Karhutla Sebab Kabut Asap




Belum lama ini Indonesia kembali mendapatkan suatu musibah yang cukup besar, yaitu Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana  (BNPB), titik panas (hot spot) yang terdata pada 19 September 2019 berjumlah 4.077. Titik panas tersebut tersebar di 6 provinsi, meliputi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Karhutla menjadi hal yang santer dibicarakan di segala tempat karena dampak yang dihasilkannya. Kebakaran tersebut menghasilkan kabut asap yang mencemari udara, menghambat aktivitas, dan juga mengganggu kesehatan. Begitu parahnya kabut asap yang terbentuk bahkan sampai membuat beberapa sekolah terpaksa diliburkan. Dari 66 provinsi yang terkena karhutla itu, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) rerata diatas 300 yang artinya pencemaran tersebut dapat dikategorikan dalam kategori berbahaya.

Kabut asap mengandung beberapa zat berbahaya  yaitu Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2),   Nitrogen Oksida (NO2), dan Ozon (O3). Karbon monoksida dalam tubuh akan mengikat hemoglobin dalam darah yang kemudian akan membuat seseorang mengalami sesak napas. Sementara itu, Sulfur dioksida dapat membuat saluran napas mengecil dan memicu iritasi pada selaput lendir pernapasan. Ozon akan membuat iritasi tenggorokan, sedangkan nitrogen dioksida dapat merusak organ yang membersihkan paru-paru, sehingga pertahanan saluran napas berkurang.

Oleh karena itu, menghirup asap akibat kebakaran dalam jangka yang lama berarti mengirup zat berbahaya itu dalam kapasitas yang lebih banyak. Hal tersebutlah yang meninggikan potensi terkena penyakit pernapasan pada masyarakat disekitar tempat kejadian. Pada 16 September 2019 di Posko Satgas Siaga Darurat Karhutla wilayah Kalimantan Tengah sudah tercatat lebih dari 2.000 penderita ISPA. Tentunya hal tersebut sangat tidak baik dan harus segera dihentikan.

Tidak hanya itu, karhutla juga menghilangkan habitat asli dari para satwa sehingga membuat mereka pada akhirnya kehilangan tempat tinggal. Bukan hanya kehilangan tempat tinggal beberapa satwa tersebut juga mengalami sakit akibat asap bahkan juga kematian. Banyak sekali satwa yangharus mengalami kesusahan akibat kebakaran ini. Ironisnya, sebagian besar dari satwa yang sakit dan mati itu tergolong dalam satwa langka yang terancam punah.
Melihat dampak yang dihasilkan dari bencana ini, tidak heran banyak sekali masyarakat yang menuntut pemerintah untuk segera mengambil langkah guna mengatasi permasalahan tersebut. Saat ini, pemerintah memang sudah menurunkan pasukan khusus yang bertugas memadamkan api pada pusat kebakaran. Akan tetapi, luasnya lahan yang terbakar, angin yang kencang, ditambah dengan musim kemarau membuat api sulit dipadamkan. 

Menanangapi hal tersebut, masyarakat dinilai sangat perlu untuk menggunakan masker. Penggunaan masker tersebut bertujuan untuk menekan zat berbahaya yang terhirup. Saat ini juga mulai banyak organisasi sosial yang menggalakan dan guna membantu mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, hendaknya kita juga perlu menggiatkan do’a supaya hujan dapat segera turun dan api segera padam.

-Fa-

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16