Perihal Loyalitas, Kita Semua (Selalu) Pemula



CSSMORA, loyalitas tanpa batas! Salah satu jargon kebanggaan saya. Lahir di ciputat tahun 2015, saya mendapatkan sebuah dogma, bahwa tak melulu pulang adalah tanah kelahiran, eh bukan bukan bukan, pulang memang selalu menuju tanah kelahiran, namun tanah kelahiran tak melulu suatu lokasi geografis. Tanah kelahiran itu adalah suatu massa, kumpulan banyak orang dengan tujuan yang sama, sebuah organisasi. Terdengar abstrak? Dahulu aku berpendapat bahwa ini sungguh bagian dari filosofi yang dipaksakan, sok saya bilang, saya datang untuk kuliah dan lulus, kira-kira begitu.

Tumbuh dan kembang di tanah ciputat memaksa saya harus terbiasa bahwa dunia sebagai mahasiswa kurasa sungguh berbeda dengan dinamika saya ketika di pesantren dahulu. Namun saya tetaplah saya, tak peduli eksistensi dan nilai-nilai, hanya menjalani apa yang diberikan sebagai jalan saya. Hingga saya sampai pada tahun kedua-ketiga. Saya mengalaminya.

Mendapatkan amanat sebagai pengurus, sungguh naif saya rasa, merasa sebagai pengenggam jabatan sosial organisasi ini membuat saya sembrono, merasa paling loyalis diantara yang lain, yang paling berkorban, yang paling aktivis, yang paling organisatoris, ah saya tak menyangka bahwa itulah saya yang dahulu.

Oh iya, sebelumnya, loyalitas dalam organisasi ini adalah hal abstrak tanpa batasan-batasan yang jelas, barangkali hanya keyakinan bersama yang teguh akan nilai-nilai kinerja, barangkali. Sehingga aku akan memberikan definisi umum bagi kebanyakan orang, loyalitas adalah kepatuhan, kepatuhan kepada hal-hal yang diperintahkan kepadanya, dalam beberapa sinonim, hal ini sama dengan taat, ketaatan.

Hingga akhirnya saya resmi menjadi demisioner dan menganggur. Namun siapa sangka, jabatan sosial baru ini benar-benar membuat saya berubah. Saya seperti latah dan bodoh dalam menjalani peran ini. Saya kaget dan tak menduga, bahwa menjadi demisioner sangatlah sulit. Berbeda dengan pengurus yang memiliki rapat kerja dan program kerja dengan indikator yang sistematis, rasional, dan dapat diukur, menjadi demisioner sangatlah abstrak dan tak memiliki standard. Bagaimana kualitas kita hanya berdasarkan pada judge yang dibilang yang lain, entah apatis,aktif, selalu membantu, dan lain sebagainya. Ibarat kata, tiada norma baku dalam menjalankan peran demisioner di CSSMORA. 
Diakui atautidak, kembali lagi, post power syndrome menghantui para demisioner. Saya benar-benar payah. Menjalani demisioner ini dengan sesuka hati saya, merupakan suatu hal yang salah, eh bukan, merupakan suatu hal yang naif. Bahkan sampai ini saya tugas, saya tak tau bagaimana demisioner itu bekerja. Dan, yang paling penting, apakah saya masih dapat dikatakan sebagai seorang anggota dengan loyalitas tanpa batas? Ah bukan itu terlalu berat, apakah saya masih layak sebagai anggota dengan loyalitas? Sedikit loyalitas? Saya merasakan tak memiliki loyalitas dan masih belajar bagaimana menjalankan fungsi loyalitas ketika saya menjadi demisioner dan tak memiliki atasan untuk memberikan perintah. Tentu kehadiran tidaklah cukup bukan? Aduh, saya benar-benar pemula jika berbicara loyalitas

Tabik
Syee Nee

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16