Jiga dan Laka

 

Jiga dan Laka

Namaku Jiga, Anak seorang perwira TNI bintang 3 dan dari seorang guru ngaji di TPQ. Bisa dibayangkan seberapa tersiksanya aku di masa kecilku. Didikan keras dari kedua orang tua berderajat tinggi di desa. Aku tahu tujuan didikan keras itu untuk menempaku mengahadapi kejamnya dunia di luar, menghadapi panasnya siang tanpa aling aling daun pisang sekalipun bahkan gelapnya malam tanpa lampu temaram. Tapi tetap saja, anak kecil tetaplah anak kecil, butuh hiburan dan kebebasan. Namun mereka akan tetap bergeming dengan caranya mendidikku.

Singkat cerita, aku harus meninggalkan rumah yang terlihat kecil dan menyempitkan ini yang nyatanya rumah ini sangat besar, awan terbentang luas indah diatas, pemandangan gunung di belakang bahkan aku bisa melihat seisi dunia dari dalamnya. Baru terasa betapa indah dan megahnya rumah ini setelah aku keluar dan meninggalkannya, darimana saja aku selama ini. Aku yakin tak akan lagi kujumpai hunian sepermai ini bahkan hotel bintang 5 pun aku tak yakin, setara pun tidak.

Aku berjalan pelan menapaki tapak demi setapak jalan di samping aspal baru yang masih bau ini. Bangunan tinggi yang perkiraanku mencapai 70 lantai berjejer disamping trotoar bak kucing yang mengantri makan di rumahku tiap sore. Dari belakang, seorang pemuda kira kira seusiaku menyenggol ku dengan bahunya, rasanya sengaja ia melakukannya.

“Hei apa maksud anda?”, Ujarku

Ia membalas, “Oh , maaf saya tidak sengaja, saya sedang terburu akan menjemput keluarga saya”

“Anda kira saya juga tidak terburu?”, balasku dengan nada mencibir

“Maaf, saya tidak tahu itu, sekali lagi mohon maaf” Timpalnya.

“Boleh tahu siapa nama anda?”, tanyanya

“Nama Saya Jiga, saya sedang mencari alamat ini, anda tahu?”, ujarku sambil menunjukkan alamat yang diberi oleh ayah ketika aku meninggalkan rumah.

“Kebetulan Saya menuju kearah situ juga, mau saya antarkan?” Bujuknya

“Boleh, Jika Anda tidak kerepotan”, Balasku

Singkat Cerita, kami berdua berjalan menuju jl. Loyalitas, jalan yang tertera di alamat itu. disepanjang perjalanan kami hanya sedikit berbicara, ia hanya sibuk dengan gawai yang dibawanya dari tadi. Sesampainya di rumah saya terkaget. Ternyata rumah itu terlihat sangat kecil namun dikelilingi hamparan rumput yang luas, dengan suara kambing mengembik bersahutan. Namun dihalaman rumah itu terlihat sangat sejuk padahal di tengah riuh dan panasnya kota.

“Jiga, Ini alamat yang kamu cari”, ujarnya

“baik, terimakasih. Ohiya namamu siapa?” tanyaku penasaran

“Namaku Laka, Mari masuk”

“Loh, Rumahmu disini juga?”, tanyaku

Tanpa menjawab iya menyeretku masuk kedalam rumah itu

Ia Bukakan pintu kayu yang sedikit berlumut itu. Terkagetnya aku. Suara riuh menggelegar di rumah kecil ini berseru kepadaku “Selamat Datang Di Rumah Kami dan Rumahmu yang Baru”. Orang orang itu banyak sekali, berpakaian beraneka seakan ini adalah pesta terakhir mereka. Hiasan hiasan di dinding itu sangat indah. Makanan dan minuman berlimpah yang mengisyaratkan memang ini cara mereka menyambut tamu yang bahkan tidak mereka kenal pikirku. Ini Pesta, benar ini pesta. Seumur Hidup aku tidak pernah menghadiri pesta senyaman dan sehangat ini meskipun sering aku datang ke pesta, namun ini satu satunya sepanjang hidupku. Tak disangkanya, Laka dsepanjang jalan bermain gawai, hanya untuk menghubungi keluarganya untuk menyuruhnya berkumpul dan menyiapkan pesta penyambutan untukku.

Singkat cerita, euphoria penyambutan sudah habis. Hari keudaku di rumah ini, Aku mulai diberi tugas tugas untuk merawat rumah. Rumah yang kata Laka penuh sejarah ini. Sebelumnya aku diajak Laka berkeliling mengenal Rumah ini dan area di sekitar. Sebenarnya sampai saat itu aku belum menemukan keistimewaan dan alasan mengapa ayahku memberikan alamat rumah ini sebagai tempat tinggalku di kota ini, tapi seiring berjalannya waktu aku yakin bakal temukan jawabannya. Tugas tugas itu pun satu persatu kuselesaikan sesuai target hanya beberapa tugas yang tidak mampu aku kerjakan, aku akan kabur dan menghilang dari Laka. Seringkali ia memarahiku dan jarang ia memuji pekerjaanku yang selesai dengan baik. Setahun dua tahun di rumah ini, aku merasa tugasku semakin berat. Sering kali Laka menyindirku di depan keluarga mereka yang lama, sesekali aku berontak menunjukkan kebencianku pada Laka, tentu saja ia tidak terima aku berontak. Rumah yang sempit ini seakan menjadi neraka. Terbakar semua.

Suatu Hari, Laka merangkulku, menyelipkan sebuah surat yang terasa berat ke saku celanaku dan memintaku untuk membukanya ketika matahari akan terbenam. Rasa penasaranku seakan berusaha membuka gembok namun tidak bisa. Pukul 5 sore aku pergi ke atas rooftop rumah untuk membuka surat dari Laka. Kubuka surat itu namun kosong, tak bertulis. Surat itu kubolak balik kututup kubuka barangkali ada tulisan kecil dipinggir surat. Saat kudongakkan surat ini keatas kesinar matahari oranye. Terlihat visual seorang pemuda berbadan tegak berjalan kedalam rumah dengan muka kusut tibanya didalam rumah ia melihat rumah berantakan, rumah itu sangat mirip dengan rumah yang kutinggali saat ini. Pemuda itu membereskan barang barang yang tergeletak di lantai, membuang sampah berserak, membenahi pintu lemari yang patah, menyambung tali jemuran yang putus akibat badai yang seharusnya itu adaah tugasku. Ia kemudian beristirahat dan kemudian aku datang. Ia berkata kepadaku terimaksih sudah dibersihkan rumahnya. Aku tersenyum karena memang sebelum aku berangkat memang sudah aku bersihkan.

Matahari terbenam. Visual itu hilang tiba tiba. Aku bingung, rasanya visual itu belum selesai. Kubolak balik lagi, kali ini kuhadapkan surat ini kepada cahaya rembulan. Cerita berlanjut. Malam hari dingin, aku tidur di sofa dengan kaos dancelana pendek, terlihat seorang pemuda membentangkan selimut kepadaku, sesaatnya ia kembali membawa teh hangat dicampur jahe untukku. Cerita itu menghilang karena bulan tertutupi awan mendung. Aku berpikir keras siapa pemuda itu? mengapa wajahnya tak begitu jelas seperti aku melihat wajahku sendiri. Kututup surat itu. aku turun kekamar dengan rasa penasaran. Kunyalakan lampu belajar  dan kutaruh surat itu diatasnya. Aku melihat tulisan tangan bertuliskan “Pemuda itu adalah aku, setelah ini aku akn meninggalkan rumah ini, tolong dijaga rumah ini dengan baik”. Seketika itu aku berlari mencari Laka dan meminta maaf atas segala yang pernah dilakukanku terhadapnya. Laka menambutku dengan sangat meriah dan akan kulepas Laka dengan bangga

Karena Surat itu, aku merasa bahwa rumah ini hangat, nyaman, jauh dari kata reyot. Rumah ini benar benar menggantikan rumah ayah di desa. Rumah yang penuh dengan kenangan indah dan bahkan kenangan buruk pun bisa menjadi tertawaan indah. Terimakasih yang sebesar besarnya kuucapkan kepada Laka sebagai keluarga pertama yang aku kenal di kota ini.

 

Sekian sedikit crita pendek dari kami CSS 2017, Cerita ini terinspirasi dari cerita Kakak kakak CSSmora 2016 dengn kami 2017. Jiga sebagai 2017 yang tidak tahu apa apa dan seorang Laka sebagai 2016 yang sangat mengayomi dengan ikhlas dan tanpa terlihat didepan kami. Sekali lagi terimakasih kakak kakak 2016, mungkin ini dapat menjadi hadiah dari kami. Semoga kita bertemu kelak dengan bersama sama sukses


-Kemal

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidur Berkualitas: Fondasi Kesehatan dan Produktivitas

Cara Sederhana Mencegah Penyakit Menular di Lingkungan Kampus

Pengaruh Keberadaan Ruang Interaksi Komunitas Universitas (RIKU) terhadap Kesehatan Mental