Ingatan dari Semesta
Ingatan dari Semesta
Semalam hujan turun
kembali. Seperti biasa. Menemani luka dan kesepian yang sudah berhari-hari menikam
ramainya semesta.
Semalam hujan turun
kembali. Mengingatkan memori-memori di hari-hari lampau. Bibirku tiba-tiba tersenyum,
teringat sepotong kalimat yang dulu kuucapkan.
“Hai Aku! Suatu
hari nanti kamu bakal berjumpa dengan hari yang barangkali penuh kecewa.”
Aku mengangguk mendengar
kalimatku itu -dulu. Sepotong kalimat dengan imbuh-imbuh kecewa itu menggugah hatiku,
meyakinkan langkahku agar tetap kuat dan tidak perlu kecewa jika hari itu datang.
Cukuplah istirahat menjadi pilihan dan segera bangkit menjalani hari-hari
kembali -saat hari itu menghampiri.
Hari berputar.
Senin usai dan diri bertemu senin kembali. Bulan berganti. Seolah Januari baru kemarin,
rupanya sekarang sudah Juni saja. Bahkan bulan kelahiran menghabiskan dirinya begitu
cepat. Pun tahun yang seolah berlari terus menambahkan diri. Dan di antara hari,
bulan, dan tahun beserta kesibukannya masing-masing, usia justru terus berkurang.
Jatah hidup semakin tipis. Entah esok dapat melihat petang menyapa -atau tidak.
Di sela-sela kesadaran perihal jatah hidup yang sebentar lagi usai, aku tersenyum. Rupanya hari yang kecewa tak hanya hadir sekali. Berkali-kali. Dan hari inipun lebih parah lagi. Lambat-lambat, kalimat di masa lampauberanjakdanmulaiberubah. Kepercayaan tentang hadirnya satu hari yang penuh kecewa bertransisi menjadi, kelak, pada masanya, satu hari yang berhasil meredam luka bakal menuai jumpa. Tidak perlu terlalu cukup sempurna. Cukup hari yang mampu meredam luka. Sebentar saja. Cukup.
-pagi
Komentar
Posting Komentar