Aku yang Tak Pernah Mempercayai Hal-Hal Mistis Sebelumnya
Untuk Azkia Chamanda
1/
Aku seorang mahasiswa yang barangkali idealis dengan pemberontakan di kepalaku, tentang sistem pendidikan yang diktator dan membosankan. Hidup di perantauan. Secara rutin, sabtu, aku menjalin komunikasi suara dengan keluarga. Bapak. Ibu. Dan adikku. Saling salam, sapa, minta uang. Rutinitas yang menyenangkan.
2/
Pulang kampung. Seperti biasa. Melalui pesawat aku melipat jarak. Bertemu bapak dan ibu. Adikku di pesantren. Namun esok pagi. Ia izin untuk pulang ke rumah. Ayah tiada
3/
Tidak ada yang berbeda, hanya ayah yang tiada. Ibu masih sering menghabiskan waktu di dapur dan ruang keluarga. Barangkali sekarang, ibu disana bersama air mata. Adikku masih bersekolah dengan giatnya, masih tetap sesekali malas karena merasa penat dan tak kuat dengan Pekerjaan Rumah yang Bu guru beri tak setiap hari. Aku masih saja seorang mahasiswa. Masuk kelas. Menyimak. Mendengarkan. Bercerita. Angan-angan. Tetaplah aku yang mandiri dan ceria. Sangat ceria sampai-sampai kesepian jarang singgah di mataku. Binar. Binar. Mataku selalu berbinar.
Ayah sudah tiada. Tak ada yang berbeda. Ku melintasi rutinitas seperti biasa. Senyumku juga sama. Merekah indah. Setiap saat. Sebelum tidur dan sebangun darinya. Bahkan ketika mandi.
4/
Di perjalanan pulang dari kuliah. Aku sengaja singgah di swalayan. Membunuh waktu dan uang. Barang-barang di kamar harus diganti dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Di pintu masuk. Petugas menyapaku "selamat datang bapak, kakak". Barangkali itu memang pekerjaannya namun Aku datang sendiri ke swalayan ini. Belakangku hanya sepi. "Masnya menyapa saya?" Aku ragu.
"Iya kak"
"Kan saya datang sendiri mas heuheu" aku tertawa. Getir. Tak ingin ambil pusing.
"Kakak memang sendiri, tapi di binar mata kakak, juga senyum kakak, bapak tinggal di sana."
Aku terdiam. Air mata lepas. Deras. Namun mataku tetap berbinar. Aku tersenyum.
"Tetaplah di sana, bapak"
12 Desember 2019
~Syee Nee
Komentar
Posting Komentar