Setiap Perjalanan Panjang Perlu Sekali Berbenah Diri; Termasuk Pendidikan Negeri Ini


*Diperuntukkan untuk pelajar, pendidik dan seluruh masyarakat negeri ini –karena sejatinya setiap dari kita tetaplah seorang pelajar sekaligus seorang pendidik seumur hidup.
*Beberapa bagian serta pendapat yang dituliskan adalah pengalaman penulis juga anak-anak yang lahir di tahun 90-an. Saya kira, kita punya cerita yang sama.

Assalamu’alaikum wr.wb.
Selamat menambahi tahun untuk pendidikan negeri ini! Selamat telah sampai pada hari ini.
Berbicara pendidikan, perjalanan yang dilalui Indonesia sudah panjang sekali. Kita menemui masa dimana belajar menghitung masih menggunakan seikat lidi yang terpotong-potong. Atau sepotong kapur warna warni yang kita gunakan untuk menggambar di papan tulis berwarna hitam. Beranjak sedikit, kita mulai merasa “wah” melihat kalkulator yang mengalahkan seikat lidi. Terlebih saat melihat sekotak barang yang mirip kalkulator malah sanggup menerjemahkan bahasa luar negeri yang kata orang disebut-sebut sebagai bahasa inggris.
Perjalanan pendidikan yang kita lalui sudah panjang sekali. Hingga kita telah sampai pada hari ini. Dimana digitalisasi sudah merambah dimana-mana. Dan tidak perlu diakui bahwa kenyataan pendidikan yang mulai tampak berbeda dari umur kita yang masih belia dengan sekarang adalah benar. Sekarang, para Ibu di rumah diharuskan mampu menekan tombol-tombol di aplikasi bernama whatsapp untuk mengurus pendidikan bagi putra-putrinya. Anak-anak SMA sudah tidak asing lagi dengan sekotak layar yang dua sisinya lebih panjang; yang sanggup menampilkan gambar, aneka materi, video lengkap dengan suaranya, dan fitur-fitur lainnya.
Segala bentuk model pendidikan itu sudah merambah luas, termasuk bangku perkuliahan. Seolah, pendidikan yang ruh sesungguhnya adalah perihal pembentukan karakter tergantikan oleh pendidikan yang akhirnya hanya menjadi formalitas. Pendidikan formal menjadi formalitas bahwa setiap anak yang telah lahir dan tumbuh, wajar untuk menimba ilmu di bangku sekolah paling tidak sampai tingkat.menengah atas. Ruh “terbentuknya karakter” sebagai output pendidikan yang diharapkan mulai meleleh. Tidak sedikit pelajar negeri ini yang sudah menyelesaikan pendidikan minimal tapi akhlaq-nya ya gitu-gitu aja. Pendidikan jadi barang formalitas; bahkan tidak sedikit menjadikan pendidikan sebagai ajang memanjakan diri dan pamer. Bagaimana tidak? Zaman kecil kita apakah ada seorang bocah sekolah dasar yang berlarian ke sana kemari membawa sepeda roda dua yang bermesin? Atau bocah yang lihai melapiskan lipstick di bibirnya? Seingat saya, saya tidak pernah mengendarai kendaraan roda dua itu saat masih bocah ataupun memerahkan bibir kecuali ketika event kartini-an. Saya lebih ingat masa dimana saya suka sekali berjalan kaki saat berangkat sekolah dengan lambaian tangan Ibu setelah kurang lebih dua puluh langkah kaki. Saat itu jalanan masih asri sekali. Atau masa dimana saya suka sekali bermain bola bekel selepas sekolah bersama anak tetangga samping rumah. Setelah dewasa saya kemudian menyadari bahwa permainan sekecil bola bekel pun adalah erat kaitannya dengan pendidikan. Ya! Pendidikan karakter tepatnya. Kita jadi belajar untuk bersosial dengan sesame teman; belajar menerima kenyataan secara lapang dada saat teman kita menang lebih banyak; atau belajar bertamau dengan baik saat kita bermain bola bekel secara bergantian di latar rumah masing-masing, dibanding hanya bermain menyendiri dengan barang keras bernama “gadget” di kedua telungkup tangan.
Maka untuk pendidikan karakter yang tepat benar adanya bahwa elemen rumah, sekolah dan lingkungan beserta masing-masing unsurnya harus dibenahi kembali secara tepat. Orang tua harus secara intensif memperhatikan pendidikan putra-putrinya, tidak hanya bermodal “gadget” agar putranya anteng. Hal ini tidak bermaksud menegatifkan kedatangan gadget, melainkan orangtua diharapkan lebih jeli untuk memilah model pendidikan yang tepat bagi anaknya. Lingkungan pun ikut andil besar. Termasuk lingkungan dengan anak-anak yang aktif dengan anak-anak yang pendiam karena anteng tadi, keduanya tentu berbeda. Dan peranan yang tak kalah lagi, tentu! Sekolah. Tempat dimana pendidikan baik secara materi, praktik juga karakter ditanamkan. Maka menjadi pengaruh nyata bahwa setiap sekolah harus memaksimalkan masing-masing unsurnya untuk mencapai output dari pendidikan yang diharapkan. Guru misalnya, unsur penting ini harus memaksimalkan diri, contohnya dengan meningkatkan skill mengajar yang tepat agar perihal memahamkan materi kepada siswa menjadi lebih efektif. Intinya ketiga elemen tersebut di atas adalah sama pentingnya. Masing-masing tidak bisa berpengaruh secara sendiri-sendiri. Saling berkesinambungan adalah solusi yang tepat untuk negeri ini yang lebih berkarakter.
Happy Anniversary untuk pendidikan negeri ini. Selamat sudah sampai hari ini. Terimakasih kepada setiap pendidik yang sudah memainkan perannya dengan baik. Orangtua, guru bagi keluarganya; tetangga, guru bagi orang sekitar rumahnya; juga sudah dengan pasti para civitas akademik setiap sekolahan yang sudah secara ikhlas mendedikasikan dirinya untuk generasi negeri ini. Terimakasih!

*Beberapa ide tulisan adalah buah dari pengalaman setelah dua puluh satu tahun hidup. Tentu dengan stimulan yang amat keren dari mentor saya dini hari tadi –terimakasih ndan mentor untuk ide dan diskusinya J.

Komentar

  1. Karena belajar itu seumur hidup. Selagi masih berbernafas, carilah ilmu sebanyak banyaknya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16