Budaya dan Keterkaitan dengan Kesehatan
Tingkeban (Mitoni), kearifan lokal budaya jawa dalam kesehatan
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Budaya-budaya
yang mencuat dari beragam suku di Indonesia tersebut membentuk identitas bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
luhur dengan sikap toleransi yang tinggi terhadap beragamnya budaya dan bahasa
ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Namun, peradaban manusia yang sudah
demikian maju, memaksa budaya-budaya modern mengisi dimensi-dimensi kehidupan di masyarakat. Mulai dari kehidupan
berumah tangga hingga kemajuan teknologi industri dan informasi.
Di tengah kemajuan zaman
seperti itu, budaya-budaya yang telah mengakar di kehidupan masyarakat tidak
boleh sampai diacuhkan begitu saja, karena budaya-budaya tersebut mengandung
nilai yang sangan luhur yang harus terus dilestarikan. Budaya-budaya lokal yang
berada ditengah masyarakat inilah yang akan memberikan pertimbangan dalam
menerima budaya modern apakah akan membawa manfaat untuk masyarakat atau bahkan
sebaliknya.
Salah
satu aspek penting yang tak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal.
Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan suatu
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri
(Ayatrohaedi, 1986:18-19). Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan
kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh
melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari
masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh
masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada
masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang,
sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Salah
satu suku terbesar di Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan dan nilai
kearifan lokal adalah suku Jawa. Sering kita jumpai ritual-ritual keagamaan
atau adat di masyarakat Jawa yang tidak bisa dijumpai di masyakarat suku lain.
Banyak kearifan lokal yang telah membumi di masyarakat Jawa, seperti puasa
patti geni, hari raya kupat, bersih desa, mitoni dan lain sebagainya. Salah
satu kearifan lokal yang masih dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat
Jawa adalah mitoni/ tingkeban.
Tingkeban
merupakan upacara selamatan kehamilan
tujuh bulan. Banyak orang mengenal upacara ini dengan sebutan mitoni
yang berasal dari bahasa Jawa pitu yang artinya tujuh. Tingkeban
menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada
sejak zaman dahulu. Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal
dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya.
Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya
tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi
tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk
menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya
akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat
pokok, mereka harus menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’ dan
senantiasa berbuat baik belas kasihan kepada sesama. Selain itu, mereka harus
mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh
sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan disertai permohonan
kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan
dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan
menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang
setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah
serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Allah
mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan
yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb,
serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga
sekarang dan diberi nama Tingkeban dengan harapan mendapat
kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak
tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual Tingkeban
tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Jawa khususnya
di daerah Solo dan sekitarnya (Fauzi, 2013). Ada juga yang mengatakan bahwa Tingkeban
berasal dari bahasa Jawa: sing dienti-enti wis mathuk jangkep (yang
ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna) karena pada masa ini umur kandungan
sudah mendekati masa kelahiran.
Menurut
ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis
adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna
melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap
terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan
harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang
terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan
makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat
Jawa. Maksud dari perayaan mitoni ‘tujuh bulan’ atau Tingkeban
ini hakikatnya adalah suatu permohonan kepada Tuhan agar anak dalam kandungan
selalu selamat dan lahir dengan lancar serta tepat waktu (Sutardjo, 2008: 101).
Sejalan
dengan hal tersebut diatas, dalam ilmu Keperawatan Maternitas dikatakan bahwa dalam masa kehamilan, seorang wanita
akan mengalami berbagai adaptasi selama kehamilannya, baik fisiologis maupun
psikologis. Secara psikologis, wanita akan mengalami adaptasi maternal. Wanita,
dari remaja hingga usia sekitar 40-an, menggunakan masa hamil 9 bulan untuk
beradaptasi terhadap peran sebagai ibu. Adaptasi ini merupakan proses sosial
dan kognitif kompleks yanng bukan didasarkan pada naluri, tetapi dipelajari
(Rubin, 1967 ;
Affonso dan Sheptak, 1989). Kehamilan
merupakan “krisis maturitas” yang dapat menimbulkan stres, tetapi juga berharga
karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seiring
persiapannya untuk menghadapi peran baru, wanita tersebut mengubah konsep
dirinya dari seorang yang bebas dan berfokus pada diri sendiri menjadi seorang
yang seumur hidup berkomitmen untuk merawat seorang individu lain.
Ketika
kehamilan seorang wanita berusia 7 bulan, ia telah memasuki trimester ke 3 dari
proses kehamilan. Pada trimester ke 3, seorang wanita akan merasa cemas,
gelisah, khawatir, dan takut terhadap proses persalinan yang akan segera ia
hadapi. Berbagai macam bayangan kejadian ketika persalinan akan berseliweran
untuk meningkatkan kecemasannya. Keselamatan dirinya, bayinya, bagaimana
kondisi bayinya nanti seuai dengan harapan atau tidak, merupakan kekhawatiran
yang dialami oleh mayoritas wanita hamil, terutama pada kehamilan yang pertama.
Pada kondisi demikian, dukungan suami, keluarga, serta kerabat menjadi sangat
penting untuk mereda kegelisahan dan kecemasan. salah satu bentuk dukungan yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan dorongan secara spiritual dengan berdo’a
bersama.
Pada upacara tingkeban, biasanya dilakukan
pembacaan ayat suci Al-qur’an dan do’a bersama juga ritual-ritual lain seperti
sungkeman, mandi suci dengan air dari 7 mata air, dan lain-lain, yang mungkin
setiap daerah memiliki beberapa perbedaan. Namun, meskipun beberapa ritual yang
dilakukan ada yang berbeda, tingkeban secara umum memiliki tujuan yang sama yaitu
untuk memanjatkan do’a, mengharapkan kebaikan, kesehatan dan keselamatan bagi ibu
serta bayi yang akan segera dilahirkan. Acara tingkeban biasanya dipimpin oleh
pemuka agama desa setempat dan dihadiri oleh warga setempat untuk turut
mendo’akan kebaikan wanita yang sedang hamil beserta calon bayinya. Dengan
dilaksanakannya do’a bersama diharapkan dapat mengurangi kecemasan wanita yang
sedan hamil, karena telah di do’akan oleh banyak orang dan percaya do’anya di
terima oleh Yang Maha Kuasa serta diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan
diri wanita yang sedang hamil untuk menghadapi persalinan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa tingkeban yang merupakan salah satu
kearifan lokal budaya jawa dapat memberikan dampak positif terhadap kondisi
psikologis wanita yang akan menghadapi
persalinan. Tingkeban menjadi salah satu sarana bagi keluarga untuk
mengungkapkan dukungan kepada anggota keluargnya yang sedang hamil sekaligus
menjadi bentuk rasa syukur akan hadirnya anggota keluarga baru. Meskipun bukti
secara ilmiah tidak banyak membuktikan hubungan antara tingkeban dengan penurunan cemas pada wanita hamil,
nilai luhur yang didalamnya mampu mengukuhkan tingkeban menjadi tradisi yang
sampai sekarang masih dilaksanakan karena tujuan dan dampaknya di berbagai sisi
kehidupan masyarakat.
by : Tyco
Komentar
Posting Komentar