Goresan Tangan Syifa


         Surga di bawah telapak kaki ibu. Itulah pepatah yang membuatku harus selalu taat dan menghormati kedua orangtuaku khususnya bu. Aku adalah seorang gadis kecil yang oleh kedua orang tua ku di beri nama Syifa An-Nisa Nurus Syifa yang biasa di panggil Syifa. Sekarang aku masih berumur 12 tahun yang sekarang masih duduk di bangku kelas 6 SD yang sebentar lagi akan menduduki bangku SMP. Tak terasa ujian nasional telah usai, ibuku bertanya padaku “ Syifa, setelah ini kamu mau melanjutkan sekolah dimana ? Maukah kau ibu masukkan ke pesantren ?”. Hanya sebuah senyuman yang aku berikan ke ibu. Saat itu tak terasa air mataku menetes, selain aku masih belum bisa berpisah dengan orang tua ada hal lain yaitu aku gak mau berpisah dengan sahabat-sahabatku. Tapi apalah daya jika itu adalah permintaan seorang Ibu yang sangat aku sayangi.

            Tiba saatnya memasuki tahun ajaran baru, keluarga kecil ku mengantarkan aku ke pesantren yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Yaitu pesantren An-Nadwah Jawa Timur. Aku diantar ayah dan ibu masuk dalam rumah kiai dan tak ku sangka ternyata kiai tersebut adalah sahabat kecil ayah, pantas saja mereka sudah kelihatan akrab. Ayah menyerahkan aku ke kiai tersebut untuk dididik dan dibimbingnya. Setelah berbincang-bincang yang lumayan lama, ayah meminta izin untuk segera pulang. Aku mengikuti ayah dan ibu sampai ke depan gerbang. ibuku meneteskan air mata, mungkin karena belum tega meninggalkan aku masih kecil.  Hampir saja Aku juga ikut meneteskan air mata, namun segera Aku bendung karena Aku tak mau melihat ibuku tambah sedih.

            Sudah satu minggu Aku berada di pesantren. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan yang mandiri yang penuh dengan kesederhanaan. Ternyata untuk menjadi sosok yang mandiri itu sangatlah sulit, semua membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat, Aku sudah berada di pesantren kurang lebih satu tahun. Aku sudah menduduki kelas 2 SMP. Semakin bertambah besar, semakin berat pula tanggungan yang harus Aku lakukan. Dikarenakan semua tugas keorganisasian akan menjadi tanggungan siswa kelas 2 SMP.

            Hari ini ialah hari Jumat, hari dimana kelasku selalu mengadakan sebuah perkumpulan hanya untuk share to care. Seperti biasa ketua kelasku memimpin untuk membuka acara kecil kami. Ketua kelasku menyampaikan bahwa akan ada pemilihan calon kandidat untuk menjadi ketua pondok atau biasa di sebut dengan ibu pondok. Dan setiap kelas harus mendelegasikan. Tidak aku sangka dan tak ku duga, ketua kelasku menunjukku untuk menjadi calon kandidat tersebut dan hal tersebut disetujui oleh semua teman-teman kelasku. Aku tak bisa menolaknya, mereka sangat mempercayaiku. Dan aku harus bisa menerimanya dengan ikhlas walaupun ku rasa itu sangat berat.

            Tepat di hari minggu ini, hari dimana pemilihan calon Ibu pondok di laksanakan. Semua santri ikut berpartisipasi dalam hal ini. Mereka melakukan pemilihan dengan tertib. Hingga pemilihan pun usai, dan saatnya untuk penghitungan suara. Hatiku rasanya tak karuan dan deg-degan. Saat penghitungan suara telah usai. Salah satu panitia pun membacakan hasil tersebut. “ Untuk hasil penghitungan suara dalam pemilihan calon Ibu pondok kita tercinta pada ajaran tahun ini yaitu Syifa An-Nisa Nurus Syifa” kata panitia. Tepuk tangan teman-teman pun sangat meriah. Aku masih belum percaya atas hal ini. Yang ada di fikiran dan benakku saat ini, apakah Aku bisa menjalankan tugas yang sangat berat ini dengan baik ?. Namun semua ini adalah takdir dari Allah, dan ini adalah sebuah amanat dan kepercayaan dari teman-teman yang sudah di berikan kepadaku. Sekarang tugasku ialah menjalankan tugas yang sangat besar ini dengan baik tanpa ada rasa kecewa dari teman-teman beserta ustadz dan ustadzah.

            Di sisi lain, pondok putra pun juga mengadakan pemilihan Bapak pondok, semuanya di lakukan dengan baik, tak jauh beda dengan yang di lakukan di pondok putri. Dan kandidat yang terpilih di pondok putra yaitu seorang Gus dari pondok kami sendiri. Yaitu Gus Muhammad Adzkiya, yang merupakan putra bungsu dari kiai kami. Tak bisa kami pungkiri sebagai Ibu dan Bapak pondok, untuk menjalankan organisasi ini agar berjalan baik dan lancar kami harus saling berkomunikasi. Namun untuk menjalankan tugas ini dengan baik, kami tidak bisa menjalankan hanya berdua. Kami sangat membutuhkan keanggotaan atau bisa di sebut anak buah.

            Tak terasa akhir tahun datang. Ujian pun telah kami lalui dengan lancar dan sukses. Seperti biasa pondok kami mengadakan kegiatan akhir tahun atau yang biasa di sebut panggung gembira sebelum liburan. Aku sebagai Ibu pondok dan Adzkiya sebagai Bapak pondok harus bisa mengatur semua kegiatan dengan baik yang di bantu dengan seluruh anggota kami. Oleh karena itu, kami sering mengadakan musyawarah bersama agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Malam ini ialah malam terakhir kami mengadakan musyawarah bersama. Seusai kami sampai di kamar, salah satu sahabat ku Zahra yang merupakan salah satu anggota yang mengikuti musyawarah mendekatiku. Dia berbisik padaku “ Syifa, kamu tadi merasa gak ada yang memperhatikanmu ? Dia diam-diam memfoto kamu juga loh” bisik Zahra. Aku masih merasa tidak percaya. Aku berusah untuk cuek atas segala kejadian tadi. Dan akhirnya kegiatan panggung gembira pun telah usai. Inilah saat yang di tunggu-tunggu oleh seluruh santri baik putra ataupun putri yaitu  perpulangan. Walaupun hanya sebentar.

            Waktu berjalan dengan cepat, tanpa ku sadari sudah saat nya Aku kembali ke pondok atau bahasa kerennya penjara suci. Sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Semua tugas keorganisasianku sebagai Ibu pondok telah usai. Dan digantikan dengan adik kelas. Sekarang tugasku ialah fokus dengan sekolah, karena sebentar lagi aku akan menjalankan ujian nasional.

            Alhamdulillah, ujian nasional telah usai dan berjalan dengan lancar. Sekarang tinggalah aku bertawakkal untuk menunggu hasil ujian dan berharap hasilnya baik. Di sela-sela masa penantianku, Aku gunakan untuk mencari sekolah SMA. Aku mulai bertanya kepada ustadz dan ustadzah sekolah mana yang baik buat Aku. Saat itu pagi hari, Aku tiba-tiba di panggil oleh salah satu ustadzah pondokku yang mendampingi kami.
“ Syifa, kesini nak” panggil ustadzahku yang biasa di panggil ustadzah Syarifa.
‘ Iya ustadzah, maaf ada yang bisa Zahra bantu ?” tanyaku kepada ustadzah Syarifa.
“ Ini ada surat buat kamu” kata ustazah sambil memberikan sebuah amplop berisi surat.
“ Dari siapa ustadzah ?” tanyaku kembali dengan rasa penasaran.
“ Tidak tahu nak, ini Ustadzah temukan di depan pintu, dan hanya tertulis nama kamu” jelas ustadzah kembali.
“ Oh, terima kasih ustadzah” jawabku.
Aku masih bingung dari siapa surat ini. Dan kenapa Aku yang di kasih surat. Aku beranjak pergi ke kamar dan langsung Aku buka surat itu.


Assalamu alaikum..
Bismillahirrohmaanirrohiim,,,,
Ketika pertama melihatmu, tak terasa hati ini memandangmu. Bisakah Aku melihat tanpa memandangmu, ketika hati tergerak dalam sunyiku ini, mungkinkah ada jalan yang terjal yng harus ku hadapi. Aku berharap semua perasaanku padamu tidak bertepuk sebelah tangan.
Aku tunggu kehadiranmu di taman yang biasanya kamu pakai untuk belajar. Carilah pohon besar di samping tempat duduk. Ukir nama kamu di pohon tersebut. Aku mohon Kamu bisa  melakukannya. Terima kasih Aku sudah di perbolehkan mengenalmu.
                                                                                                                                                                        Adzkiya


Tak terasa air mataku menetes membaca surat ini. Kenapa di saat-saat akhir Aku mengetahuinya. Besok adalah hari pengumuman akan kelulusan kami. Dan setelah itu, Aku akan melanjutkan sekolahku di luar.

            Hari esok telah tiba, hari dimana Aku telah di sahkan sebagai alumni. Acara wisuda pun berjalan dengan lancar dan Aku sangat bahagia bisa membahagiakan kedua orangtuaku sebagai wisudawati terbaik. Semua tak luput dari doa kedua orangtuaku. Sebelum aku pulang, aku meminta izin kepada ibu untuk kembali ke pondok sebentar karena ada sedikit kepentingan. Aku teringat dengan isi surat yang kemarin. Aku langsung beranjak ke taman yang biasanya Aku pakai untuk belajar dan merenung. Aku cari pohon besar yang dekat dengan tempat duduk itu. Setelah ketemu, di pohon tersebut telah terukir nama Adzkiya. Seperti permohonan yang ada di surat itu, Aku ikuti dengan mengukir namaku di bawah namanya. Setelah itu, Aku kembali kepada orangtuaku untuk pulang ke rumah.

5 tahun kemudian.....
Pondok Pesantren An-Nadwah Jawa Timur.
            “ Assalamu alaikum” suara Ayahku mengucap salam.”waalaikum salam” sahut seseorang dari dalam ruangan. Tak lama kemudian Pak Kiai keluar dengan salah satu santri seniornya. Mereka mempersilahkan kami untuk masuk. Ayahku menjelaskan bahwa Ia akan memasukkanku ke pesantren ini. Pak Kiai pun memerimaku sebagai santrinya. Tiba-tiba salah satu santri seniornya berkata padaku. “ Saudaranya Syifa ya ?” tanyanya. “ Bukan kak” Jawabku datar karena masih bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba terlontar padaku. Setelah semua administrasi selesai. Ayah berpamitan kepada Pak Kiai untuk pulang. Akupun mengantar ayah sampai depan gerbang.

            Awal memasuki lingkungan pesantren Aku merasa bingung. Semua mata santriwan maupun santriwati melihatku dengan tatapan yang heran. Akupun merasa cuek saja, walaupun dalam hati Aku bertanya-tanya. Sesampainya di kamar, Aku langsung di tanya oleh teman baru yang satu kamar dengan Aku.
“Namanya siapa ?” tanyanya padaku. “Namaku Nadia” Jawabku datar. “ Saudaranya Syifa ya ? Kok wajahnya sangat mirip ?” tanyanya spontan. “ Bukan, siapa Syifa itu ? Kok semua bertanya apa aku saudaranya Syifa ?” tanyaku balik. “Suatu saat nanti pasti kamu akan mengetahui dengan sendirinya” Terang mereka.
Dengan sejuta rasa penasaranku, aku beranjak dari tempat duduk dan Aku lanjutkan untuk menata bajuku dalam almari. Saat aku mulai menata, tak sengaja aku temukan secarik kertas. Tanpa kulihat dan aku baca isinya langsung aku lipat kembali. Yang aku tahu hanya tertulis nama Syifa dan nama Adzkiya. Aku simpan kembali surat itu dalam almariku.

            Saat malam hari, seperti biasa kegiatan para santri yaitu mengaji. Namun ketika sudah sampai di lantai atas tempat mengaji tanpaku sadari aku keliru mengambil kitabnya. Dengan rasa sedikit terpaksa dan kesal aku kembali menuju ke kamar untuk mengambil kitab tersebut. Dalam perjalanan kembali ke kelas, aku dikejutkan dengan sesosok laki-laki yang tampan. Aku memilih untuk duduk di belakang karena aku tak mau jika aku di tunjuk untuk membaca kitab gundul tersebut. Tiba-tiba laki-laki yang aku temui tadi masuk ke dalam kelasku. Aku berfikir kalau Ia sekelas denganku. Tapi ternyata, Ia duduk di bangku seorang Ustadz. Setelah Ia memperkenalkan dirinya, baru aku paham kalau Ia adalah seorang Gus yang disuruh ayahnya untuk menggantikannya mengajar. Semuanya di karenakan, Pak Kiai masih ada kepentingan di luar kota.

            Hari berganti bulan telah Aku lalui. Tanpaku sadari Aku mulai kepo (pengen tahu) tentang siapa nama Gus itu. Aku mulai bertanya-tanya kepada kakak senior. Bahkan kuberanikan pula bertanya hingga mengirim surat kepada Gus Adzkiya yang Aku titipkan kepada Hasan, teman seangkatanku yang ternyata masih keponakan Gus Adzkiya. Aku sudah mulai berani untuk sekedar salam hingga aku berani untuk mengirim surat. Dari surat yang biasa hingga surat yang sangat luar biasa. Aku beranikan mengutarakan perasaanku kepadanya. Dari surat yang pertama, tidak pernah ada balasan. Dan akhirnya, suratku yang berisi tentang perasaanku padanya ada balasan. Gus Adzkiya membalas dengan perasaan yang sama. Aku sangat bahagia sekali.

            Hingga suatu saat Aku bertemu dengannya. Namun Ia tetap cuek dan seperti tidak mengenalku. Aku bingung, bukankah Ia telah membalas perasaanku. Tapi kok sepertinya ia tidak mengenalku sama sekali. Segera Aku temui Hasan. Aku menjelaskan semua yang telah terjadi. Hasan pun menjawabnya “ Sebelumnya Aku minta maaf, jujur saja aku tidak pernah menyampaikan semua salam kamu bahkan surat kamu ke Gus adzkiya. Aku tidak bisa menyampaikan semuanya itu. Aku minta maaf, sejak aku mengenalmu aku merasakan rasa yang aneh yang belum pernah aku rasakan. Aku mencintaimu Nadia” terang Hasan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam yang dapat aku lakukan. Aku berlari menuju kamar. Tak terasa air mataku menetes.

            Sejenak aku berfikir, aku teringat atas surat yang aku temukan di dalam almariku waktu pertama kali masuk pesantren. Aku buka kembali surat itu. Aku baca kembali. Dan aku tersentak, Aku baru tersadar disana tertulis nama Adzkiya. Dan siapa Syifa itu ? Aku mulai penasaran. Aku ingin mencari tahu siapa itu Syifa. Mengapa tertulis nama Dia di surat itu. Aku beranikan diri untuk mencoba bertanya pada kakak seniorku. “ Kak, maaf. Kalau boleh tau Syifa itu siapa ya kak ?” tanyaku pada Kak Indah yang merupakan kakak senior yang paling lama di pesantren ini. “ Kamu penasaran dengan Syifa ? Dia merupkan salah satu alumni disini. Dia merupakan cinta pertama Gus Adzkiya. Namun sekarang mereka terpisahkan oleh jarak dan waktu. Dan bahkan sekarang tidak ada satu pun ang tahu tentang keberadaan Syifa. Pernah Saat itu, terdengar kabar kalau Syifa sekarang sudah menggeluti dunia kepenulisan. Tulisannya pun sudah di muat dalam beberapa surat kabar. Jika Dek Nadia ingin tahu lebih detail. Bisa di buka di internet. Cari saja nama Syifa An-Nisa Nurus Syifa” jelasnya dengan panjang lebar. Ku ucapkan terima kasih pada Kak Indah. Segera Aku ambil laptopku dan Aku mulai mencari nama Syifa An-Nisa Nurus Syifa. Memang benar muncullah nama dia disana yang merupakan seorang penulis. Aku pandangi wajahnya. Dan ternyata apa yang di katakan kakak-kakak senior benar. Wajahnya memang mirip dengan aku. Hanya saja dia terlihat lebih lembut daripada aku. Aku cari alamat detainya. Dan aku pun menemukannya, yaitu Jalan Anggrek Gang 3 no. 12 Bunga, Jawa tengah.

        Keesokan harinya, aku mengajak salah satu sahabatku untuk mencari keberadaan alamat tersebut. Sesampainya disana kami pun menemukan alamat tersebut. Aku ketuk pintu dan ku sertai dengan ucapan salam. “Assalamu alaikum” ucapku. “ Waalaikum salam” terdengar sahutan dari dalam rumah. Aku kaget, ternyata yang keluar bukan seorang perempuan melainkan seorang laki-laki. Kami di persilahkan masuk dan duduk. Aku pun mulai angkat bicara. “ Maaf apa benar inii rumahnya Kak Syifa ?” tanyaku. “ Ia benar, sebentar saya panggilkan” jawabnya. Laki-laki itu pun meninggalkan Kami. Tanpa sengaja Aku membuka majalah yang berada di meja. Aku menemukan sebuah foto di dalam majalah tersebut. Ternyata foto itu ialah foto seorang laki-laki tadi dengan Kak Syifa. Aku berpikir kalau Kak Syifa memang benar-benar sudah menikah dan laki-laki tadi adalah suaminya. Aku ambil foto tersebut dan Aku simpan. Tak lama kemudian, datang seorang perempuan yang ternyata itu ialah Kak Syifa. “ Kak Syifa ya ?” tanyaku langsung padanya. “ Iya, maaf kalian siapa ya ? tanyanya balik pada Kami. “ Saya Nadia, dan ini sahabat saya. Kami merupakan santri dari pondok pesantren An-Nadwah Jawa Timur. Bukankah kakak alumni sana ya ?” tanyaku kembali. “ Iya benar, saya alumni sana. Ada apa adik-adik ini datang jauh-jauh kemari ?” tanya Kak Syifa heran. “ Begini Kak, seperti agenda setiap tahunnya pesantren selalu mengadakan haflah akhirussanah yang selalu mengundang alumni-alumni pesantren untuk menghadirinya. Jadi kami berniat untuk mengundang kakak dan berharap kakak bisa menghadirinya. Ini kak undangannya” terangku sambil menyerahkan sebuah undangan. “ iya, Insyaallah kakak bisa menghadirinya” jawabnya. Akhirnya, Kami pun meminta  undur diri,  tak lupa Aku ingatkan kembali untuk menghadiri undangannya. Aku pulang dengan perasaan yang lega.

         Tiba kembali Kami di pesantren dengan selamat. Aku teringat dengan sebuah foto yang Aku bawa. Segera Aku temui Kak Indah dan ku berikan foto itu kepadanya. Ternyata dugaan Kak Indah sama, Kak Indah juga mengira kalau laki-laki tersebut adalah suami dari Kak Syifa. Tak lama kemudian berita kalau Kak Syifa sudah menikah menyebar hingga ke telinga Gus Adzkiya. Hingga hari menjelang haflah akhirussanah.

            “Adzkiya” panggil Bu Nyai. “Iya bu, ada apa” tanyanya balik. “Kamu hendak kemana Nak ? Bukannya besok haflah akhirussanah ? Kok kamu mau pergi ?” tanya Ibu Nyai dengan rasa penasaran. “Begini Bu, besok di pondok ada acara juga” jawabku dengan nada bingung. Tiba-tiba di kejutkan dengan suara Pak Kiai. “Kamu takut gak siap dengan kehadiran Syifa dan suaminya kan ? Abah sudah tahu semuanya. Bukankah dengan tidak adanya kamu besok disini membuat Syifa tahu kalau kamu itu laki-laki yang lemah” jelas Pak Kiai. “Baiklah Abah, Aku gak jadi pergi. Walaupun itu sakit buatku” jawabku.

       Tiba saatnya haflah akhirussanah. Suasana sudah mulai ramai. Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan begitupun Kak Syifa yang merupakan salah satu undangan alumni. Semua santri ramai, semua penasaran dengan yang namanya Syifa. Seperti biasa setiap alumni yang datang mereka selalu berkunjung ke rumah Pak Kyai. Tepat saat itu keluarga besar Pak Kyai berkumpul di rumah begitu juga dengan Gus Adzkiya. “assalamualaikum” ucap Kak Syifa sebelum memasuki rumah Pak Kyai. “Waalaikum salam, Nak Syifa. Silahkan masuk Nak” jawab Pak Kiai dari dalam rumah. Seulas senyum Syifa lontarkan, tanpa sengaja mata Gus Adzkiya dan Syifa bertatapan. Senyum manis pun muncul dari bibir Syifa. Hati gus Adzkiya pun merasa bergetar tak karuan. Ia serasa seperti melayang. Syifa pun mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Gus Adzkiya. “Maaf Gus, dimana istri kamu ?” tanya Syifa. “Dia sedang istirahat di kamar, sedangkan kamu ? Dimana suami kamu ?” jawab Gus Adzkiya bohong di sertai dengan pertanyaan lagi. “ Hehehe,, pasti kalian melihat foto yang di bawa Dek Nadia ya ? Dan kalian mengira kalau itu suami saya. Saya belum menikah Gus. Itu kakak saya” terang Syifa di sertai senyumnya yang manis. “ Ya sudah. Berarti saya juga belum menikah” sahut Gus Adzkiya tiba-tiba. Semua yang berada di ruangan tertawa. Dan seketika itu pula, Pak Kyai melamar Syifa untuk di jadikan pendamping hidup anak bungsunya yaitu Gus Adzkiya. Hanya diam dan sebuah senyuman yang bisa Syifa sampaikan kepada Pak Kyai. Dan bisa di artikan diam seorang perempuan itu berarti “IYA”.
          Hari berganti hari telah berlalu, Aku semakin dekat dengan Kak Syifa. Aku sudah menganggap Kak Syifa ialah kakak ku sendiri. Sedikit demi sedikit rasa suka ku kepada Gus adzkiya telah pudar. Hanya rasa kagum sebagai Gus sekaligus ustadz yang tertinggal. Bahkan sekarang Aku sudah dekat dengan Hasan yang benar-benar menyayangiku. Sekarang Aku bisa mengerti apa makna dari sebuah rasa sayang. Allah pasti memberikan jodoh yang sesuai dengan diri kita masing-masing. Allah lah yang menentukan segalanya. Subhanallah.

            


Komentar

  1. Menarik :D
    Cerita nya mungkin bisa di perpanjang untuk di jadikan novel tanpa mengurangi kedalaman makna nya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16