Surat Milik Wanita di Ujung Jalan

Surat Milik Wanita di Ujung Jalan

Oleh: Muhammad Akmal Ala Uddin

Hari ini adalah hari senin, hari terburuk dalam hidupku, hari dimana jiwaku terguncang seakan hari kiamat itu datang, hari dimana telingaku memerah mendengar cemoohan orang orang bajingan itu, hari dimana mataku dipenuhi air yang entah dari mana asalnya, hari dimana tanganku bergerak tak terkontrol memegang paku, silet, bahkan beling untuk menggambar pola di urat nadiku.

Tepat 2 bulan lalu, hari itu kuberjalan seorang diri tanpa ada orang di kanan kiriku, berjalan menuju suatu tempat yang dalam bayanganku akan terlihat indah, mataku akan termanjakan dengan taman taman yang dipenuhi bunga bermekaran dengan wangi semerbak, keindahan itu juga akan ditambah dengan indahnya pelangi yang muncul membentang dari ujung timur hingga barat yang terbentuk tanpa adanya hujan yang seram, lebat, dan berpetir. Aku juga membayangkan akan berteduh di bawah pohon beringin yang lebat ditengah teriknya matahari menikmati agung indahnya pelangi berwarna-warni ditemani dengan peri peri kecil nan cantik yang muncul bersamaan dengan terbentuknya pelangi itu. Aku mengetahui tempat ini dari bayanganku yang membisikan kepadaku bahwa ada tempat didunia ini, tempat yang akan membuatku lupa akan dunia ini, tempat yang dapat ditempuh hanya dalam 4 menit perjalanan jalan kaki dari tempat dimana saja aku akan berangkat.

Sepanjang perjalanan kupandangi sekelilingku pohon besar khas pegunungan menyapaku dengan ramah, menyambutku seperti artis Hollywood yang akan menghadiri Oscar Award. Burung burung berkicauan berbahagia menari diatas awan dngan bebas tanpa takut tembakan pemburu liar. Sepasang kuda itu terlihat sangat harmonis memadu kasih dibawah pohon pinus berlarian tanpa ada beban yang ditumpu diatasnya. Sapi sapi terlihat sangat memiliki quality time bersama dengan anak anaknya yang sedang menghisap sesuap susu kehidupan dari induknya yang selama ini hanya diperah untuk kebutuhan korporat. Aku disini tidak sama sekali melihat manusia manusia bodoh itu lagi, ini pertanda yang sangat bagus untuk aku melepas segala penat, keluh, peluh, serta mengisi kembali tenagaku yang terkuras habis lebih tepatnya dikuras habis oleh manusia manusia bodoh itu. Tiba-tiba aku melihat sinaran terang datang dari depan. Sinar yang sangat indah, damai dan meneduhkan itu seakan menyambutku.

 “Apakah ini tempat yang akan aku tuju?”

Aku segera melangkahkan kaki indahku menapaki jalan setapak yang dikelilingi oleh bunga bakung bermekaran berwarna-warni dengan kupu-kupu yang menari diatas bunga itu. Jalan itu seakan menuntunku menuju sinar indah seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Anehnya semakin aku mendekat sinar itu semakin meredup.

 “Mungkinkah langkah kakiku terlalu pelan sehingga bulan telah melahap sinar itu?”

Aku mempercepat langkahku dan sinar itu menghilang.

Tiba-tiba semuanya gelap, bunga-bunga bermekaran dan kupu-kupu indah sudah tak terlihat sama sekali, kicau burung, ringkik kuda serta suara sapi yang berpadu indah sudah tak terdengar kembali.

Hening.

Hanya suara napasku yang terdengar, bahkan suara tiupan angin yang menggesekkan daun kepada ranting pun tak terdengar. Aku seperti di daerah antah berantah yang jauh dari peradaban manusia bahkan lebih buruk dari pulau terpencil yang pernah aku kunjungi. Aku mulai ketakutan, aku mulai menelepon semua sahabatku satu persatu namun tak ada satupun yang menjawab panggilanku. Aku semakin merasa sendiri dan terpuruk. Aku menangis, mengerang, frustrasi seperti manusia gila yang tidak peduli orang sekeliling dan memang tidak ada seorangpun disini.

Kletakkletak

Suara itu membuyarkan air mataku yang mengalir deras membasahi seluruh muka dan bajuku. Ternyata suara itu berasal dari korek api yang selalu aku bawa di kantongku untuk menyalakan rokok tiap jam. Mulai kubuatlah gunungan dari daun daun kering dan ranting dengan meraba raba sekelilingku. Kunyalakan korek itu dan kubakar gunungan itu. Api menyala menerangi sekelilingku sekiranya radius 5 meter dari api terlihat jarak pandangku.

Tiba tiba kudengar langkah kaki dari belakangku, kubalikkan badan dan terlihat laki laki besar berjubah abu abu mendekat ke arahku.

Aku bertanya dengan panik “ Siapa kamu? Sedang apa kamu disini ?”

Laki-laki itu tidak menjawab, tetapi aku melihat tulisan di jubahnya berbunyi “Ikuti aku”

Sebagai wanita yang mulia, aku tidak ingin ada yang mengusikku, akupun memaksa “Siapa kamu? Mengapa aku harus mengikutimu?”

Laki-laki itu masih diam.

“Kalau kamu hanya terus diam, saya tidak akan mengikutimu”

Akhirnya dia pergi berbalik arah tanpa ada konfirmasi atau apapun.

Aku mulai merinding, sendiri seorang diri tanpa ada sahabat yang bisa dihubungi, aku sangat merasa terisolasi. Bayanganku yang memberitahuku tempat ini seakan tidak ingin bertanggung jawab, ia sembunyi di balik sunyinya gelap ini. Hanya ada aku dan api ini yang sebentar lagi mati. Aku memejamkan mata, merenung, merasa tidak ada gunanya hidup di dunia ini. Aku mengambil arang yang masih membara itu membuat tanda di betisku, terasa seperti dibelai kekasih dan aku merasa puan setelah bara itu membelai kulitku. Namun sesuatu membuatku seperti keluar dari dunia gelap itu. Aku terbangun diatas kasurku dengan rasa sakit di betisku, dikelilingi orang orang terdekatku yang tadi ketika aku telepon mereka kemana saja.mereka menangis panik seakan aku orang yang ingin bunuh diri.

Namun, hari ini, hari senin ini, keputusanku sudah bulat, keputusan yang memang seharusnya diambil dari dulu, keputusan yang banyak orang berkata salah tapi ini adalah jalan yang paling benar, biar aku masuk neraka, tetapi penderitaanku di dunia sudah selesai. Tapi aku yakin di depanku sudah ada malaikat malaikat baik yang akan menyambutku dan membentangkan sayapnya menuju surga yang telah diciptakan spesial hanya untukku. Selamat tinggal, Dunia!


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16