Tulisan Tak Utuh


Menjemputmu di kala gelap memuncak, menebar asa di segenap hela napas. Menarik tunggu yang tak usai baik raga maupun jiwa. Berharap datang seulas senyum merekah terselip di rona merah penghujung cahaya. 

Benar saja kata Sang Sufi, Jalaludin Rumi bahwa cinta seharusnya menjadi kendaraan yang membawa kita bepergian tanpa batas. Tak kenal waktu maupun jarak. Pertemuan kita yang singkat selalu jadi momen yang rasanya sulit diungkapkan dengan sebatas kata-kata namun lebih kepada rasa itu sendiri. Dengan berbekal keyakinan hati di ujung malam sunyi ku rasa tak perlu ragu menjemput cahaya itu. 

Menunggu semenit saja terasa begitu lama untuk seorang yang dilanda asmara. Seperti kata Rhoma Irama, Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Ku tak ingin bunga itu layu karena haus akan perjumpaan dan kering akan keraguan. Menunggu dan menunggu sampai akhirnya terlihat cahaya itu. 

Menerobos pekatnya malam serta dinginya bayu berhembus kala itu. Membawa cahaya menuju dimensi tempat bernaung dan melepas penat. Melihat nya saja aduhai bergetar hati ini. Makin dilihat makin saja bergetar dan selalu terasa nyaman di jiwa. 

Sinarnya menerangi dan senyumnya membuat hati terpaut bak jangkar kapal tak berkarat, sangat kuat. Waktu denganmu rasanya tak ingin waktu cepat berlalu. Berharap lebih lama sampai aku terlelap dipangkuanmu. 

Hari kita nyata senyata panas api dan dingin kabut. Aku tak perduli asalkan kau ada. Aku tenang berkelana dan berjumpa dengan sejumput cinta yang kutanam. Ku ingin semai dan ku perlihatkan pada dunia bahwa aku cinta dan aku bahagia. 

Mungkin terlalu dini untuk ku tunjukan. Aku perlu lebih sabar menunggu dan menghadapi nya hingga tumbuh buah lagi ku sebar. Ku tanamkan harap dan juga asa. Salah langkahku ternyata berbuah duri. Menusuk daging sampai menembus hati. 

Tapi sejatinya, aku tetaplah aku. Aku yang selalu menjadi karang ditengah lautan ganas akan keraguanmu. Menjadi air dalam kaktus gurun sahara-khayalmu. Menjadi langkah ditengah kegundahanmu. Menjadi embun ditengah haus-rindumu. 

Biarkan aku bersinar meskipun bukan emas dihadapanmu. Karena bagiku aku bersinar bukan untuk terlihat mahal tapi untuk menerangimu. Biarkan aku menjadi tulisan indah senyummu, menggurat lesung di pipimu. Mengalir indah akan manismu. 

Aku sadar bahwa kita bukanlah tulisan utuh. Yang senantiasa perlu lembar demi lembar baru untuk terus bersamamu. Aku tak tahu kapan tinta habis sampai tulisan itu utuh. Tapi biarkan aku terus menari dalam penaku. Menjemputmu dan memilikimu. Satu lagi mencintai mu. Seperti kata Rumi "jika mencintaimu adalah dosa, maka ku berdosa setiap detiknya". 

Tangerang, 21 September 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16