Dua Belas Lebih Lima


02 Mei 2012 - 00.00 a.m.
Aku sungguh masih sangat ingat. Tepat lima menit yang lalu ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 12.00 malam sebelum akhirnya aku benar-benar terlelap. Tapi, aku sama sekali tidak mengelak bahwa sekarang –lima menit setelah aku terlelap- aku sungguh tidak sedang bermimpi, aku terjaga. Aku terjaga dengan keringat membanjiri tubuh dan degup jantung yang serasa akan berhenti –sesak. Aku terjaga dengan tatapan nanar memerhatikan seberkas cahaya melesat jatuh di pelataran halaman belakang rumah. Ragu.
Cemas-cemas harap aku melangkah dan menjulurkan kepala ke luar jendela. Aku ternganga. Sekali lagi, ragu. Tampak sebuah batu rubi berwarna biru terang seukuran bola pingpong menyala terang di antara gelapnya malam. Aku berbalik. Keluar kamar dan mengendap. Menyelinap ke halaman belakang. Sampai.
Batu itu masih menyala terang, nyala biru yang sungguh cantik. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa pun. Bimbang dan merasa aneh. Terlintas sekejap, hanya aku yang terbangun dari tidur karena batu rubi ini. Sekali lagi, merasa aneh. Semua lampu rumah tetangga gelap. Tidak ada yang menyala, bahkan rumahku sendiri juga tidak.
Perlu waktu yang sangat lama untukku mengumpulkan keberanian hanya untuk memastikan batu itu. Aku tidak merasakan aura kejahatan sama sekali di dalamnya. Namun begitu, aku menyadari aku tidak terlalu pemberani. Mungkin sudah tiga puluh menit sejak aku turun dari kamar dan aku masih berdiri memandangi batu rubi itu –kaku. Sampai akhirnya, aku dibuat kaget dan terjengkang. Batu rubi itu melayang dan berada tepat di depan wajahku. Mengedipkan cahayanya seolah memiliki mata. Aku ketakutan.
Lalu, di detik ke lima belas setelah batu itu melayang. Dia seperti merunduk, meminta telapak tanganku. Ragu-ragu, ku angkat jemariku perlahan. Batu itu mendarat dengan sempurna di telapak tanganku. Cantik. Entah satu per sekian berapa detik, nyala biru itu tiba-tiba saja menyebar di seluruh hamparan bumi yang tak ku pahami berapa luasnya. Aku terpejam. Ragu. Ada tujuh sumber cahaya yang merasuk ke tubuhku. Satu cahaya paling terang berasal dari batu rubi itu. Semuanya memiliki warna  dan sensasi berbeda. Aku membeku. Tak dapat berkata-kata. Warnanya seperti pelangi saat gerimis, sejuk. Seperti aurora di atas hamparan es, bergelombang. Seperti reruntuhan daun maple musim gugur, manis. Seperti sakura mekar di musim semi, cantik. Seperti buih putih di sungai-sungai katulistiwa, mengalir. Seperti nyala matahari di atas puncak pegunungan pagi, romantis.
Kemudian, pada detik-detik nyala cahaya ketujuh sumber mengikis, ku rasakan impuls-impuls listrik yang sejuk. Dimana di setiap barisan dalam satu impulsnya selalu mengalirkan tetes kehangatan. Aku terlelap –pingsan.
                                                                    ֎                                                                  
Aku terbangun dengan rasa kebingungan luar biasa. Di depanku, ayah dan ibu tampak khawatir. Bahkan mata ibu terlihat sembab kemerahan. Ibu usai menangis.
“Ibu?”                                                          
“Kau tak apa sayang. Istirahatlah yang cukup. Panggil ibu dan ayah kalau ada sesuatu.” Ibu menjawab sambil tersenyum –ayah juga.
Aku mengangguk.
֎
Hari-hari terus berlalu begitu cepat. Semua berjalan sama seperti biasa. Hanya saja, aku menyadari ada sesuatu yang berjalan di pikiranku. Aku –secara tidak langsung- dapat bermain sihir dan membaca pikiran orang lain. Aku tidak mengatakan bahwa kekuatan itu berasal dari batu rubi yang muncul pagi-pagi buta. Tengah malam tepatnya –waktu itu. Tetapi yang jelas, sejak kejadian itu aku tidak melihat apapun di halaman belakang ataupun di kamarku. Batu rubi itu tidak ada dimana-mana. Semuanya seperti menghilang tanpa jejak. Aku –sedikit- tidak peduli.
“Hai Harry! Kau mau makan siang di kantin?” Frans mengangetkan lamunanku.
Aku tersenyum. Berdiri dan merangkul Frans.
“Lets Go!”.
Aku menyamai langkah Frans dan mendengarkan ucapannya. Dia mulai berceloteh lagi tentang mimpinya menjadi seorang penyihir hebat. Dia bilang itu sangat keren. Aku hanya menyeringai dan menjawab bahwa semua itu mustahil. Tidak ada sihir apapun di dunia ini. Frans mengelak dan terus mengatakan mimpinya itu. Tidak berhenti. Sampai pintu kantin menyapa, langkah Frans membeku. Dia menengok memandangku.
“What’s happen?”. Aku bingung.
“Look it!”. Frans menunjuk ke meja di pojok kantin.
Aku mengalihkan pandangan. Seorang gadis sebayaku terduduk sambil menundukkan kepala. Sekelilingnya, ada empat gadis lain yang aku sangka seumuran. Aku tidak tahu siapa mereka. Sepertinya angkatanku juga. Aku tahu, gadis yang menunduk sepertinya korban. Tepat setelah aku menduga gadis itu korban, salah seorang dari keempat gadis yang berdiri mengangkat gelas tepat di atas kepala gadis menunduk. Sangkaanku jus strawberry, warnanya merah darah –sedikit. Keempat gadis tertawa. Gelas berisi jus strawberry itu mulai memiringkan badannya hendak terjun. Telunjukku bergerak mendekati bagian medial tubuhku sendiri. Jus itu tumpah di wajah pemegang gelasnya. Aku tersenyum.
“Ayo Frans!”.
“Hei. Apa yang terjadi? Apa kau tidak merasa heran dengan mereka?”. Frans memasang wajang bingung.
“Sepertinya mereka bersahabat.”
“Apakah ada sahabat yang menuangkan jus ke wajahnya sendiri lalu marah-marah dan berlari ke toilet dengan wajah murka.”
“Semoga saja tidak.” Aku membariskan gigiku di depan Frans. Tersenyum.
“Oh God! Apa yang terjadi dengan dunia ini? Ku rasa aku benar-benar tergila-gila dengan sihir.” Frans menggelengkan kepala.
“Mungkin itu tadi sihir Frans. Sihir dari Tuhan. Nampaknya perempuan tadi baik. Sehingga Tuhan menolongnya.”
“Sungguh?.” Frans mengerutkan dahinya. Berjalan maju lalu memesan makanan. Aku tahu akhir-akhir ini dia menjadi heran. Ada banyak kejadian-kejadian aneh di sekitarnya –tepatnya setelah kejadianku malam itu. Kejadian yang mustahil. Kejadian yang tidak masuk akal. Kejadian tentang sihir.
֎
27 April 2016
“Apa yang kau lakukan untuk mengalahkan Harry di semester akhir ini, Fransisca?” Tanya Luna.
“Entahlah. Aku berfikir tentang satu hal.” Fransisca setengah tertawa.
“What is that?” Luna bertanya bangga.
“Mungkin agak rumit. Aku akan mencuri file ujian minggu depan dan menaruhnya di tas  Harry. Aku yakin, setelah itu kepala sekolah akan langsung mengeluarkan dia. Nama populernya akan langsung tercoreng. Keberhasilannya selama delapan semester ini akan sia-sia. Aku akan mengiriminya segerombolan preman baik di hari kelulusan. Tidak sampai membunuhnya. Hanya membuat dia sedikit susah bernafas. Aku akan menjadi yang terbaik di tahun ini dan dia menjadi laki-laki terbodoh dan sekarat.”
Luna dan Fransisca tertawa.
Aku ikut tertawa. Fransisca adalah mahasiswa terbaik kedua, setelahku. Dia cantik. Sampai Frans sangat tergila-gila padanya. Mungkin karena nama mereka hampir sama. Entahlah. Terlahir dari keturunan kaya. Ayahnya pemilik perusahaan besar. Ibunya ahli politik yang baik. Semua saudaranya mengenyam pendidikan di luar negeri. Hanya dia yang di London, mungkin karena anak terakhir. Dia bisa dikatakan gadis sempurna. Rambutnya pirang panjang. Berkulit putih. Bermata biru, birunya seperti batu rubiku, batu rubi malam itu. Yah! Dia terlahir dengan sempurna. Informasi yang aku dengar terakhir kali, dia selalu menduduki peringkat pertama untuk semua pendidikan formalnya. Kecuali, setelah dia bertemu denganku. Terakhir, jangan tanyakan aku tahu darimana semua informasi itu karena Frans benar-benar jatuh cinta.
Teman sebelahnya, Luna. Dia tidak jauh beda dengan Fransisca. Mereka teman baik sejak kecil –kata Frans.
Kembali ke percakapan Fransisca dan Luna. Mereka tengah duduk samping jendela restoran. Bercengkrama sambil sesekali tertawa. Kurang lebih, lima belas meter dari tempat duduk mereka aku duduk dengan segelas cappuccino di depanku. Tidak ada Frans. Aku sendiri. Membawa sejenak permasalahan bersama uap dari gelas putih berisi cappuccino itu. Frans sedang mengurus skripsinya.
Fransisca dan Luna tidak melihatku. Tidak juga tahu bahwa aku bisa mendengar pembicaraan mereka. Bahkan saat mereka setengah berbisik. Mereka masih saja berbicara. Berbicara tentang rencana pembunuhanku. Aku tertawa kecil, memainkan cappuccino dengan sendok serta sedikit mantra beraroma cinta.
Tepat lima belas detik kemudian. Fransisca berdiri di depanku meninggalkan Luna di mejanya sendirian sambil memasang wajah ragu. Luna kebingungan.
“Hai Harry!” Fransisca duduk di sampingku.
“Hai.” Aku menghentikan putaran sendok di gelas. Menoleh dan menatap Fransisca.
“Hari ini kau kelihatan lebih cantik, Fransisca.”
Fransisca memerahkan pipinya. Dia tersipu. Lalu, mulutku berjalan tepat di samping telinganya. Sepersekian detik, tangan kiriku menyeka rambut di telinga kiri Fransisca sedang tangan kananku menjentikkan jari-jarinya. Sebelum akhirnya Fransisca membelalak kaget dan mendorong tubuhnya ke belakang. Mulutku sudah lebih dulu berpuisi.
Rindu adalah sihir. Maka, kau tak boleh menusuknya dengan rindu, karena sejatinya mimpi adalah rindu yang terbungkus baik di cawannya. Selamat sore Fransisca!.
Dugaanku berjalan dengan baik. Fransisca membelalakan matanya dan mendorong tubuhnya mundur. Dia marah sekaligus bingung, mengapa dia bisa tiba-tiba duduk di depanku seperti orang yang tengah jatuh cinta –dia menahan malu .
Fransisca berdiri dan bergegas pergi.
֎
02 Mei 2016
Hari kelulusan datang. Fotoku terpajang di sebagian area kampus. Namaku dipanggil dengan lantang saat pengumuman lulusan terbaik tahun ini. Aku menyampaikan pidato dengan baik. Ayah dan Ibu tersenyum bangga di belakang. Aku tersenyum. Kelulusan hari ini berjalan dengan sangat cantik.
 Frans berjalan mendekatiku bersama seorang gadis di sampingnya. Wajahnya manis dan tidak asing . Aku mengorek kembali ingatanku. Belum sampai aku menemukannya kembali, Frans sudah bersiap memperkenalkannya.
“Hai Harry! Kau tak lupa dengan gadis ini bukan?” Frans tertawa.
Aku mengerutkan dahi. Lupa.
“Angel.” Gadis itu mengulurkan tangannya.
“Harry.” Aku membalas jabat tangan itu.
Frans membungkukkan punggungnya. Berbisik. Aku tersenyum dan mengingatnya. Angel. Gadis pendiam yang dulu terduduk di pojok kantin dengan empat gadis lain mengelilinginya.
“Apa kau sudah mencari gaun pengantin Frans?” Aku menggoda.
“Ayolah kawan. Ini hari kelulusan. Mungkin besok aku mencarinya.”
Frans tertawa. Aku Tertawa. Kita tertawa. Angel, tersenyum malu.
“Bagaimana dengan..?” Pertanyaanku terhenti.
“Fransisca?” Frans menjawab.
Aku tertawa.
“Aku pikir dia jatuh cinta denganmu Harry!” Lagi, Frans tertawa.
 Aku menggelengkan kepala. Menunjukkan itu adalah hal yang tidak mungkin. Tetapi, entahlah. Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu, rencana pembunuhan itu akhirnya tidak direalisasikan. Fransisca tetap berdiri di posisi kedua di kelulusan hari ini.
Sejak sore hari di restoran kemarin, aku menyadari perubahan Fransisca. Dia tidak lagi membenciku. Aku tidak mengerti. Padahal mantra cinta itu seharusnya sudah berhenti saat aku menjentikkan jari-jariku. Entah.
“Hai Harry! Congratulation!”
Sebuah buket bunga mendarat di depan wajahku.Aku mengangkat kepala. Fransisca. Dia tersenyum dengan gaun pink pastel membalut tubuhnya. Cantik.
“Thanks!” Aku tersenyum. Mengangkat tangan dan menerima buket bunga itu. Fransisca berbalik melangkah pergi, meninggalkan dadaku yang sesak. Aku tidak menutupi realita yang membungkus di jantungku. Aku ragu mengatakan bahwa aku terkena sihir. Sihir beraroma cinta milik Fransisca.
֎
Hari perayaan itu datang, semuanya berjalan dengan baik. Proyek perusahaanku melangkah mulus. Kesuksesan merangkak dimana-mana. Sedang untuk kekuatanku, laiknya spider-man aku merealisasikan sihirku untuk menolong sesama dan sesekali menjaili Frans dan Angel, juga kedua putranya. Mereka sudah tahu kemampuanku. Ayah dan Ibuku selalu tersenyum sehat, bangga. Kesempurnaan hari ini pun memuncak, Fransisca resmi menjadi istriku. Semuanya melangkah begitu manis. 
֎
02 Mei 2012 - 00.05 a.m.
Aku terkaget. Aku terbangun dari tidur dengan nafas tersengal-sengal tak beraturan. Aku melirik jam di meja belajar. Pukul dua belas lebih lima menit dini hari. Dengan nafas yang masih sesak, aku menyadari semua yang terjadi tadi adalah mimpi. Aneh. Aku menyandarkan bahuku ke dinding sejenak. Berusaha menjernihkan pikiran. Ragu, dengan durasi waktu secepat ini aku sudah bermimpi begitu panjang.
Setelah segelas air putih berhasil melewati esofagusku, pikiranku beranjak tenang. Sadar dan percaya semuanya adalah mimpi. Tetapi satu hal, aku tak dapat tidur kembali. Aku putuskan untuk memakai sandal rumahku, belum sempat ku seret kakiku ke kamar mandi, sebuah gemuruh seperti aliran listrik mendengung di telingaku. Aku berbalik dan memandang ke luar jendela. Sebuah cahaya berhasil membuat mataku setengah tertutup, silau. Aku membelalak kaget. Tanpa menunggu apapun aku sudah berdiri di samping jendala. Membeku dan takjub. Tampak sebuah batu rubi berwarna biru terang seukuran bola pingpong menyala terang di halaman belakang rumah. Dia memancarkan sinar yang hangat. Warnanya seperti pelangi saat gerimis, sejuk. Seperti aurora di atas hamparan es, bergelombang. Seperti reruntuhan daun maple musim gugur, manis. Seperti sakura mekar di musim semi, cantik. Seperti buih putih di sungai-sungai katulistiwa, mengalir. Seperti nyala matahari di atas puncak pegunungan pagi, romantis.
Aku menampar pipiku. Sakit. Aku menusuk kulitku dengan jarum, darahnya menetes keluar. Aku mengangguk. Mimpi dari masa depan di mimpiku baru saja dimulai. Aku bergegas.
֎



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16