“Pujian”

 

“Pujian”

Oleh: Fitri Purnama Sari 

Notifikasi ponsel milik salah seorang wanita didalam kamar asrama itu terdengar, ia pun bergegas membuka ponsel miliknya. Tak lama ia diam termenung, menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Tiba-tiba salah seorang teman masuk ke kamar hampir tak bersuara dengan maksud ingin membuat wanita itu terkejut.

“Derrrr!!!!”

Wanita yang akrab disebut dengan Tiara itu pun terkejut dan hampir memukul wajah temannya. Teman Tiara itu langsung menanyakan mengapa ia menatap kosong kearah ponselnya, namun Tiara hanya menggeleng menandakan bahwa tidak terjadi apa-apa.

Setelah semua teman sekamarnya tertidur pulas, Tiara beranjak dari ranjang menuju meja belajar. Ia kembali membuka ponsel dan melihat komentar orang-orang di akun instagramnya.

“Kalian salah! Aku ngga secerdas yang kalian kira! Aku tuh ga sesuai sama ekspektasi kaliaan!” ucap Tiara dengan nada kesal tapi nyaris tak terdengar.

Tak lama Tiara menangis, ia tak sanggup lagi meyakinkan semua orang jika dia bukan orang yang pantas untuk terus dibangga-banggakan. Berulang kali Tiara meyakinkan mereka, namun berulang kali pula mereka tak percaya bahkan terus saja mengagung-agungkan nama Tiara. Dimata mereka, Tiara adalah sosok siswa yang sangat jenius karena bisa masuk ke universitas ternama. Maka dari itu, mereka selalu meninggi-ninggikan namanya di sekolah sampai seluruh murid disekolah itu mengenalnya. Namun Tiara tidak suka dengan hal tersebut, menurutnya mereka terlalu melebih-lebihkan Tiara. Padahal Tiara sendiri tidak merasa bahwa dia adalah seorang yang jenius, di kampus pun ia tak memiliki prestasi apa-apa. Tak pernah mengikuti lomba, apalagi memenangkannya. Ia juga hanya mengikuti dua organisasi eksternal dikampusnya, itupun tidak berperan aktif didalamnya. Tiara selalu berfikir, apa itu yang seharusnya dibanggakan semua orang? Dia hanya mahasiswa kupu-kupu, tak berprestasi, tak aktif organisasi, juga nilai akademik yang biasa-biasa saja. Apa itu yang disebut jenius? Ia tak tahu lagi harus berbuat apa, agar orang-orang itu berhenti membuatnya tak nyaman.

Disisi lain, Dila yang sedari tadi memperhatikan Tiara mulai penasaran apa yang sebenarnya Tiara tangisi? Apa Tiara sedang patah hati? Atau uang bulanannya sudah habis? Sebenarnya ia ingin sekali menghampiri dan menanyakannya langsung pada Tiara saat itu juga. Namun ia urungkan kembali niatnya mengingat besok ada kuis di pagi hari dan ia tidak boleh bangun kesiangan.

Pagi harinya, Tiara mendapati amplop berwarna coklat dimeja belajar miliknya. Ia penasaran dan langsung membuka amplop itu, namun ia heran ketika mellihat isi amplop tersebut. Tak hanya itu, didalam amplop itu juga terdapat surat kecil yang bertuliskan “Kalau uang bulananmu sudah habis tak perlu nangis dimalam hari, aku takut tahu dengernya, serem!! Kamu pakai saja dulu uangku ya…” dari Dila. Setelah membaca surat itu Tiara langsung tersenyum simpul. “Ada-ada aja kamu Dil” fikirnya.

Sesampainya dikelas, Tiara dihampiri oleh dua orang lelaki bernama Arya dan Haris.

“Tia, sehabis kelas aku tunggu dikantin ya!” ucap Arya sembari tersenyum.

“Ajak temanmu sekalian Ti, biar aku ada temen ngobrol. Siapa tahu jodoh haha” timpal Haris.

Arya dan Haris pun duduk dikursi yang berada dibelakang Tiara. Seiring berjalannya waktu, kelas pun berakhir. Terlihat satu-persatu mahasiswa mulai meninggalkan kelas. Namun Tiara belum keluar, ia menghampiri Dila untuk mengembalikan uang miliknya.

“Hei ibu cantik, ini aku balikin amplop penyelamatnya haha” ucap Tiara.

“Loh kok dibalikin?”

“Kamu fikir aku nangis karena ngga punya uang Dil? Astaga, dasar ya kamu. Ada-ada aja tahu ngga.”

“Ya, aku ngiranya gitu Tia. Aku salah ya hehe, malu aku” Dila menutup wajahnya yang memerah dengan tas.

“Udah udah, mending kita makan ke kantin. Yuk!!”

“Boleh, yuk!!”

Setelah makan, Dila dan Tiara pun bergegas pergi. Sementara Arya dan Haris masih terus menunggu kedatangan Tiara.

“Tiara lama banget sih” ucap Arya mulai resah.

“Loh… bukannya itu Tiara? Kok udah keluar dari kantin?” Haris menunjuk kearah Tiara dan Dila.

Tak menunggu waktu lama, Arya dan Haris langsung menghampiri dua mahasiswi cantik itu. Arya menanyakan pada Tiara mengapa ia tidak langsung menghampiri mereka dikantin tadi. Namun Tiara hanya diam dan menarik tangan Dila untuk segera pergi.

“Tia, kamu kenapa sih? Masih marah sama aku?” tanya Arya.

“Ya, maaf. Aku lagi males berdebat! Aku pergi dulu ya”

“Kamu ga adil Tia, masa cuma gara-gara aku ngga angkat telpon kamu kemarin malam terus kamu giniin aku?” nada suara Arya semakin tinggi.

“Maaf, aku pergi dulu. Yuk Dil!”

Tiara menarik paksa tangan Dila agar segera pergi dari tempat itu. Tak berselang lama, Dila ingin pergi ke toilet dan ia menyuruh Tiara untuk menunggunya di selasar. Tiara mulai mengeluh karena Dila tak kunjung datang, tiba-tiba Arya muncul dihadapannya.

“Hei… maafin aku ya. Tadi malam aku ga angkat telpon kamu karena aku lagi sama temen-temen aku. Mereka baru dateng dari luar kota, ga mungkin kan aku ga sambut mereka? Dila udah cerita semua ke aku, tadi malam kamu nangis kenapa? Ada masalah apa emangnya? Coba kamu cerita sama aku, aku dengerin, ya…” ucap Arya penuh kelembutan.

“Aku ngga papa”

“Ngga mungkin, ngga ada apa-apa. Mata kamu udah berkaca-kaca Tia, udahlah ngga usah bohong lagi sekarang. Cerita ya…”

Akhirnya dengan usaha Arya terus membujuk kekasihnya itu, Tiara pun menceritakan hal yang bukan kali ini saja pernah ia ceritakan pada Arya. Dan hampir setiap masalah yang dihadapi Tiara selalu berkaitan dengan komentar orang-orang yang terlalu mengistimewakan Tiara di akun instagramnya.

“Aku ngga tahu harus kasih saran apalagi ke masalah kamu yang satu ini Tia. Aku tahu kamu ngga nyaman sama semua ekspektasi mereka ke kamu yang terlalu berlebihan. Aku cuma mau kasih tahu satu hal, kita ngga bisa paksain mereka untuk berhenti kagum sama kita. Dan tugas kamu adalah… jadikan semua ekspektasi mereka ke kamu itu sebagai motivasi buat kamu yang lebih baik lagi.” ucap Arya memberi saran.

“Tapi Ya, kamu ngga ngerti! Ngga paham sama apa yang ku rasakan! Aku tertekan Ya! Aku ngga bisa terima semua pujian mereka sedangkan aku, aku sama sekali ngga sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.” tangis Tiara pun pecah.

“Sebenarnya yang kamu takutin itu apa Tia? Bukannya kebanyakan orang senang dipuji? Tapi kenapa kamu ngga?”

“Aku takut ngecewain mereka Ya… dan… dan kenapa aku ngga mau dipuji? Karena ibu pernah bilang kalau pujian itu akan membuat kamu lemah dan terlena, hingga pada akhirnya kamu merasa bahwa kamu paling segala-galanya. Aku ngga mau jadi orang yang sombong dan lupa diri Ya…”

Jawaban Tiara membuat Arya terdiam sesaat, dari hal itu ia bisa menilai kalau Tiara memang benar-benar seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang. Mungkin orang-orang berasumsi bahwa Tiara adalah orang yang patut dibanggakan bukan hanya karena kecerdasannya semata, namun juga karena kerendah hatian yang ia miliki sehingga banyak orang yang senang melihatnya.

“Ummm, apa aku boleh tahu alasan kenapa kamu ngga aktif organisasi dan nilai akademik kamu juga biasa aja?” tanya Arya lagi setelah terdiam cukup lama.

“Aku sengaja ngelakuin itu karena aku ngira mereka ngga akan puji-puji aku lagi”

“HAH!! Aku ngga salah denger kan Tia? Astaga, hal yang kamu lakuin itu ngga bener Tia, itu sama aja kamu menjerumuskan diri kamu sendiri kedalam jurang. Kamu bilang takut ngecewain mereka, tapi kenapa kamu malah sengaja jelekin nilai kamu? Hei… dengerin aku ya… lain kali ngga boleh gitu lagi. Kamu harus pikirin masa depan kamu juga.” ucap Arya panjang lebar sembari menatap mata dan memegang kedua pundak kekasihnya itu.

“Tapi…”

“Udah, ngga pake tapi-tapian. Kalo kamu masih ngelakuin hal itu. Berarti emang kamu yang bener. Dan ekspektasi mereka ke kamu itu yang salah. Salah besar malah, Tiara yang jenius ternyata merupakan mahasiswi ter ter terrrrbodoh yang pernah Arya temui!” ejeknya pada Tiara.

“Kok kamu jahat, bilang aku mahasiswi terbodoh?” raut wajah Tiara semakin lesu mendengar ucapan kekasihnya, Arya.

“Ya iyalah Tia, mana ada sih mahasiswa yang mau nilainya jelek. Kecuali kamu! Disengaja lagi! Duhh ngga habis fikir aku ke kamu Tia.” Arya geram dengan sikap Tiara yang polos itu. Sementara Tiara semakin kelihatan manyun.

Setelah perbincangan keduanya selesai, Dila dan Haris yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka pun menampakkan batang hidung mereka. Mereka tak henti-hentinya tersenyum karena kepolosan Tiara yang membuat siapapun geram.

“Coba aja semua mahasiswa kayak kamu Tiara, pasti dosen ngga susah payah tuh buat kasih nilai hahaha” Haris mengejek Tiara yang sudah terlihat kesal.

“Udah… udah… mendingan kita balik sekarang. Sebentar lagi hujan noh!” timpal Dila sembari menahan tawa.

“Jahat ya kalian!” akhirnya Tiara pun kembali bersuara membuat Arya, Dila, dan Haris tertawa terbahak-bahak secara bersamaan.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16