Dengan Siapa dan Kapan

 

Dengan Siapa dan Kapan

Oleh: Ma.Ms

Ponsel Rara berdering saat mulutnya fashih memuraja’ah surat Al-Kahfi. Kebiasaan miliknya seusai menunaikan tiga rakaat shalat setiap hari jum’at. Matanya melirik sebentar ke atas kasur tempat ponselnya bergerak. Tampak foto seorang perempuan paruh baya yang memiliki mata seperti Rara. Ibu. Begitu nama kontak yang tertulis. Beruntung Rara tinggal menyelesaikan tiga ayat terakhir. Tanpa perlu waktu banyak, ia segera menuntaskan muraja’ahnya dan beranjak dari sajadahnya.

            “Assalamu’alaikum Bu.”

            Wa’alaikum salam nduk.1 Kamu sehat?”

            Pertanyaan Ibunya menggema di benak Rara. Pertanyaan yang tidak pernah absen setiap bertukar suara lewat telepon dengan Ibunya.

            “Alhamdulillah sehat selalu Bu.  Ibu sampun ndahar?2

            Wis nduk.3 Tadi habis maghrib persis bareng bapak dan Alea, adikmu. Ko wis maem kan nduk?4

            Eheh, mengkin ba’da Isya nggih Bu. Tanggung, niki sekedap malih juga mau adzan.5 Oiya, kabar Joni bagaimana Bu?”

            “Aduh, kasian banget si Joni nduk. Tadi siang udah mati, padahal dari kemarin sudah dikasih makan dan diselimutin terus sama adikmu. Ibu kira dia kedinginan, pas diselimutin keliatan membaik. Tetapi siang tadi sehabis Alea pulang sekolah, pas dicek ternyata tubuhnya sudah dingin.”

            Pikiran Rara langsung memikirkan Alea. Joni adalah kelinci kesayangan Alea yang ia belikan sebelum berangkat kuliah ke Jakarta.

            “Hmm, bilangin sama Alea Bu. Jangan nangis. Hehe. Nanti kalau kaka pulang, kaka belikan Joni yang baru lagi deh.”

            “Kata mbakmu nanti bakal dibeliin Joni yang baru lagi Al, udah jangan cemberut lagi.” Ucap Ibu kepada Alea yang masih cukup jelas di telinga Rara.

            “Aduuuh, malah tambah cemberut adikmu ini Ra.”

            “Eheh. Ndak apa-apa Bu.6 Nanti insya allah juga membaik, yang penting jangan lupa dibelikan es krim ya bu. Hehe.”

            “Kakak-adik sama saja ini. Sama-sama suka es krim. Hehe. Ya sudah nduk, besok lagi ya, ini mushalla samping rumah sudah adzan. Kamu sehat-sehat. Jangan lupa abis Isya langsung makan ya.”

            “Siap Bu. Ibu juga sehat-sehat.”

            “Iya nduk. Ibu tutup ya. Wassalamu’alaikum?”

            “Wa’alaikum salam Bu.”

            Klik. Panggilan tertutup.

            Rara melihat kembali seisi kamar kosnya. Memastikan bahwa tak ada barang yang tertinggal sebelum kakinya meluncur ke stasiun. Setelah mengunci pintu kamar, Rara berpamitan dengan ibu kos yang sudah seperti ibu angkatnya. Kakinya kemudian sigap melangkah mendekati seorang ojek online yang baru saja sampai di depan pintu gerbang beberapa detik lalu.

            Semester tujuh sudah selesai, menandakan usainya masa preklinik milik Rara. Sebenarnya, masih ada tiga minggu modul riset yang harus dijalani mahasiswa seangkatannya, tetapi karena Rara sudah menyelesaikan risetnya di semester enam, tiga minggu riset berubah menjadi minggu liburan.

            Rara melambaikan tangan saat melihat ayahnya sudah berdiri di depan pintu masuk stasiun. Rasa lelah perjalanan seolah terbayarkan hanya dengan melihat binar di kedua mata ayahnya. Rara bergegas melangkah lalu menunggangi motor tua bersama ayahnya dan melaju menuju rumah.

            Adzan maghrib tepat berkumandang saat kaki Rara turun dari motor ayahnya. Alea, adik kecil Rara sudah senyum-senyum sambil melambai-lambaikan tangannya di depan pintu. Rara tersenyum balik.

            Malam berjalan dengan tepat. Tak terlalu lambat. Tak terlalu cepat. Rara memandang wajah Alea yang sekarang sudah terlelap di sampingnya. Bibir Rara tersenyum lalu mencoba melelapkan mata sambil berharap hari-hari bakal tetap setenang ini.

            Bu, Rara ajeng main sekedap nggih. Griyane Husna. Kangen juga soalnya, eheh.”7

            “Iya. Salam ya nggo Husna.”8

            “Siap Bu, laksanakan.”

            Husna, teman kecil Rara yang sudah seperti saudara kandung. Sampai di rumah Husna, Rara mendapati Nana dan Lia yang sudah datang lebih dulu. Selepas saling menyapa, mereka saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup masing-masing selama ini. Di tengah obrolan panjang itu, ponsel Rara tiba-tiba berdering. Sepotong nama yang terbaca sebagai FK Ainun tertulis di layar ponsel. Obrolan terhenti sebentar. Rara memohon maaf dan berjalan ke pojok rumah Husna di dekat jendela untuk menerima panggilan itu.

            “Assalamu’alaikum, iya gimana nun?”

            “Wa’alaikum salam. Eh Ra, lu dimana? Benerah udah balik kampung?”

            “Iya beneran nun. Kan kemarin lusa gue udah bilang mau pulang kampung duluan.”

            “Yaah, gue kira demisioner penting bakal hadir langsung.” Ainun masih menggerutu.

            “Tenang-tenang, kan ada demisioner yang jauh lebih penting. Ibu Ainun gitu, eheh. Ya udah, kalau ada apa-apa kabarin aja ya Nun.”

            “Iyaaa. Siap Bu komandan. Assalamu’alaikum, bye!”

            “Yuhuu, wa’alaikum salam. Bye!”

            Usai menutup obrolan dengan Ainun, Rara berbalik dan membelakangi jendela. Kembali ikut pada obrolan dengan ketiga teman di depannya sekarang.

            “Ma, Mama tau ndak? Rara masa sekarang bicaranya sudah pakai lu-gua begitu ma.” Nana mendadak heboh mengawali perbincangan dengan Ibunya saat tangannya baru saja menutup pintu di belakangnya.

            “Maksudmu Na?” Ibu Nana yang baru mendapati Nana pulang tampak bingung.

            “Itu ma, Rara. Temen sekolah Nana dari SD. Dia kan baru pulang dari Jakarta. Katanya lagi liburan kuliah. Nah sekarang bicaranya sudah pakai lu-gua begitu ma.”

            “Oooh anaknya Bu Risma itu. Tadi kamu ketemu sama dia Na? Aduh, kamu jangan ikut-ikutan pakai bahasa begitu ya Na.”

            “Iya ma. Nana enggak bakal begitu kok.

            “Eh Ibu-Ibu, tau ndak? Ini sebelumnya bukannya saya mau ngomongin orang ya bu-ibu. Tapi, saya nggak enak banget rasanya nyimpan di hati sendirian.” Ibu Nana membuka percakapan yang secara otomatis mengalihkan semua aktifitas Ibu-Ibu saat memilih sayur.

            “Aduh Bu Nana, intronya saja sudah keliatan mau ngomongin orang itu.” Tukang sayur dengan kopyah merah itu meledek.

            “Ihh bapak sayur sudah diam saja. Saya sudah terlanjur penasaran ini.” Celetuk Ibu Anggi

            “Katanya ya bu-ibu, Rara anaknya bu Risma yang baru pulang dari Jakarta gaya bicaranya sudah pakai lu-gua. Saya tahu dia sudah kuliah tiga tahun, tapi bukan berarti dia bisa bergaya seperti itu.” Ibu Nana bercerita dengan fashih.

            “Rara anaknya bu Risma? Yang kuliah itu? Ah, bu Nana salah dengar kali. Setahu saya Rara anak yang baik bu.” Sangkal Ibu Sinta.

            “Eehh, saya enggak bohong bu-ibu. Ini fakta. Kemarin anak saya dengar sendri Rara bicara begitu langsung.” Ibu Nana tetap kukuh.

            “Aduh, apa saya bilang dulu. Saya si sudah yakin dari dulu Rara pasti lama-lama bisa kebawa sama bahasa anak-anak kota. Nah kelihatan kan sekarang?” Ibu Anggi mencoba menguatkan pendapat Bu Nana.

            Beberapa Ibu-Ibu yang lain mengerutkan dahi. Bertanya pada diri sendiri apakah ucapan Bu Nana benar, tetapi enggan menanggapi percakapan kali ini. Beberapa Ibu yang lain hanya manggut-manggut, entah setuju entah tak paham.

            “Sudah-sudah bu-ibu. Ayo cepetan dilarisi saja sayurnya. Malah bikin forum baru ini.” Bapak tukang sayur berkopyah merah mencoba menengahi.

            “Iya pak iyaaa.” Jawab Ibu-Ibu secara serentak.

            Kabar perihal bahasa Rara yang kurang bagus karena itu pun mulai berjalan kemana-mana. Termasuk keluarga Rara.

            Peserta sudah memenuhi aula kegiatan. Beberapa peserta bahkan saling berbagi kursi untuk duduk karena jumlah peserta yang melebihi dari target. Rara yang hendak menjadi pembicara hari itu sudah bersiap di balik panggung.

            Rara selesai memberikan presentasinya. Tidak butuh waktu lama, cukup lima belas menit. Rara lebih suka obrolan yang interaktif, itulah alasan Rara selalu memberikan presentasi yang sebentar. Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan dari peserta. Seperti biasa, Rara menjawab dengan santai dan jelas. Setiap jawaban yang diberikan selalu membuat penanyanya menganggukkan kepala.

            Di lima menit terakhir saat moderator menanyakan kembali kepada peserta, seorang perempuan dengan jilbab biru mengangkat tangannya. Rara mendapati wajah perempuan itu, Husna, teman yang dirasa sudah seperti saudaranya sendiri.

            “Terimakasih moderator, saya ingin bertanya kepada Mbak Rara. Literasi sangat erat kaitannya dengan bahasa karena tanpa bahasa kita tidak akan mampu menuliskan apapun. Menurut Mbak Rara, bahasa apa yang paling baik yang ada di dunia ini?” Husna tersenyum mengangguk sambil menyerahkan mikrofon kepada panitia. Lewat binar mata Husna, Rara mendapati Husna yang tengah gusar. Rara paham, Husna juga rupanya terusik kabar yang sudah berjalan kemana-mana dan lewat pertanyaannya tadi, Husna tengah memberi kesempatan kepada Rara untuk memberikan jawaban yang paling memuaskan. Bukan untuk Husna, melainkan untuk orang-orang yang menyebarkan kabar yang berjalan itu.

            Rara hanya tersenyum. Ia memilih untuk tidak menjawab apapun.

*

1Panggilan untuk anak perempuan di Jawa

2Ibu sudah makan?

3Sudah nak

4Kamu sudah makan kan nak?

5Eheh, nanti habis isya ya Bu. Tanggung, sebentar lagi juga mau adzan

6Tidak apa-apa Bu

7Bu, Rara mau main sebentar ya. Rumahnya Husna. Kangen juga soalnya, eheh

8Iya. Salam ya untuk Husna

           


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16