengan angka insidensi yang relatif sangat kecil, dibarengi dengan persentase kesembuhan yang semakin besar. Di luar China, covid-19 mulai merebak, Korea Selatan, Iran, hingga Italia, kasus baru bermunculan secara signifikan, dan kemudian, Indonesia kecolongan. Kasus 01 dan kasus 02 ditemukan di Depok, Jawa Barat dengan lokasi dugaan terjadi transmisi adalah Jakarta. Sedang saat ini, wajah Indonesia kita semakin terlihat. 

Kepanikan di berbagai level masyarakat berjalan lurus dengan semakin meningkatkan penemuan kasus baru di Indonesia, setidaknya sampai hari ini, terdapat 55 kasus baru yang menjadikan prevalensi covid-19 di Indonesia tembus angka 277. Dan nyatanya transisi epidemiologi ini juga dibarengi dengan transisi yang lain, perubahan gaya politik dan bersosial. Sebelum covid-19 masuk ke Indonesia, dengan sembrononya tatanan sosial kita tak acuh, barangkali kepedulian hanya berfokus pada tanggap bantuan dan donasi serta upaya evakuasi WNI. Wajah yang angkuh dan menyenangkan yang kemudian berubah 180 derajat ketika ditemukan kasus baru di Indonesia. Edukasi serentak, yang meskipun secara masiv namun tetap tak mengacuh pada prinsip prevention and promotion, serta upaya-upaya tanggap darurat lainnya. Dalam hal ini, lemahnya mitigasi, pencegahan, dan pengendalian sebelum kasus telah menjadi hal besar yang patut dievaluasi. 

Tak berhenti disini, wajah Indonesia dengan segala keras kepalanya dan beragam tujuannya pun pecah, tumpah ruah, minimal di sosial media yang saya ikuti. Beberapa menyuarakan dan menuntut kinerja pemerintah, sebagian yang lain mengambil kesempatan dari kebijakan pencegahan yang diterapkan pemerintah. Well, pemerintah menjadi serba salah dalam hal ini. wajar saja, peningkatan jumlah kasus secara signifikan tentu semakin menakuti kondisi psikososial masyarakat Indonesia, karenanya izinkan saya sedikit saja memberikan penjelasan, barangkali dengan ini, pola pikirmu dapat menjadi lebih tenang, barangkali! 

Sebuah KLB/wabah/pandemik selalu erat kaitannya dengan sebuah kurva epidemi, kalian dapat menggunakan ponsel pintar kalian untuk mencari apa itu kurva epidemi. Hemat saya, berdasarkan karakteristik penyakit yang menjadi pandemik, yaitu covid-19, dimana 1) memiliki transmisi yang sangat cepat melalui droplet, dengan kemungkinan bermutasi menjadi airborne transmission (recent research article was showed tha result like that), 2) telah terjadinya local transmission di sekitar kita, 3) hasil interaksi virus dengan host (manusia) yang ternyata memiliki tingkat infektivitas dan patogenitas yang relatif tinggi, meskipun dengan virulensi yang relatif sedang, 4) CDR (crude death rate) kasus yang tinggi secara global, maka penemuan kasus yang tinggi merupakan hal positif (ada lah hal positif). Tunggu, jangan berpikir bahwa saya setuju dengan banyak orang yang menjadi kasus covid-19, bukan. 

Dalam upaya penanggulangan wabah, dua poin penting adalah memberikan tatalaksana kepada kasus dan mengurangi penyeraban agent penyakit beserta perlindungan populasi berisiko (hal ini relevan dengan lima level pencegahan). Pada kasus penyakit dengan karakteristik seperti covid-19, penemuan kasus sebanyak mungkin dengan waktu yang secepat mungkin adalah sebuah apresiasi tersendiri dari saya kepada petugas kesehatan yang bertugas, kenapa? Barangkali teman-teman sudah melihat video dari the washington post mengenai bagaimana perbedaan kurva epidemi ketika kehidupan normal-lockdown-sosial distancing-extreme sosial distancing, jika belum, cari karena video itu tersebar masiv di sosial media. perbandingan 4 cara kehidupan dengan skema pergerakan bola-bola kecil secara acak dalam video the washington post hanya mengambarkan cara mana yang lebih mudah untuk mencapai tujuan? Apa tujuannya? Melandaikan kurva epidemi. Ini fokus saya, namun sebelum itu, kurva epidemi memiliki dua versi yaitu versi prevalensi sebagaimana yang terdapat di internet yang menunjukkan perkembangan jumlah kasus di china, luar china, dan kasus yang sembuh, dan versi insidensi. Dan kurva epidemi yang di maksud dalam the washington post, dan juga yang digunakan dalam pemantauan KLB, adalah kurva epidemi insidensi. Lantas, bagaimana melandaikan kurva epidemi jenis ini? penemuan kasus secepat dan sebanyak mungkin. Logikanya begini, anggap dihadapan kalian adalah sebuah kurva epidemi covid-19 pada suatu wilayah dengan baris X menunjukkan lini masa dalam satuan minggu dan baris Y menunjukkan jumlah kasus baru yang ditemukan. Simulasi kita mulai pada minggu ini (minggu 3). Ketika penemuan kasus baru dapat berjalan dengan cepat dan efektif, maka terjadi kenaikan kasus baru secara signifikan pada minggu 3. Terus apa dampaknya? Pada kondisi yang diidealkan, penemuan yang tinggi pada minggu 3 pasti berdampak pada penemuan kasus pada minggu 4 yang relatif akan lebih kecil. Secara makro, hal ini dapat menjadikan kurva epidemi melandai. Lantas kalian bertanya, sebanyak apa dan apa itu kondisi yang diidealkan? Dan jawabannya adalah besarnya populasi yang rentan dan terpapar yang ada. Ini adalah poin kedua, dimana pemerintah mengencarkan angka penemuan kasus yang diberikan tatalaksana, pemerintah juga melakukan upaya-upaya pembatasan untuk membatasi populasi yang rentan tersebut. Kebijakan seperti kerja di rumah, ibadah di rumah, ngapa-ngapain di rumah adalah jalan tengah yang diputuskan pemerintah untuk membatasi besarnya populasi berisiko, kenapa? Karena setinggi apapun penemuan kasus baru, apabila populasi berisiko ini juga semakin besar, ya sia-sia, mending nonton film dirumah. Jadi, yuk menjadi masyarakat yang terdidik dan pengertian, tugas pertama untuk penemuan kasus memang lebih ekslusif karena tidak semua elemen dapat berpartisipasi, namun tugas kedua untuk mengurangi populasi berisiko adalah tugas bersama, pemerintah tidak akan bisa apa-apa dengan aturan-aturan pencegahannya kalau masyarakatnya masih keras kepala dan sembrono. 

Sekedar informasi, rana populasi berisiko dalam kasus covid-19 sangatlah luas loh, secara faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, ada usia (>40 tahun), dan penyakit bawaan seperti diabetes, hipertensi, dll. dan secara faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah keberadaan host carier di sekitar kita, lebih menyulitkan lagi karena dalam kesehatan, dikenal istilah eksternalitas, dimana gangguan kesehatan juga dapat terjadi karena faktor lain diluar wewenang kita, semacam, hidupmu sudah bersih, cuci tangan dkk, pakai masker, tapi makanan yang kamu makan terpecik droplet/ terinfeksi. Jadi, kesehatan tak bisa ditegakkan sendiri-sendiri, mari kita bentuk lingkungan yang kondusif dan patuh instruksi sehingga wabah ini dapat segera teratasi. Dalam hati aku berbicara, wabah ini adalah ajang evaluasi besar-besaran sistem kesehatan masyarakat Indonesia, hadeh aku bisa-bisanya ya.
Tabik! 
Syee Nee 
23.23 WIB, 18 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16