Perjalanan yang Berharga


Liburan panjang, Aku banyak ditawari teman jalan-jalan. Salah satunya teman-teman CSSMoRA1 jatim ’18. Kali ini mereka akan mengadakan pendakian bersama. Dan, Gunung Buthak lah yang menjadi sasaran pendakian. Mereka mengajakku karena mereka mengetahui bahwa Aku pernah mendaki disana dan memintaku untuk menjadi penunjuk jalan.

Awalnya ketika mengetahui akan mendaki Gunung Buthak, Aku tidak mempunyai keinginan untuk ikut acara itu. Alasannya sederhana, Aku sudah pernah mendaki disana. Lalu, kenapa harus kesana lagi. Sampai akhirnya Adila, anak CSSMoRA UIN Jakarta yang merencanakan acara pendakian ini, memaksaku ikut mendaki dengan alasan silaturahim sesama rekan CSSMoRA. Dengan terpaksa, Aku menyanggupi ajakannya mendaki Gunung Buthak ini.

Tepat pada 21 Januari 2019, sehari sebelum pendakian, Aku berangkat dari Banyuwangi langsung menuju Malang. Aku ditugaskan menjadi panitia Dentine2 rayon Banyuwangi. Hal itu yang menjadi alasanku mengapa harus pergi dari Banyuwangi. Aku memilih kereta api sebagai transportasi ke Malang. Kereta yang kunaiki bernama Tawang alun. Kereta tujuan akhir Stasiun Malang Kota Lama itu akan transit di Stasiun Bangil untuk mengganti arah gerbong kereta. Biasanya akan memakan waktu 30 menit dan penumpang akan dipersilahkan menikmati udara Bangil atau sekedar membeli jajan didekat stasiun. 

Tidak sampai tujuan akhir, Aku sudah turun dulu di stasiun Malang. Berdesakan dengan penumpang lain, Aku turun dari kereta. Wow. Pertama kali menginjakkan kaki stasiun ini. Bagus sekali. Terlebih ketika berjalan keluar stasiun seakan melewati ruang bawah tanah. Setibanya Aku diruang tunggu, Aku langsung menghubungi Andi, anak CSSMoRA UGM, yang berjanji akan menjemputku. Sekitar sepuluh menit berlalu, akhirnya Andi datang. Langsung kami berkenalan dan Andi memancing percakapan sambil kami berjalan menuju sepeda motornya. Karena Aku tidak membawa helm, Andi sempat khawatir ada polisi yang akan menilang. Namun, Andi tetap memboncengku sambil dia memilih melewati jalan desa agar tidak ada polisi yang akan menghadang. Dia membawa ku ke rumah temannya yang berada di Batu, Muhib. Rencananya, rumah Muhib ini dijadikan basecamp teman-teman pendakian akan menginap. 

Pukul delapan malam, teman yang lain mulai berdatangan. Mereka adalah Adila; Atok; UIN Malang; dan Savitri, Stikes Malang. Sebenarnya Atok dan Savitri bukan anggota CSSMoRA, tetapi mereka adalah rekan Andi. Andi mengajak mereka untuk meramaikan pendakian ini. Kami pun tidak keberatan dengan keputusan Andi, malah senang karena dapat teman lebih banyak lagi.

Dini hari, Andi pamit pulang untuk menyiapkan barang kebutuhannya dan mengambil alat pendakian yang dia pesan. Dia bilang akan kembali sekitar jam Sembilan pagi. Kami berempat hanya meng-iya-kan kemauan Andi sambil meneruskan tidur. Bangun dari tidur, Muhib sudah menyuguhkan makanan untuk kami. “Ayo dimakan, jangan sungkan” kata Muhib. Karena baru kenal, Aku masih sungkan mengambil makanan duluan. Sampai akhirnya Andi datang dan mengambil makanan lebih dulu. Kami berempat pun menyusul mengikuti kelakuan Andi. Setelah makan, kami memeriksa barang yang dibawa Andi tadi. Tas carrier yang berisi tenda, sleeping bag, dan matras. Peralatan standar yang biasanya digunakan oleh pendaki. Oh ya, Andi lah orang yang mengatur kebutuhan alat pendakian saat ini. Kami pun tinggal menunggu dua teman lain yang masih dalam perjalanan menuju rumah Muhib.

Satu jam menunggu, dua teman yang lain tidak kunjung datang. Ketika Andi berusaha menghubunginya, mereka bilang masih terjebak macet. Ah, pasti pendakian ini semakin molor, batin ku dalam hati. Namun, Aku tetap bersabar menunggu karena bagaimana pun Aku tidak mungkin mendaki sendirian. Akhirnya, mereka datang pukul sebelas siang. Mereka menunggu dimasjid sebelah rumah Muhib. Kami pun menghampiri mereka berdua. Farid dan Ulin, keduanya berasal dari CSSMoRA UIN Walisongo. Tanpa menunggu lama lagi, kami langsung memulai perjalanan menuju basecamp Gunung Panderman-Buthak.

Ditengah perjalanan, kami memiliki kendala. Motor matic yang dibawa oleh sebagian dari kami harus diparkir dibawah. Orang sekitar bilang karena sudah banyak motor matic yang mengalami kecelakaan dijalan menuju basecamp ini. Mau tidak mau sebgian dari kami harus memarkir sepedanya dibawah dan menunggu teman yang lain menjemput. Aku, Farid, dan Ulin yang kebetulan harus parkir dibawah memutuskan untuk berjalan. Sambil bergurau tanjakan yang kami lalui tidak begitu terasa. Setelah beberapa meter berjalan, datanglah Atok sendirian. Dia langsung membonceng Ulin menuju basecamp. Tak lama kemudian, datanglah Andi. Aku lah yang akan diboncengnya menuju basecamp. Memang benar, jalannya begitu ekstrim yang dipenuhi dengan tanjakan. Itu pun tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Tidak salah yang orang kampung tadi bilang.

Tidak ada banyak perubahan dari ketika Aku mendaki kesini dua tahun yang lalu. Hanya ada beberapa banner peringatan yang ditambahkan dan peta jalur pendakian yang diganti, selebihnya sama. Tarif tiket pendaftaran pun sama, 10 ribu per orang. Gazebo disebelah loket pendaftaran pun masih berdiri kokoh dengan cat yang sama. Teman-teman yang lain berteduh dibawah pohon sambil menunggu Aku dan Adila membeli tiket. Ketika Aku menghampiri mereka, datanglah Atok dan Farid dengan membawa beberapa botol air minum. Kemudian, kami kembali memeriksa peralatan dan barang bawaan dan segera memulai pendakian.

Pos pertama kami berhenti. Atok, komando pendakian ini, menyarankan berhenti di setiap pos agar teman-teman bisa mengatur napas dan meregangkan kaki. Di pos inilah salah satu sumber air berada. Sumber ini berupa pipa yang sengaja diberi lubang agar air dapat keluar melalui lubang tersebut. Sumber air yang lain akan ditemukan di Savana Gunung Buthak. Sumber ini lah yang merupakan mata air asli. Kami mulai mengisi botol yang sudah kosong dan membasuh muka dengan air. Kemudian, Rute akan terbagi menjadi dua jalur. jalur biasa yang memutar dan jalur menanjak yang disebut tanjakan php. Berhubung penjaga tiket tadi menyarankan agar kami tidak melewati tanjakan php, kami pun belok kiri yang akan melewati jalur biasa.

Dibandingkan dengan pengalaman mendaki Gunung Buthak lewat tanjakan php, Aku merasa sama saja. Jalur biasa tetap ada tanjakan disana, tetapi tidak securam tanjakan php. Di jalur ini juga ada tanah longsor yang ditutupi oleh pohon. Jadi, kami harus ekstra hati-hati untuk melewatinya. Kami juga sering beristirahat untuk mengisi tenaga karena kelelahan. Belum lagi banyak dari kami yang masih baru mendaki gunung.

Menjelang sore, Aku, Andi, Adila, dan Savitri lebih dulu sampai dipos kedua. Pemandangan deretan bukit hijau yang terselimuti kabut putih memanjakan mata para pendaki. Saat kami tiba ada sekelompok pendaki yang telah memasang flysheet dan menggelar matras. Setelah kami lihat, ternyata mereka habis memasak makanan. Kami pun menyapa mereka sambil mengabadikan pemandangan sekitar. Kami bersuka ria memfoto sambil menunggu Atok, Farid, dan Ulin. Kami berhenti memfoto ketika melihat mereka bertiga mulai datang. Akhirnya, kami semua memutuskan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Langit berubah menjadi gelap ketika kami sampai dipos ketiga. Disana sudah banyak tenda-tenda yang berdiri. Ada juga pendaki yang akan mendirikan tenda. Tiba-tiba Aku mendengar suara angin yang begitu kencang. Teman-teman lain juga mulai bertanya tentang angin kencang itu. Sejenak, kami berunding untuk melanjutkan perjalanan atau berhenti dan mendirikan tenda. Kebanyakan diam karena tidak paham dengan jalur pendakian ini. atok bertanya kepada ku mau meneruskan atau tidak. Spontan ku bilang,

“Aku dulu butuh satu jam untuk sampai di savana dari sini.” 

Akhirnya, teman-teman bertekad meneruskan perjalanan karena mereka menganggap savana sudah dekat. Meskipun itu akan menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kami semua.

Berbekal senter, kami terus melanjutkan perjalanan. Menerjang jalur yang gelap, dipayungi hujan, dan diselimuti angin kencang. Sungguh perjalanan yang menguras tenaga. Namun, kami tetap melanjutkan perjalanan tanpa ada istirahat. Tanjakan demi tanjakan yang harus dilalui seakan tidak pernah berakhir. Kedinginan, menggigil, belum lagi beban tas yang kami bawa. Kami pun berada diambang batas kemampuan kami. Atok memberi saran agar segera mendirikan tenda begitu mendapatkan tanah lapang. Kami semua hanya bisa menyetujui sarannya tanpa membantah. Bagaimana tidak, kami semua sudah kelelahan dan dapat membahayakan keselamatan apabila kita tidak juga istirahat atau menghangatkan badan.

Setelah melalui tanjakan yang panjang, kami menemukan tanah yang cukup untuk mendirikan tenda. Namun, kami harus lebih bekerja keras setelah ini. Menggelar tenda, menyatukan frame tenda, dan memasang rain cover tenda ditengah badai yang melanda tidak semudah ketika berada dikondisi non badai. Cukup sulit memang, tetapi kami akhirnya dapat mendirikan satu tenda walaupun tidak sempurna. Biarlah, tidak cukup waktu untuk memperbaikinya. Belum lagi tubuh kami yang tidak kuat menahan kedinginan. Kami bergegas menata barang terlebih dahulu dan memasuki tenda setelahnya.

Tengah malam, angin kencang dan hujan terus berlanjut tiada henti. Hembusan angin menjadi iringan musik kami. Sesekali terdengar suara pohon yang tumbang. Tiba-tiba saja seisi tenda menjadi panik. Pikiran-pikiran buruk mulai melintas dalam benak kami. Bagaimana jika pohon itu menimpa kami. Kami hanya bisa berdoa agar diberi keselamatan kepada Tuhan. Hal itu membuat kami tidak bisa tidur. Namun, setelah tidak lagi terdengar pohon tumbang, beberapa dari kami ada tertidur. Ketika suara dengkuran semakin meramaikan tenda, aku tetap tidak bisa tidur. Ini karena Aku kedinginan akibat air hujan yang merembes didaerah yang tidak ditutupi rain cover.

Pagi kembali menyongsong. Matahari mulai menyinari langit. Angin kencang masih bertiup meski hujan sudah berhenti. Kami lega akhirnya dapat melewati badai dalam keadaan selamat. Kemudian, kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun, niatan kami batal ketika mendapati dua orang pendaki yang turun berkata bahwa di savana tidak ada yang mendirikan tenda kecuali mereka. Kami bingung menentukan pilihan. Antara melawan angin kencang dan menuju puncak atau turun demi keamanan. Akhirnya kami memilih untuk turun mengingat kondisi cuaca yang tidak mendukung dan juga kami perlu mengisi perut yang kosong. Karenanya kami harus mencari tempat yang nyaman agar bisa memasak dengan tenang.

Singkat cerita, tujuan mendaki bukanlah untuk mencapai puncak atau sekedar selfie di spot yang menarik, melainkan keselamatan diri dan rasa pertemanan yang seharusnya menjadi lebih akrab.

Surabaya, 21 Juni 2019
Naufalmnh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16