Dukun Pembawa Petaka

 

Dukun Pembawa Petaka

Oleh: Ahmad Faizun Ni'am

Sore hari sepulang kerja, tampak bapak-bapak yang sedang bersantai di teras gubuknya. Bukan karena ingin melihat bunga-bunga di taman seperti di sinetron, namun ya karena di dalam rumahnya sempit, pengap, dan memang tidak nyaman. Ya, memang begitulah kondisinya. Sudah untung ia dan keluarganya bisa berlindung dari terik mentari kala siang dan tidak terlalu kedinginan kala malam. Meskipun begitu, ia selalu bercita-cita menjadi orang kaya suatu saat nanti. Atau paling tidak, anak-anaknya yang kaya, paling tidak lagi, mereka punya rumah yang agak mendingan, agar ia bisa menikmati masa tuanya dengan nyaman. Di rumah salah satu anaknya. Di tengah lamunannya, tiba-tiba ada gerobak sampah berwarna hijau, lewat dan parkir di depan gubuknya itu.

“Pak Darmo, sini!” kata lelaki yang muncul dari balik gerobak sampah. Mukanya dekil, tatapannya sumringah, namun mencurigakan. Seperti menyembunyikan sesuatu.

“Apa? Tidak lihat saya lagi nyantai begini, hah?” sahut Pak Darmo.

“Sini Pak, ini ada kesempatan buat jadi orang kaya!” jawab Bowo sedikit pelan. Mendengar kata ‘kaya’, Pak Darmo penasaran. Ditegakkannya badan bau itu. Melangkahlah ia penuh semangat tanpa alas kaki.

“Bagaimana, bagaimana, Wo?” Pak Darmo seperti melihat harapan di kertas yang dibawa Bowo. Bowo berikan kertas itu ke Pak Darmo. Pak Darmo mengambil kertas selebaran berwarna agak kebiruan itu. Dibacanya perlahan, “Ingin segera kaya? Tapi malas bekerja? Tenang! Ki Angkoro punya solusinya! Temui saja langsung di rumah beliau. Belakang Pasar Desa Sugih Bondo, rumah warna ungu, pagarnya kuning. Kemiskinan, bisa hilang!”

“Kau ambil dari mana ini, Wo?”

“Tadi kan aku lewat Gang Ora Isin, terus kertas itu dibagi-bagikan Pak,” Bowo berusaha mengingat tampang orang yang membagikan kertas itu, “yang bagi-bagi itu sepertinya bukan orang sini sih, Pak. Katanya bisa bikin kaya mendadak. Ya aku ambil,” jelasnya lagi.

“Ah, mana ada yang bisa bikin kaya mendadak, Wo!” sergah Pak Darmo.

“Itu, baca lagi di bawahnya, Pak. Ada penuturan orang-orang yang sudah terbukti kaya karena jasa Ki Angkoro ini,” Bowo mencoba meyakinkan Pak Darmo.

“Kenapa tidak kamu saja Wo, yang kesana?” Pak Darmo agak curiga.

“Saya kan masih bujang, Pak. Masih banyak kesempatan yang lain kalau mau jadi kaya. Tapi Pak Darmo kan sudah kepala empat. Anak tiga. Istri masih satu. Makanya, saya kasih info ini ke Pak Darmo. Barangkali, ini pintu rejeki yang tidak disangka-sangka. Coba saja Pak,” Bowo makin serius.

“Ah tidak mau ah. Takutnya, itu kedok penipuan, Wo!” Pak Darmo berlagak bijak, padahal hatinya ragu-ragu.

“Oalah, ya sudah kalau begitu Pak. Saya juga hanya memberi informasi, Pak. Keputusannya ya ada di Pak Darmo sendiri.”

“Emmm,” Pak Darmo bingung mau menjawab apa.

“Saya pulang dulu, Pak. Mau mandi,” Bowo pamit. Ditariknya lagi gerobak sampah hijau menuju rumahnya. Meninggalkan Pak Darmo yang ragu-ragu.

…………………………………………………

Malam pun tiba. Mata Pak Darmo tak bisa merem. Terus saja ia tatap langit-langit gubuknya. Diingat-ingatnya lagi kejadian tadi sore. Bu Darmo yang digigit nyamuk, terbangun. Ia melihat suaminya yang belum tidur. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting, sehingga bisa membuat laki-laki yang biasanya mudah tertidur ini melek sampai hampir tengah malam. Jam menunjukkan pukul 23:42.

“Mikirin apa, Pak?” tanya Bu Darmo dengan berbisik. Takut anak-anaknya terbangun. Pak Darmo menengok ke arah istrinya. Ditatapnya dalam-dalam mata istrinya yang mengantuk itu. Jauh di lubuk hatinya, ia tak rela melihat istri yang dicintainya itu tidur di atas kasur tipis. Apalagi anak-anaknya.

“Tidak, Bu. Sulit tidur saja aku,” jawab Pak Darmo singkat sambil kembali menatap langit-langit.

“Ya sudah, kalau belum mau cerita sekarang. Besok saja ceritanya. Sekarang Bapak istirahat. Besok masih harus kerja,” ucap wanita 40 tahun itu. Dipeluknya anak-anak yang masih terlelap. Sesekali ia usir nyamuk yang hinggap menghisap darah buah hatinya. Matanya terpejam kembali. Lalu hening. Aku harus ke Ki Angkoro, besok! Begitu lah kata hati Pak Darmo.

Akhirnya, jatuh juga ia dalam gelap malam. Diselimuti sarung khusus tidur, ia memiringkan badannya. Angin genit menyelinap, menciumi kulitnya yang barangkali sudah kebal dingin. Dalam lubuk hatinya, Pak Darmo hanya ingin melihat anak-anaknya, istrinya, hidup bahagia. Dipegang tekad itu bulat-bulat. Akan Pak Darmo serahkan tekad itu besok ke Ki Angkoro, dukun yang baru seminggu ini pindah rumah ke dusun Angel Mangan.

…………………………………………………

Cahaya matahari menyeruak, menyinari segalanya kecuali hati orang yang putus cinta. Malam yang dingin berganti kehangatan. Gerobak sampah sudah siap melaju, didorong tekad yang kuat, dibensini semangat untuk mencari uang. Gubuk yang Pak Darmo tinggali ia tatap mendetail. Ia khayalkan akan seperti apa rumahnya saat ia telah kaya nanti. Mungkin dua lantai, warnanya terang, ada pagar mengelilingi, dan ada garasi untuk gerobaknya. Mengapa gerobak? Ia tak mau beli mobil. Sederhana, karena tidak ada yang bisa menyetir. Tapi mungkin bisa membayar orang untuk jadi sopir pribadinya. Orang kaya, gitu loh.

Pak Darmo bersiap-siap ke tempat pembuangan sampah. Ia pakai topi merah kesukaannya, karena hanya itu topi yang ia punya. Ia tarik gerobak itu dengan seluruh tenaga yang ia punya. Biar saja habis sekarang, toh juga akan jadi orang kaya. Bisa bersantai-santai tak perlu banyak mengeluarkan tenaga. Kata hatinya menyuarakan optimisme. Yang mungkin berlebihan.

Setelah lelah mengais, memungut, memilah dan memilih sampah, ia parkir gerobaknya. Diistirahatkannya tubuh kurus itu di bawah pohon mangga. Memikirkan bagaimana ia harus mengutarakan maksudnya di depan Ki Angkoro. Belum sempat ia berpikir matang-matang, Bowo datang menyapanya.

“Jadi, mau ke Ki Angkoro sekarang? Aku ikut ya, Pak,” Bowo menunjukkan raut muka bersemangat seperti biasanya, dengan maksud agar ia dibolehkan ikut ke rumah Ki Angkoro. Ia juga ingin tahu bagaimana ‘daleman’ rumah dukun itu. Yang dipikirannya, pasti cahayanya redup, baunya wangi tapi mistis, banyak benda-benda aneh. Di bayangannya, Ki Angkoro ini menemui orang-orang dengan memakai jubah hitam, wajahnya brewokan, rambutnya gondrong tak terawat, dan ada aksesoris-aksesoris tidak penting yang menempel di tubuhnya, tapi penting juga untuk menunjang aura kedukunannya.

“Ayolah, kalau mau ikut,” jawab Pak Darmo tanpa pikir panjang.

Berangkatlah mereka menuju selatan. Ke arah kediaman Ki Angkoro yang sebentar lagi akan mereka temui. Wajah mereka kaku, apalagi Pak Darmo. Ada cemas, penasaran, takut. Ada juga raut penuh harap, semangat, dan optimisme yang diam-diam makin menjadi-jadi. Langkahnya semakin cepat, melewati gang-gang yang lumayan sempit. Melewati rumah-rumah yang seakan asing baginya.

Sampailah mereka ke rumah ungu dengan pagar kuning milik Ki Angkoro. Terlihat beberapa orang disana pakai masker dan kacamata hitam, berusaha menutupi muka agar tidak malu. Berbeda dengan Pak Darmo dan Bowo yang datang alakadarnya, apa adanya. Tidak membawa gula dan kopi seperti yang lain. Tidak membawa kendaraan seperti mereka yang mengantri masuk dengan wajah menunduk. Pak Darmo heran, mengapa sudah punya mobil tapi masih ingin kaya, apakah mobil bukan parameter kekayaan? Bagi Pak Darmo, jangankan mobil, kalau ia punya sepeda motor satu saja, ia sudah berani mengklaim dirinya orang kaya. Jadi ia tidak perlu ke rumah Ki Angkoro untuk meminta pertolongan.

Pak Darmo dan Bowo perlahan membuka pagar kuning itu dengan jantung berdetak tak seperti biasanya. Tiba-tiba ada orang yang membuka pintu rumah itu. Wajahnya tidak begitu terlihat. Posturnya biasa saja, atau malah tampak kurus. Pakai baju muslim warna putih tulang dan pakai sarung kotak-kotak dominan berwarna biru. Dilihatnya lagi orang itu, tidak ada jenggot, tidak brewokan. Yang anehnya lagi, kepalanya plontos. Tidak seperti yang dibayangkan oleh Bowo, maupun Pak Darmo. Bahkan ini kebalikan dari apa yang sempat Bowo pikirkan. Orang yang lumayan tua itu mengangkat tangannya, kemudian melambai-lambaikannya, tanda bahwa ia memanggil dua orang miskin ini. Dua orang itu saling tatap. Mau kabur, tapi sudah tinggal selangkah lagi jadi kaya. Mau maju, tapi kaki mereka gemetar tak mau digerakkan.

Dengan susah payah, mereka memaksa diri untuk berjalan mendekati orang yang mereka yakini sebagai Ki Angkoro. Mereka belum sempat bicara, orang itu langsung saja menyuruh mereka masuk rumah. Tak lama, mereka pun duduk menghadap orang itu. Dikelilingi barang-barang yang sepenuhnya biasa saja, lemari isi buku-buku, jam dinding, foto keluarga, dengan satu lukisan sawah dan satu lagi lukisan air terjun. Sekali lagi, ini semua tidak seperti yang mereka bayangkan. Biasa saja.

“Saya Ki Angkoro, kalian pasti Darmo dan Bowo,” orang itu memperkenalkan dirinya dengan memukau. Langsung ia tebak nama dua orang miskin ini, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

“Wah, kok bisa tahu nama kami, Ki?” tanya Bowo terheran-heran.

“Saya kan dukun, paranormal, orang pintar! Sudah wajar kalau saya bisa tahu nama kalian,” jawabnya pongah.

“Berarti, Ki Angkoro juga sudah tau maksud kedatangan kami, Ki?” sergah Pak Darmo langsung to the point.

“Tentu! Tapi itu semua tidak gratis,” jawabnya. Pak Darmo dan Bowo tampak kebingungan.“Tenang, bayarnya nanti saja kalau sudah kaya. Anggap saja berhutang.” jelasnya lagi. Dua orang itu tampak lega.

“Baik, Ki. Saya ini ingin kaya, Ki. Sudah lama hidup miskin, sudah bosan dengan kondisi begini. Bisa kan, Ki?” Pak Darmo menceritakan kemauannya dengan berapi-api.

“Bisa. Tentu bisa. Tapi ingat, bayarannya akan saya ambil kalau sudah kaya. Sepakat?” Ki Angkoro kembali mengemukakan persyaratan pembayaran.

“Iya, Ki. Sepakat!” jawab Pak Darmo secepat kilat. Bowo melihat dua orang ini dengan serius. Seketika ada bunga-bunga yang ditaruh wadah gerabah. Ki Angkoro menuanginya dengan air.

“Pegang ini, dan baca mantra yang aku berikan,” perintahnya. Pak Darmo sambil sedikit gemetar memegang wadah itu. “Aku kaya raya, tidak akan miskin lagi,” mantra pun diucapkan oleh Ki Angkoro, “ulangi berkali-kali!” lanjutnya. “Bayangkan kamu sedang di rumah mewah, duduk di kursi berlapis emas,” lanjutnya lagi.

“Aku kaya raya, tidak akan miskin lagi. Aku kaya raya, tidak akan miskin lagi. AKU KAYA RAYA, TIDAK AKAN MISKIN LAGI!!!”

“DHUARRRRR!” Petir tiba-tiba saja menyambar, tepat di atas rumah Ki Angkoro.

“Sekarang, minum air itu,” ucap Ki Angkoro sambil menunjuk ke wadah berisi air dan bunga-bunga itu. Pak Darmo pun tunduk, lalu meminum air itu perlahan. Tidak ada yang aneh dengan rasanya, baunya saja yang bercampur dengan wangi bunga-bunga.

“Sekarang pulanglah. Akan ada kejutan,”

Pak Darmo dan Bowo saling menatap lagi. Mereka pamit setelah menyalami tangan Ki Angkoro. Keluarlah mereka tanpa menyadari sesuatu yang aneh. Memakai sandal, lalu pergi begitu saja meninggalkan rumah ungu berpagar kuning itu. Rumah yang tadi terlihat ramai, kini sepi tak ada seorang pun di sana. Tak ada yang mengantre. Tak ada orang yang memakai masker dan berkacamata hitam lagi. Sangat berbeda.

Pak Darmo bergegas menuju gubuknya. Dengan langkah cepat, perjalanan yang seharusnya 15-20 menit, kini hanya 7 menit sudah sampai. Dilihatnya Bu Darmo di depan rumah, tampak gelisah. Mondar-mandir.

“Bu, ada apa?” tanya Pak Darmo ikut gelisah.

“Tadi ada yang mampir kemari, dua orang. Yang satu agak kurus, yang satu tinggi besar. Mereka pakai pakaian serba hitam sambil membawa dua koper. Kata mereka, isinya uang dan emas. Lalu ditaruh begitu saja di depanku. Lalu mereka pamit pergi tanpa memperkenalkan nama dan asal mereka dari mana. Karena aku takut, aku jadi kaku tak bergeming. Mau teriak, tapi tidak bisa. Mau mengejar mereka, kakiku tidak bisa digerakkan. Lalu saat sudah mulai reda, langsung saja aku ambil dua koper itu dan kusimpan di dalam gubuk. Aku keluar lagi, menunggu kamu pulang, Pak. Dan sekarang, disinilah aku, dan disini pula lah kamu, Pak,” Bu Darmo menjawab dengan cepat, tanpa berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

Pak Darmo tidak berucap apapun, namun langsung pergi ke dua koper tadi. Dilihatnya seksama, dipegang-pegang, lalu dibuka lah satu koper terlebih dahulu. Dan terkejut lah suami-istri itu melihat tumpukan uang 100 ribuan yang menyala-nyala. Diambilnya lagi koper satunya. Dibuka. Dan makin terkejut lagi mereka. Ada perhiasan yang gemerlap, cantik sekali. Tak pernah ia melihat emas sebanyak ini, kecuali di Toko Emas ‘Kerlap-Kerlip’ di seberang pasar. Mereka berpelukan, menahan tangis haru, dan air mata.

Belum lama mereka merayakan hal ajaib ini, tiba-tiba suara Pak Wagino memanggil-manggil, sambil menggedor pintu gubuk mereka.

“Pak Darmo, Bu Darmo, buka! Anak-anak kalian tertabrak mobil! Pak, Bu!”

Raut muka suami istri itu berubah. Yang semula sumringah, sekarang kelam. Dada mereka sangat sesak. Paru-paru, jantung, dan organ-organ lainnya seakan meleleh lalu hilang. Pintu pun dibuka.

“Dimana mereka, Pak?” Pak Darmo bertanya dengan mata berkaca-kaca.

“Di RS Sehat Wal Afiyat, Pak,” jawab Pak Wagino, “tenang Pak, Bu. Tenang dulu.” lanjut Pak Wagino mencoba menenangkan. Bergegaslah mereka ke rumah sakit. Saat sampai, Pak Darmo langsung menanyakan ke perawat atau siapalah itu, dimana anak-anaknya.

Pak Darmo tertegun setelah dibimbing ke ruang jenazah, lalu melihat ada tiga jasad yang ditutupi wajahnya. Samar-samar ia melihat ketiga anaknya yang terbujur tidak bernyawa. Tangisnya pecah. Air mata suami istri itu deras mengalir. Teriakan demi teriakan mereka luapkan.

Tapi ingat, bayarannya akan saya ambil kalau sudah kaya. Kalimat dari Ki Angkoro itu terngiang-ngiang di kepala Pak Darmo. Menggema dan makin keras. Hingga tangisannya sendiri tak lagi terdengar.

…………………………………………

“Bapak, bangun! Ada apa? Kok sampai menangis begini?” teriak Bu Darmo sambil memeluk suaminya. Anak-anaknya pun mengikuti.

“Tidak Bu, tidak ada apa-apa,” jawab Pak Darmo lirih sambil mengusap air mata di pipinya, sambil memeluk istrinya. Jam menunjukkan pukul 03.18 dini hari.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16