Nasionalisme Santri Era Millenial
Pada era perubahan digital seperti sekarang ini, subtansi perubahan sosial yang kontekstual menimbulkan paradigma-paradigma tersendiri bagi masyarakat luas. Peran santri terhadap pengabdiannya kepada negara ramai sekali diperbincangkan di khalayak ramai. Rasa nasionalisme santri sudah sejak lama ditumbuhkan sebagai ruh kehidupan pesantren untuk hubbul wathan minal iman, sehingga sangat tidak wajar jika ada klaim tentang tidak adanya rasa empati terhadap negara dari kalangan santri. KH Hasyim Asyari sebagai panutan yang mengukuhkan rasa spirit nasionalisme dan patriotisme kepada seluruh santrinya. Fleksibilitasi terhadap pengabdian santri mulai bergerak dan mengikuti perkembangan zaman, dengan harapan eksistensi daan kepercayaan masyarakat akan tetap terjaga kepada kalangan santri sebagai al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Secara konteks kebahasaan santri berasal dari kata shastri, bahsa sanskerta yang memiliki akar kata kitab suci, agama, dan pengetahuan. Secara terminology, santri adalah orang yang menunut ilmu dalam sebuah lembaga pendidikan yang disebut pesantrenan. Pesantren yang dimaksud yaitu lembaga pendidikan memiliki syarat kyai, santri, tempat tinggal, mushola, dan kitab. Namun KH Musthofa Bisri dalam suatu kesempatan pernah berkata santri adalah bukan mereka yang berada di pesantren, tapi mereka juga yang belajar ilmu agama, tutur sang penggiat sastra tersebut. Mellinial secara harfiah generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Tidak ada pengkhususan dalam menentukan kelompok generasi ini. Namun, para pakar telah menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir yaitu mereka yang lahir di kisaran tahun 1980-1990 dan awal tahun 2000. Dapat diartikan bahwa mereka para generasi millennial adalah yang saat sekarang ini berada pada usia 18-30 tahun. Sejak saat itu lah segala kegiatan atau movement yang dilakukan para remaja saat ini dijuluki dengan kata millenial. Budaya millenial ini telah mejalar kesuluruh belahan dunia begutu pula ke tanah air kita. Eksistensi ke millennial-an santri yang masih dianggap sangat konvesional oleh masyarkat luas, dengan citra ngantukan, gudiken dan sebagainya. Dewasa ini mulai bangkit dan berani tampil profesional di depan umum oleh kaum santri, dengan pemanfaatan teknologi yang berkembang seperti halnya pengembangan adanya website pondok pesantren, dan sistem pendaftaran online, kajian bahstul masail online, pengajian kitab online dan sebgaianya. Santri banyak sekali diperbincangkan di kancah nasional seperti ditetapkanya Hari Santri Nasional pada tahun 2014 lalu oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober, alih-alih setiap tanggal tersebut peringatan hari santri dilakukan serentak diseluruh tanah air. Peristiwa bersejarah 10 November 1945 di Surabaya atau yang sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan, merupakan gabungan sejarah dimana tanggal 22 Oktober terpilih sebagai Hari Santri. KH Hasyim Asyari, seorang kyai yang ‘alim, kharismatik, dan sangat terkenal dengan kecerdasan intelektualnya mengisyaratkan kepada seluruh santri dan masyarakat untuk resolusi jihad dalam rangka menuju pertempuran bulan November mendatang kala itu yang diserukan oleh Bung Tomo. Peringatan Hari Santri juga merupakan apresiasi pemerintah terhadap kaum terpelajar di kalnagan pesantren dan ulama serta ummat islam dalam rangka partisipasinya memperjuangkan dan menjaga keutuhan NKRI.
Secara kultur sejarah jelas sekali bahwa paradigma-paradigma yang mengatakan kaum santri yang dianggap kaum terbelakang, kuno, dan tidak fleksibel dianggap tidak mampu memberikan kontribusinya kepada bangsa dan negara atau kata lain rasa nasionalisme-nya kurang. Opini yang seperti inilah yang menurunkan citra kewibawaanya dari seorang santri. Hal-hal yang tidak perlu ditanggapi ini harusnya ditangkis mentah-mentah karenya dalam action-nya sangat nyata tentang apa yang menjadi tanggung jawab bersama dan kewajiban bagi seorang santri. Rasa nasionalisme dan patriotisme yang merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara dan pengaplikasiannya kepada kehidupan social harus tertanamkan sejak dini agar nantinya bekal yang dirasa sudah cukup mampu melawan atau membentengi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Seorang santri memang tidak terlihat seperti para pejabat dengan kursi hijau alih-alih sebagai perwakilan rakyat yang terpandang, namun dalam kehidupan pesantren yang berbaur social character yang didalamnya terdapat masalah dan solusi akan memberikan warna dan pengaruh lain daripada para pejabat dengan kursi hijaunya. Maka dari itu pada masa era digital ini yang dikuasai oleh kaum millennial ditambah lagi yang mana Indonesia mempersiapkan diri menuju Revolusi Industri 4.0, di harapkan kaum santri mampu menjawab tantangan-tantangan zaman saat ini. Meskipun memiliki suasana kultural berbeda sekali dengan santri era KH Hasyim Asyari yang berani mempertaruhkan jiwa, raga, dan hartanya sebagai bukti takdzim hubbul wathon minal iman, sekarang mampukah kita mempertaruhkan harga diri, martabat, dan kedudukan untuk tetap menegakkan yang haq dan memerangi yang batil walaupun masih cakupan hubbul wathon minal iman itulah yang menjadi pr terbesar kita dengan segala paradigmanya, perbedaan tantangan, dan strategi intuisi akan menjadi warna yang cerah bagi pemegang tahta waris estafet pengeman tugas yang berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar