Beibadah (dengan bodoh)

 

Beribadah (dengan bodoh)

Oleh : Ikram Syahrin Akbar


Ilustrasi (sumber: suara aktual)

Karl marx dalam Critique of Hegel's Philoshopy of Right mengatakan "Religion is the opium of the people. It is the sight of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of our soulless conditions" yang berarti kurang lebih agama adalah opium/candu bagi masyarakat, Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati, dan jiwa dari keadaan tidak berjiwa. Agama di maknai Karl Marx sebagai sebuah jalan keluar saat manusia merasa lemah dan ingin menjadi diktator atas nafsunya dengan mengatasnamakan tuhan. Konsep ini tertulis sebagai kritik praktik keagamaan saat ini.

Saya menaruh hal tersebut sebagai pemantik alur diskusi dari tulisan ini. Ini menjadi dasar bagi kita umat beragama dalam menjalankan agamanya yang seringkali dianggap sebagian orang hanya mengikuti candu dan memberikan angin segar semu bagi masalah yang kita sendiri penyebabnya. Namun apakah benar agama bagi kita hanyalah candu? Hanya menjadi alat pembenar untuk mencari jalan keluar dari kita yang tertindas atau bahkan untuk menindas orang lain? Agama menjadi lambang kediktatoran nafsu tapi mengatasnamakan hal suci?

Sebelum menjawab hal tersebut perlu kita sadari, berapa banyak di dunia ini perang dan pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama. Yang tidak jarang jika kita berperang atas hal tersebut maka kita adalah pejuang kebenaran dan musuh adalah tangan-tangan setan yang harus segera dienyahkan, mereka berjalan atas nama iblis, sedangkan kita membela Tuhan yang kita anggap sebagai pengejawantahan kasih sayang dan pembawa kedamaian bagi umat manusia. Bukan hanya itu, atas nama agama kita juga sering kali membuat teror demi teror kepada masyarakat yang "katanya" berasal dari ayat-ayat Tuhan. Peristiwa 911, pembunuhan Galileo Galilei oleh gereja karena bertentangan dengan konsep Injil yang belakangan ternyata konsep Galileo yang malah kita pakai secara umum sampai saat ini, peristiwa pembantaian umat Islam Rohingya oleh penganut Agama Budha di Bangladesh dan masih banyak lagi. 

Sungguh betapa agama menjadi momok bagi kita, yang tadinya agama berdasarkan bahasa artinya tidak kacau/sesat menjadi landasan bagi kita merusak atau mengacaukan tatanan yang sudah baik. Mencari kedamaian di atas penderitaan bahkan mencari kemuliaan dengan mengotori tangan demi yang katanya membela Firman Tuhan. Agama dijadikan senjata, membuat hati merasa lebih tinggi dan jauh lebih baik saat kita nilai seorang lain tidak lebih agamis. Apakah agama bertujuan demi hal seperti itu? Kalau iya, saya pikir apa gunanya kita beragama. 

Sejatinya agama harusnya sesuai dengan definisinya, yaitu menjadikan manusia tidak kacau dan mampu untuk memanusiakan manusia. KH. Ahmad Dahlan, seorang tokoh muslim secara mudah menggambarkan beragama itu laiknya mendengarkan permainan biola, indah menenangkan, beragama harusnya hidupnya tentram dan tenang, karena agama seperti musik indah yang mengayomi dan menyelimuti. Namun apabila kita mendengar permainan biola dari bukan ahlinya hanya akan membuat kacau dan resah serta menjadikan agama sebagai bahan tertawaan. Begitulah kiranya ketika kita sebagai representasi agama justru malah mencederai agama kita sendiri. Tak salah ketika orang yang tidak memahami agama akan berkomentar agama pembuat sulit karena kita selalu menyulitkan orang ketika beragama. 

Suatu ketika KH. Abdurahman Wahid menjawab pertanyaan Terkait mengapa kita harus diskusi dan membicarakan IsIam di tempat ibadah orang lain. Beliau hanya menjawab, kalau kita tidak mau membicarakan dan mendiskusikan Islam di tempat agama lain, kapan pesan Tuhan akan tersampaikan pada mereka. Secara harfiah diskusi ini bukan semata untuk mempromosikan agama tertentu ke pihak tertentu, tapi lebih dari itu, pemberian pemahaman pada orang lain agar tidak terjadi mis persepsi antar umat beragama yang kemudian diharapkan akan timbul saling memahami dan saling menghargai. Kedamaian seperti ini saya rasa tidak perlu ada pertumpahan darah tapi efeknya akan jauh lebih mengena. 

Pertanyaan besarnya, apakah kita hanya menjadikan agama sebagai candu yang memabukan dan menyesakan atau kita menjadikan agama sebuah pola pikir mencapai kemajuan dan perjalanan kebaikan? 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16