Nusa dan Jaka

NUSA DAN JAKA

-Aldina Sausan Firdausa-

         Aku tersasar. Aku telah berjalan jauh dengan niat menyentuh halte untuk menuju bandara. Seharusnya aku sudah sampai bila melihat kembali jadwal yang telah disusun jauh-jauh hari. Aku akan pergi ke kota lain dan pindah ke sebuah rumah yang apabila dilihat dari atas sana ada jalinan sungai yang sambung menyambung mengelilingi pulau biru itu.

Aku semestinya mengiyakan tawaran Bapak untuk dijemput dengan mobil Pajero Sport hitam kebanggaannya. Lebih daripada itu, aku hanya ingin berjalan kaki. Entah mengapa.

Aku besar di kota ini. Kota ini telah menjadi tempat tinggalku di sepanjang hidup. Aku menaiki delman, berkeliling kota dengan bus kota berwarna biru dan oranye yang lucu, juga kereta yang hadir setiap 10 menit sekali dengan laju yang melesat seperti peluru. 

Langit di atas kepalaku berwarna abu-abu seperti hujan hendak turun meski nyatanya langit biru itu telah berubah sejak lama ada atau tiada hujan. Aku tidak membawa perbekalan apapun. Sungguh lucu tersesat di kota tempatku dilahirkan. Kota ini ternyata sudah lama berubah.

“Nusa!”

Aku terkejut. Aku menoleh untuk menjemput suara familiar itu. “Kak Jaka!”

“Aduh ngapain jalan sampai sini? Jauh banget!” semprotan Kak Jaka membuka percakapan kami dengan pedas tanpa aba-aba. Kedua matanya menyala terang. Rahang di wajah letih itu terlihat menahan amarah. Meski aku tahu sekali, perilakunya adalah bentuk cintanya yang begitu besar padaku.

Aku memeluknya. Dia tidak mengizinkanku menjumpainya untuk kali terakhir. Dia pergi dari rumahnya, mematikan telponnya, dan tidak memberikan satu informasi sedikitpun kepada kerabatnya selain ‘jangan hubungi sampai aku pulang’. Semua dilakukannya untuk menghindariku.

“Ibumu telpon aku. Katanya kamu belum sampai di bandara.” masih dengan omelannya, Kak Jakarta memarahiku.

Aku memeluknya semakin erat. Aku menghirup dalam-dalam aromanya yang khas. Dulu ia pernah lebih harum daripada ini, namun tempaan yang keras selama ia bekerja di kota ini membuatnya tak begitu peduli lagi dengan penampilan. 

“Untung kamu ketemu, Nusa. Bisa sepanik apa Bapakmu kalau tahu kamu ketinggalan pesawat sementara Ibumu di bandara ga tahu apa-apa. Telpon kamu nyala gak sih? Kalo mau coba hal baru seenggaknya kabari.” Kak Jaka masih juga menyemburku.

“Aku kangen kamu.” jawabku pelan pada akhirnya.

Kak Jaka menghela nafas. Ia mengusap punggungku beberapa lama, lalu membalas pelukanku. Tidak ada kata-kata lagi darinya. Aku hanya mendengarkan nafasnya yang dengan asing menenangkanku secara familiar. Diamnya berucap dalam gema.

“Kenapa kamu gak cegah Bapakku? Kenapa kamu rela aku pindah?” tanyaku putus asa. “Aku gak akan pulang lagi dan kamu bahkan gak marah waktu aku bilang Bapak minta aku pindah ke rumahnya.”

Kak Jaka mendorongku menjauh. Ia tetap mengizinkanku memeluknya, tetapi ia memastikan kedua matanya menatap milikku. Ada luka yang ditahan di sana. Aku tahu sekali. Aku sudah mengenalnya sejak kecil.

“Nusa, kamu inget ga sih kita pernah ke bukit di belakang rumah? Yang sekarang gundul.” kekeh Kak Jaka. “Sebenernya aku pengen banget ngajak kamu ke sana sebelum pergi, ngobrol sama kamu.”

“Kenapa kamu malah kabur?” sergahku. Gantian. Giliranku mengomelinya sekarang.

“Aku mau ngobrol pake suasana lama kita waktu masih pendekatan, tapi pohonnya udah abis. Kalo malem aku yang takut pocong.” jelas Kak Jaka.

Aku gagal menahan tawa. Rasanya aneh melihatnya yang semakin dewasa, terlihat lebih tua dari usianya, penuh keletihan namun gagah takut pocong. Hantu yang mungkin bisa tumbang bila ia pukul sekali saja.

“Aku mau kamu inget apa yang kita obrolin waktu itu. Mimpi-mimpi kamu untuk jadi orang sukses yang jadi pemimpin negara ini.” Kak Jaka menyisir lembut rambutku.

“Aku masih bisa sukses di sini. Buat apa juga aku sukses tanpa kamu?” aku menaikkan daguku untuk membuat pandangan kami sejajar. Aku menangkap senyumannya di bibir, tapi tidak di matanya. Aku merasa kami terkoneksi dengan perasaan yang sama. Kami tidak ingin berpisah maupun dipisahkan.

Kak Jaka menggenggam kedua tanganku. Kepalanya tertunduk beberapa waktu sebelum mendongak kembali kepadaku. Ia menarikku ke motornya, tetapi aku memilih berjongkok. Aku akan bertahan di sini. Aku akan membangun impianku sini. Bersamanya.

Kak Jaka berjongkok di depanku sementara aku mengubur kepalaku di antara kedua lenganku. Aku tidak mau menatapnya. Bisa-bisa aku goyah.

“Nusa, Bapak butuh bantuanmu untuk membangun kotanya. Mana mungkin aku tega larang Bapakmu sendiri.” jelas Kak Jaka. “Kamu gak seneng kah membangun kota baru di sana? Bukan cuma kamu loh yang berkembang, seluruh negri ini juga berkembang kalau kamu pindah.”

Belum sempat aku menyanggah, Kak Jaka sudah menambahkan. “Termasuk aku. Kepindahanmu mempercepat kota ini berkembang. Instruksimu dari sana akan membangun kota ini dan aku.”

Aku sekali lagi mendongak padanya. Sorotnya selalu cerah meski sejak lama kota ini kehilangan cahaya cerah dan langit birunya. Kulit putih langsatnya telah berubah menjadi coklat keemasan. Garis-garis halus telah nampak di sekitar matanya. Dia telah membangun kota ini bersama hidupnya. Terlalu banyak bebannya. Kepindahanku akan meringankan sedikit beban itu.

“Tapi aku kangen kamu.” aku memegang erat-erat lengannya. Kak Jaka tersenyum padaku. Aku ingin ia melakukan hal lain seperti membawaku lari atau loncat sekalian ke laut biru dan mati bersama, tapi aku sadar tanpa kami ada banyak kerusakan yang akan terjadi.

“Aku akan sama kamu. Dimanapun.” Kak Jaka mengecup pipiku singkat. “Mau ya? Demi kita berdua, demi kebaikan semua.”

Aku menggigit bibir dan menunduk. Sambil mengeluarkan tangisku, aku mengangguk perlahan. Tepat ketika tetesan air mataku menyentuh tanah, Kak Jaka memelukku. Kali ini sangat erat selama beberap waktu hingga rasanya kami benar-benar sudah berpisah. 

“Selamat tinggal, Sayangku Nusantara.”

“Aku mencintaimu, Kekasihku Jakarta.”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16