Kisah Tetes Air

 

Kisah Tetes Air

Nomaden, kata yang menggambarkan keberadaanku. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Setiap harinya, mungkin setiap waktu juga, selalu berpindah tempat. Hampir seluruh tempat dibumi pernah aku singgahi. Sekarang, bersama dengan teman-teman yang lain, aku menaiki transportasi udara untuk berkelana kembali. Nantinya, aku dan teman-teman akan melakukan terjun payung. Kami dibagi menjadi tiga kelompok yang akan terjun di tiga titik berbeda.

Kelompok pertama terjun. Aku melihat mereka keluar satu per satu dari transportasi udara. Hanya ada lima puluh temanku yang berada dikelompok itu. Setelah semuanya keluar, pintu belakang kembali ditutup, membuat udara kembali normal.

Ada teman lama mengagetkanku yang sedang asyik melihat pemandangan dari jendela, “Bagaimana kabarmu, teman? Sudah lama kita tidak bersua.”

“Ah iya, mungkin satu tahun yang lalu kita bertemu saat menyusuri sungai Musi.” Kataku menanggapi.

Dia tertawa mengetahui aku masih ingat pertemuan itu. “Eh, kamu berada dikelompok berapa?”

“Kelompok dua.”

“Sayang sekali kita tidak dapat terjun bersama. Aku berada dikelompok tiga.” Dia tersenyum.

“Kan, masih bisa bertemu kala sampai di daratan.”

“Betul sekali. Semoga saja transportasi udara ini tidak bergerak terlalu jauh sehingga aku tidak kesulitan menemukanmu.”

Kami tertawa bersama.

Tidak berlangsung lama, lampu tulisan exit menyala, pertanda sudah waktunya kelompok dua terjun. Setelah memeriksa kembali peralatan, aku melambai pada temanku dan berkata dalam hati, “semoga dapat bertemu kembali.”

Ada seratus temanku yang berada dikelompok dua. Teriakan-teriakan mereka terdengar keras membelah udara yang menekan kuat. Aku ikut berteriak seperti mereka. Momen ini yang paling aku senangi. Terjun bebas sambil berteriak sekencang-kencangnya. Melampiaskan segala beban yang menimpa. Kesal, lelah, kecewa, dan lainnya.

Aku dan teman-teman tersebar di seluruh daerah titik terjun. Kedatangan kami disambut tuan-tuan yang sudah menunggu di sana. Tuan tanah yang ramah dan ringan tangan menjamu, tuan pohon yang dermawan bersedia menampung dalam jumlah banyak, tuan beton yang sombong dan enggan menerima, serta tuan aspal yang hanya menyapa tanpa berkenan menerima. Sesampainya di daratan, aku bertemu dengan tuan tanah. Namun, karena rumahnya penuh sehingga aku disuruh mencari tempat lain. Aku bersama teman-teman yang belum mendapat tempat singgah berusaha mencari tempat lain. Berjalan mengikuti alur yang sudah ada.

Sedikit sekali tuan pohon yang kami temui dalam perjalanan. Mereka tidak dapat menampung kami semua yang jumlahnya melebihi kemampuannya. Tuan tanah yang kami temui pun demikian. Kami lebih banyak menemui tuan aspal dan beton dan memutuskan acuh saja karena tahu pasti ditolak. Akhirnya, kami sampai di dataran rendah. Di sana, tuan tanah kuwalahan menjamu. Akibatnya teman-temanku yang lain berdesakan di luar. Karena tidak ada lagi tempat yang akan dituju, kami terpaksa menghampiri tempat itu juga, ikut berdesakan.

Transportasi udara melintas di atasku, membawa kelompok tiga yang belum terjun. Mungkin apabila aku bisa memberitahu mereka penerjunan dapat dibatalkan. Namun, tidak bisa. Mereka tetap saja terjun. Kelompok tiga yang baru saja terjun langsung berdesakan dengan aku dan teman-teman yang sudah di bawah. Biarlah kami berdesakan di sini membuat kerusuhan. Salah manusia merusak tuan pohon yang dermawan dan menggantinya dengan tuan beton yang sombong. Biarlah kami membuat banjir yang akan membuat manusia luluh lantak dan kerepotan karena ulah mereka sendiri.

 

Sidoarjo, 10 Januari 2021

Naufal Hatta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16