Aku pernah mencintai, kemudian aku yang meninggalkan

 

            “Aku pernah mencintai, kemudian aku yang meninggalkan.”

            Jika diperintahkan untuk menulis surat, aku amat tidak pandai menuliskan. Terlebih dalam kondisi pikiran yang tengah buyar. Maka jika kau baru saja selesai membaca puluhan surat yang lain, kau pasti sebentar lagi hendak mengoceh betapa surat yang tengah kau baca ini amat menyedihkan dibanding surat-surat sebelum ini.

            (Biar aku tegaskan sekali lagi) Aku bukan penulis buku best seller atau sejenisnya. Tidak sedikitpun keahlian menulis surat melekat di sela-sela jari tanganku. Ijazah SMA-ku bukan berdiri di penjurusan itu, pun perkuliahan yang sekarang tengah kududuki. Tapi searoma dengan perjalanan sepasang kaki yang menempel di acetabulum-ku, aku mulai mendapati tanganku yang meraih genggamanmu. Di tengah-tengah jatuh bangunnya aku; di sela-sela tumpahnya air mataku; di antara pecah-pecah tangisku, kau hadir membawakan segelas pelangi.

            Hari-hari berjalan. Membawa kita berdampingan di pelataran trotoar. Setiap sore. Dan setiap hari. Memeluk matahari yang hendak terbenam. Bercerita perihal apa saja yang kau kupunyai. Peduli kepada bahasan-bahasan baik juga buruk. Begitu dekatnya jarak juga rentang waktu tentangmu dan aku, tidak pernah sekalipun aku mencopot namamu di sela bibirku. Terlebih saat-saat manisku bersama penciptamu.

            Waktu berjalan kilat sekali. Sampai kaki yang tak kuketahui jumlah miliknya itu rupanya sudah berlari. Menginjak ranting-ranting pohon maple yang melompat; berisik; kering kerontang seperti detak milikku. Aku akhirnya lupa bahwa kita pernah sedekat amplop dengan perangko. Tepatnya melupa; dan menjadi durhaka.

            Lalu jarum waktu mempertemukanku dengan kata, bahwa sekalipun aku lupa dan pergi, kau tak pernah sekalipun terluka. Tidak jua ada rencana membalas hidupku menjadi lebih tersiksa. Betapa utuhnya hatimu.

            Wahai makhluk milik-Nya yang paling sempurna, tak berani aku menyebutkan namamu yang terlampau mulia itu. Terlalu megah untukku yang seringnya meninggalkan dan pulang saat benar-benar membutuhkan.

            Sebatas penggal renjana yang kusisa. Untukmu yang amat dicinta oleh para manusia. Setelah kita pernah begitu dekatnya dan aku lupa menjadi sepasang kaki yang meninggalkan, sekarang aku paham bagaimana rasanya mencintai seseorang yang dicintai oleh banyak orang.

            (Sekali lagi) Sebatas penggal renjana yang kusisa. Untukmu yang kuharap masih menyisakan tempat paling teduh untuk hatiku. Hanya semoga yang kuterbangkan pada mahsyar yang kiranya dapat mempertemukan.

 

Oleh: Pagi

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidur Berkualitas: Fondasi Kesehatan dan Produktivitas

Cara Sederhana Mencegah Penyakit Menular di Lingkungan Kampus

Pengaruh Keberadaan Ruang Interaksi Komunitas Universitas (RIKU) terhadap Kesehatan Mental