Upaya Dalam Meningkatkan Budaya Bagi Kaum Muda



 oleh : RF, mahasiswa biologi 2014


PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy). 

Studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) dan Unesco Institute for Statistics itu mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan (knowledge society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah. Hasil menunjukkan bahwa pemahaman generasi muda saat ini masih berada pada peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca.

Penelitian yang dilakukan oleh PISA dengan mengambil beberapa sampel di setiap kota/kabupaten yang berada di Indonesia untuk dapat mengambil kesimpulan terkait minat baca kaum muda di kota tersebut. Ada sekitar 15 variabel  yang terbagi dalam lima kategori digunakan dalam penilaian, di antaranya perpustakaan, koran, sistem pendidikan (inputs), sistem pendidikan (outputs), dan ketersediaan komputer sesuai dengan jumlah populasi. 

Kaum muda saat ini, pergeseran karakteristik yang dimiliki terkait minat baca khususnya pada buku konvensional sudah semakin berkurang. Kaum muda saat ini lebih memilih membaca informasi melalui smartphone dibandingkan buku konvensional. [1] Mereka menganggap buku konvensional tidak fleksibel dengan kebutuhan saat ini yang serba digital. Melalui e-book atau informasi di dunia maya dilakukan oleh kaum muda. Pertanyaan saat ini adalah apakah semua kaum muda saat ini sudah memiliki kemampuan seperti diatas?
Persoalan literasi merupakan persoalan yang akarnya multidimensional, sehingga memerlukan sinergi dari berbagai bidang juga untuk memperbaikinya. Tetapi, mari kita menyoroti aspek terdekat dahulu, yakni pendidikan. Kurangnya pola pikir sekolah serta perguruan tinggi yang seharusnya mematri dalam sistemnya, bahwa perpustakaan merupakan jantung pendidikan yang keberadaannya sangatlah vital menjadi salah satu penyebabnya. Di samping keberadaannya yang sangat dibutuhkan, aspek-aspek yang terkandung di dalamnya seperti ketersediaan buku-buku juga harus diperhatikan agar mereka yang ingin membaca mendapatkan kepuasaan dengan membaca buku yang mereka sukai.
Mahasiswa di Perguruan Tinggi saat ini hanya sekedar mencari pencapaian Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang bagus, tidak pada pencapaian nyata dalam implementasinya di lapangan. Kekacauan sistem pendidikan inilah yang membuat para generasi muda melupakan proses dan hanya berorientasi pada pencapaian nilai (angka) yang tinggi semata. Tingginya budaya kuantitas dibanding kualitas saat ini memang sulit untuk ditampik. Berdasarkan survei yang dilakukan kompas tahun 2015 terkait budaya membaca, hanya 9% dari 667 mahasiswa di enam kota besar di Indonesia seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Medan dan Makassar membaca buku, jurnal ilmiah dan 39% mahasiswa mencari artikel instan untuk kebutuhan referensi pada mata kuliahnya masing-masing.
Secara garis besar, penyebab fenomena lunturnya makna membaca di kalangan generasi muda tentu berakar dari aspek internal dan eksternal. Faktor eksternal, misalnya saja bimbingan serta sarana prasarana dari bahan bacaan itu sendiri, sebagai mahasiswa yang masih memerlukan bimbingan dan arahan dari lingkungan sekitarnya. Perlunya motivasi yang kuat dalam membangun semangat membaca. Adagium, “Belajar seumur hidup” sepertinya belum sungguh-sungguh dimaknai generasi muda. Peran buku bacaan dalam mematangkan pola pikir sebagai realisasi belajar seumur hidup sangat besar. Misalnya, membaca sastra, memberikan kita melihat dari berbagai sudut pandang dalam melihat kehidupan yang berguna dalam mengambil keputusan di dunia nyata.

Melihat perkembangan literasi yang dilakukan oleh Finladia, salah satunya adalah Perpustakaan ada di mana-mana, tidak ada alasan untuk tidak sempat membaca. Perpustakaan adalah institusi budaya yang jadi kebanggaan orang-orang Finlandia. Setiap tahun, jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum selalu tinggi. Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negara lainnya, sehingga stok buku-buku baru yang sesuai dengan rentang usia selalu tersedia. Petugas perpustakaan yang bertugas di sana merupakan lulusan terdidik yang dengan senang hati menjadi referensi tambahan bagi tamu yang ingin bertanya. Selain ada perpustakaan keliling untuk daerah yang sulit dijangkau, Finlandia juga tak asing dengan perpustakaan yang menyatu dengan mall. Ibu-ibu yang sedang berbelanja bisa meninggalkan anaknya di perpustakaan untuk membaca; Ada maternity package yang diberikan kepada orang tua yang baru memiliki bayi. Termasuk di dalamnya buku-buku. Kultur bercerita sudah jadi tradisi orang-orang Finlandia dari masa ke masa. Dongeng folk dan mitologi Finlandia diceritakan untuk membentuk karakter anak, misalnya memperkenalkan dengan hal-hal yang baik dan buruk, menghormati orang tua, dan menghargai sesama. Lewat tradisi bercerita ini, minat baca terpupuk sejak dini. Selain itu, keaktifan orang tua sebagai penunjang belajar anak pun dapat terus berjalan. Tradisi inilah yang membuat minat baca dalam keluarga menjadi berkembang.

Pendidikan dapat berlangsung menyenangkan jika dari faktor internal menganggap kebutuhan membaca buku atau melek informasi dilakukan. Dengan memberikan program bagi diri sendiri untuk waktu membaca, motivasi mengenai“Belajar Seumur Hidup” juga perlu diterapkan agar kaum muda dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Dari sisi psikologis, kebiasaan bedtime story oleh orang tua kepada anaknya, misalnya, juga bermanfaat mendorong rasa ingin tahu yang berdampak meningkatkan minat baca anak sejak usia dini. Sedangkan dari sisi sosiologis, untuk dapat meningkatkan kebiasaan membaca di Indonesia, perlu terlebih dahulu menanamkan persepsi, ketertarikan, dan kesadaran generasi muda akan manfaat membaca buku sebagai jendela dunia dan inspirasi kehidupan.[2] Khususnya mahasiswa saat ini, jangan sia-siakan waktu kalian untuk membaca atau melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat, mari tingkatkan kemampuan diri masing-masing guna tercapainya impian yang siap untuk digapai.

Daftar Pustaka
http://duniaperpustakaan.com/finlandia-negara-literasi-terbaik-di-dunia-ini-5-hal-yang-membuat-mereka-gemar-membaca/


[1] https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160823145217-445-153268/generasi-millenial-dan-karakteristiknya/
[2] http://kabar24.bisnis.com/read/20170316/255/637465/terapkan-kebiasaan-membaca-dari-generasi-ke-generasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16