Gadis Mungil dan Tujuh Belas Buku yang Gagal


Mulutku menganga lebar. Tidak peduli siapa yang akan melihat karena toh aku memang tengah sendiri. Sedang mataku yang jika kau tatap akan tampak sangat mengantuk berusaha tak menyerah meski sudah berkali-kali wajahku hampir jatuh menabrak pinggiran meja.

Ku lirik jam tanganku sekali lagi. Di kamar seukuran empat kali tiga meter ini jarum jamku itu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Leherku sudah mulai lelah menunduk sedari delapan jam yang lalu tapi hasrat untuk merebahkan badan masih tertahan oleh jari-jari tanganku yang tengah sibuk mengetikki papan keyboard laptop mini berwarna putih kucel milikku.

“Aihh! Sudah halaman seratus empat belas?” bibirku menyeringai lebar.

“Tik!”

Suara klik bernada keras itu pun berhasil mengakhiri tulisanku hari ini. Sebuah buku pertama yang sudah sejak lama ingin ku akui sebagai milik sendiri. Di bawah sekotak persegi panjang yang menyemburatkan terangnya purnama malam ini aku merasa bahagia sekali. Berhasil menyelesaikan tulisan pertamaku yang berjumlah seratus empat belas halaman itu.

Usai akhirnya menyimpan tulisan yang baru saja selesai ku ketik itu lalu meregangkan otot yang sedari tadi rasanya tegang sekali seolah tengah beku dan kaku, aku mencuci muka terlebih dahulu tentu lengkap dengan kedua tangan dan kedua kakiku.

“Finally!........” aku tersenyum sekali lagi.

Ku lemparkan tubuhku untuk langsung mengambil posisi tidur. Mengambil do’a dan meraupkannya ke seluruh muka. Menutup mata sembari bibir yang masih tersenyum manis. Sepersekian detik setelahnya, pasca pikiranku sudah berlarian ke sana kemari membayangkan buku pertamaku bakal diterbitkan segere setelah aku mencari penerbit terbaik di negeri ini, aku pun terlelap.

*

“Kriiiiiiiiiiiiiing... Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing….”

Bunyi alarm di meja sebelah tempat tidurku berdering untuk yang ke sebelas kalinya. Ku matikan alarm berisik yang berhasil membangunkanku itu. Dengan mata setengah terbuka dan rambut awut-awutan, aku mencoba duduk di tempat tidur lalu mencoba berdiri dan menuju ke kamar mandi.

Selesai menangkupkan telapak tangan kepada-Nya seusai mandi juga menyikat gigi, aku melompat lagi ke atas tempat tidur; membuka si laptop putih kecil dengan sigap kemudian menekan tombol power yang segera menyemburatkan cahaya di layar seukuran dua puluh kali sepuluh sentimeter itu. Usai me-refresh laptop dengan background potret matahari terbenam yang di tengahnya telah dibubuhi tulisan “senjaku tak bernama” saat pengeditan beberapa minggu lalu, segera ku klik dua kali untuk membuka halaman tempat segala ilmu pengetahuan ada. Yups! Mbah google. Tanganku cekatan mengetik di papan keyboard dengan keyword “cara mengirim naskah ke penerbit”. Setelah ku lanjutkan dengan menekan tombol enter, sederetan informasi yang ku cari langsung bermunculan. Ku baca satu per satu informasi demi informasi dari urutan paling atas. Sampai pada informasi ke dua puluh enam, ku tekadkan diri untuk mengirim naskahku ke penerbit yang sedari tadi namanya berkali-kali muncul saat aku membaca informasi paling awal.

“Fiuhhhhh! Bismillah…”

Ku tarik nafas lalu membuka halaman baru untuk membuka e-mail. Membuat pesan baru, mengetikkan alamat e-mail penerbit, membubuhkan subjek dan sedikit kalimat pembuka pada badan e-mail lalu mengunduh naskah yang baru saja selesai ku ketik tadi malam di folder yang ku simpan. Beberapa detik sebelum akhirnya ku klik sekotak persegi panjang bertuliskan “send”, aku menarik nafas lagi. Dan, klik! Bunyi itu mewakili naskahku yang akhirnya terkirim.

*

Hari ini sudah tiga puluh hari sejak naskahku usai dikirim. Di halaman informasi yang tiga puluh hari lalu juga sempat ku baca perihal ketentuan penerbitan di penerbit yang ku kirimi naskah itu tertera bahwa paling lama penyeleksian anskah adalah tiga bulan.

“Oke.. ini baru tiga puluh hari. Masih ada enam puluh hari lagi kesempatan untuk naskahku dinyatakan lolos seleksi.” Aku mencoba memberikan sugesti kepada diriku sendiri.

Sambil menunggu naskah pertamaku itu, aku mulai berlatih menulis lagi. Mengumpulkan kepingan-kepingan kata lalu menjadikannya paragraph di setiap halaman. Satu halaman, dua halaman, dan seratus enam puluh lima halaman pun selesai. Naskah keduaku yang ku kategorikan sebagai novel ini selesai ku ketik. Di hari ini pula tepat hari ke delapan puluh tujuh setelah pengiriman naskah pertamaku; sekumpulan puisi yang ternyata belum jua menuai kelolosannya di penerbit yang aku harapkan.

Aku pun kemudian memutuskan untuk mengirimkan naskah keduaku ini ke penerbit yang berbeda. Berharap ada jalan lain lewat penerbit yang ku tuju kali ini. Sembari menunggu waktu tunggu naskah pertamaku usai dan dinyatakan tidak lolos sekaligus menunggu naskah keduaku yang baru saja ku kirimkan di penerbit berbeda, aku mencoba menulis lagi. Kali ini jemariku memilih untuk mengumpulkan paragraf-paragraf cerpen menjadi sebuah antologi. Satu naskah pertama, naskah kedua, naskah ketiga pun usai disusul empat naskah lagi dan tujuh naskah berikutnya. Sampai waktu kemudian berkata kepadaku bahwa sepuluh bulan sudah alias tiga ribu hari kurang lebihnya sejak naskah pertamaku ku kirimkan ke penerbit dan belum jua ada satu pun naskah itu yang berhasil lolos dan masuk penerbitan.

Jujur. Aku pun mulai merasa lelah. Satu-satunya aktifitas yang bisa ku jalani ini rupanya membuatku merasa bosan dan putus asa juga. Pada akhirnya hanya pada air mata aku beradu duka. Hari ini, semangatku menulis sudah tidak ada lagi. Terlebih bayang-bayang diagnosis kanker yang sudah sejak setahun lalu tinggal di perutku. Membuatku semakin putus asa dan percaya bahwa seorang penyakitan sepertiku memang tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Aku benar-benar putus asa.

*

Waktu terus memeluk hari demi hari. Kankerku semakin parah –kata dokter, sudah tidak mungkin bisa untuk disembuhkan; dokter tidak mengatakan langsung kepadaku, aku mengupingnya saat dokter mengatakan itu ke ibu dan ayahku. Berbarengan dengan penyakitku yang semakin parah ini, semangat hidupku untuk menulis tak pernah tumbuh lagi. Naskah-naskah yang berhasil ku ketik pun akhirnya berdiam diri; bertengger di folder yang tak pernah lagi ku buka.

Aku pun menjadi remaja penyakitan yang lebih suka menyendiri. Tanpa buku bacaan atau bunyi ketikan lagi. Sampai pada satu hari dimana mataku tiba-tiba berkunang-kunang dan kepalaku rasanya ingin meledak, aku hanya dapat melihat ibu terkaget di depan pintu kamarku sambal menjatuhkan sarapan yang seharusnya ku makan pagi itu. Aku kemudian tak sadarkan diri lagi. Pada lelap yang samar-samar, aku hanya dapat mendengar ibu berteriak memanggil ayah dan menggendongku keluar dari kamar.

Aku, terlelap pulas.

*

Aku masih merajut mawar merah kesukaanku ketika samar-samar ku dengar ibu memanggilku. Aku menolehkan kepala, kata ibu kita harus pulang sejenak. Tapi kataku, aku masing ingin main sebentar di padang mawar ini. Ibu lalu hanya terdiam. Pelan-pelan aku melihat kedua matanya meneteskan butiran cair. Ibu menangis. Sampai terisak dan sesenggukan tiada henti. Aku hanya dapat menatap mata ibu lalu bertanya kepada diri sendiri mengapa ibu menangis hanya karena aku enggan pulang? Akhirnya, tanganku meletakkan dua tangkai mawar yang tadi ku pegang sembari kakiku beranjak berjalan dan memluk ibu. Saat ku lepas pelukan itu dan membuka mata hendak menatap wajah ibu, mataku tiba-tiba menggelap dan merasa berat sekali. Ku coba untuk menarik nafas, dan membuka kedua mataku. Saat mataku berhasil terbuka, tampak ibu masih menangis dan ayah sudah ada di belakang ibu –tampak tegar dan terus berusaha menyalurkan ketegarannya itu lewat telapak tangan yang sepertinya sudah sedari tadi berada adi pundak ibu. Kepalaku merasa pening sekali. Dan setelah hamper tiga kali sesenggukan ku dengar tangisan ibu, aku baru sadar bahwa tubuhku sudah tidak berada di taman melainkan di atas sebuah kasur persegi panjang berwarna biru muda. Di sampingku sekotak mesin dengan garis-garis yang naik turun layaknya pegunungan berbunyi dan menampakkan warna kuning.

“I..bu.” Mulutku mengucap pelan.

Ibu menengadahkan wajahnya yang tadi menempel di pinggir Kasur tempatku berbaring; ayah membuka matanya dan meluruskan punggungnya yang tadi erat memeluk ibu sambal setengah berdiri. Tangisan ibu tiba-tiba berhenti. Kedua matanya kemudian meneteskan butiran lagi. Tapi dari yang ku tangkap, butiran itu dicampuri binar. Bibir ibu kemudian tersenyum.

*

Singkat cerita, setelah akhirnya aku dapat merasakan pening di kepalaku mulai mereda dan mata ibu tampak kembali normal dari pembengkakakn beberapa jam lalu, ibu bercerita perihal segalanya yang ia khawatirkan. Aku sudah koma sejak empat puluh sembilan hari lalu –oke! Aku sendiri pun merasa tak percaya. Terakhir tersadar, aku ada di kamar berukuran empat kali tiga meter. Sampai pada beberapa menit sebelum aku pingsan dan akhirnya koma, ibu sudah berdiri di depan pintu kamarku lengkap dengan senampan sarapan di tangannya. Ya! Sedikit banyak masih dapat ku ingat sepotong kejadian itu. Tapi tidak untuk koma selama empat puluh sembilan hari ini.

Ibu juga bercerita bahwa dengan segala yang telah dilakukan dokter semampunya, ibuku hampir putus asa. Tapi ia tahu bahwa ia tidak boleh mengikuti keputus asaan itu. Di tengah cerita, pintu kamar tempatku istirahat di rumah sakit ini terbuka, di baliknya ayah berdiri sambal memeluk sekotak kardus sedang. Ia tersenyum sambal memandang mataku lalu bergeser memandang mata ibu.

“Ayah tahu, putri ayah adalah putri paling hebat dan tangguh di dunia ini. Putri ayah tidak akan menyerah hanya karena kanker kecil yang iseng tidur di perut kan?” ayah lalu tertawa setelah mengucapkan sederet kalimat itu

Aku lalu ikut tertawa.

“Ayah bawa apa?” aku bertanya.

Ayah tak menjawab langsung. Tangannya memilih untuk membuka tutup kotak itu terlebih dahulu. Segera setelahnya aku melihat ayah mengangkat isi kotak; isi kotak yang langsung membuatku terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.

“Nak, bagi ibumumu, empat puluh sembilan hari tanpa lisan cerewetmu yang telah berlalu terasa lebih dari seribu tahun. Tapi ayah tahu bahwa ibumu sangat kuat sepertimu. Di hari ke-4 setelah kamu tidak sadarkan diri, ibu menghidupakan laptop putih kecilmu, me-refresh halaman utamanya lalu membuka folder ketikanmu yang tersimpan. Setiap hari, ibu dan ayah akan bergantian menjagamu di kamar berdinding putih ini. Saat matahari baru menggeliat dan mengharuskan ayah untuk bekerja, ibu tidak pernah sekalipun tidur di sampingmu; saat matahri kemudian pulang ke peraduannya di sebelah barat, ayah akan duduk di sampingmu, sedangkan ibu? Ia tidak memilih beristirahat dan merebahkan diri, ia memilih untuk sibuk mengurusi penerbitan naskah-naskahmu. Ibu percaya bahwa apa yang sudah kamu tulis dapat dibaca oleh ribuan pasang mata di luar sana.” Selesai mengucapkan kalimat panjang itu, ayah mengusap air mata yang hampir jatuh di sudut matanya.

Ibu masih tersenyum dangan usapan yang ke sepuluh kali di kedua matanya. Aku sungguh tak dapat lagi menahan butiran-butiran dingin di kedua mataku. Melihat sepasang mata ibu dan ayah aku kemudian menyimpulkan bahwa aku tidak sekalipun boleh menyerah dan mengubur dalam-dalam persepsi empat puluh sembilan hari lalu terkait aku yang bakal segera mati secara sia-sia di penghujung waktuku bersama kanker ini. Aku tahu, aku harus tetap hidup dengan baik. Seberapa pendek pun waktu yang diberikan-Nya kepadaku.

“Baik tuan putri, sekarang fans nomor satumu ini ingin sekali jemari mungilmu itu membubuhkan tanda tangan di tujuh belas buku paling best seller di dunia. Jangan membuat fans beratmu menunggu lebih lama lagi ya!” dengan suara dibuat-buat imut, ayah mengucapkan itu sambil tersenyum

Aku mengangguk dan ikut tersenyum.

ma.ms

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16