Puisi dan Dongeng-Dongeng
Yang layu dan tak pernah tumbuh
Kaldera besar di barat jawa meradang
Melempar api dalam matamu
Yang mulai padam
Jendela kaca pecah
Menyisakan potong senyummu yang merekah
Dan darah yang kuisap pelan
Sisa-sisa perjumpaan dan sesal
Mengendap dalam pigura
Pagi kujalani sebagai rutinan yang teratur, bangun pagi, menyapu halaman rumah, mendengarkan radio kesukaan mama. "Bagaimana kabar arifti, mas?" Kalo sudah begitu, aku hanya bisa merespon dengan pura pura tuli. Pura-pura tidak mendengar sembari menata piring di perapian. "Mas?" Instruksi mama bahwa aku tak boleh berpura-pura.
"Alhamdulillah mah, tiga hari yang lalu, ada laki-laki yang datang ke rumahnya, kayaknya sih mau melamar" aku menjawab sebisaku.
"Oh iya?" Duh, mama mulai tertarik
"Baguslah, kasihan dia itu, setelah putus dengan pacarnya, siapa namanya, mama lupa"
"Arga ma"
"Nah iya itu, arga, dia temen mu juga kan?"
"Iya ma" aku tak pernah berpikir untuk pulang ke rumah dengan pembahasan tentang arifti, dan agenda lamarannya
"Kalo mas, udah ada rencana?"
"Maaahhh" kuharap mama menangkap sinyalku untuk berhenti membahasnya, dan mama selalu mengerti.
Diam-diam kenangan mengetuk ruang
Dan tumbuh di pelukku
Setelah tak mendapat cukup ruang
Di kepalamu
Ketika kau kujadikan objek
Berbicara asa dan cinta, seperti berbahasa Indonesia di sebuah pasar rakyat;
Buhul, bena, rahara
Nirmala, risak, candala
Tak sampai dan sia-sia
Namanya arifti, perempuan yang pertama ku temui 5 tahun yang lalu dalam antrian warung makan Bi Ida, rumah makan sederhana bagi kaum mahasiswa yang dengan 10 ribu rupiah, kau bisa merasakan prasmanan bak hotel berbintang dua. Semenjak itu, kami berteman dengan baik, dia berpacaran dengan temanku yang lain, Arga, lelaki sumatra dengan intonasi yang tinggi dan cepat, serta humornya yang kadang kering dan gelap. Sedangkan arifti, mengetahui bahwa ia berasal dari suku sunda sudah menjelaskan semuanya.
Kereta melaju merampas segalanya
Perpisahan, hawa dingin, rasa tidak nyaman
Namun lupa dengan arifti
Yang masih kekal dalam kepala
5 juli 2020
Candra adi setya
Komentar
Posting Komentar