Serpih
Oleh : Syee Nee
Ia tak benar-benar mengingat wajahnya.
**
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Bu.” Ucap Rahmat kepada Bu Susi.
Beliau adalah bidan yang bertugas di Desa Wonorejo, jepara. Program 1 Desa 1 Bidan membawa beliau yang asli Gresik untuk menetap di Wonorejo.
“Ya udah, besok hari Senin datang aja pagi-pagi kesini, sekalian bantu-bantu persiapan dulu nantinya.”
“Siap Bu.” Balas Rahmat ceria.
Perizinan ini merupakan langkah awal darinya untuk mengakhiri masa studinya yang sisa satu semester lagi. Sebagai mahasiswa yang mengambil topik tugas akhir tentang ibu hamil, Rahmat harus sering berinteraksi dengan para bidan desa di lokasi penelitiannya, melebihi interaksi ia dengan kekasihnya di Bandung. Ia tinggal di wonorejo dengan menyewa kamar satuan di salah satu sudut luar desa.
“Bu, untuk memudahkan Komunikasi, boleh saya minta nomor telpon Ibu?”
“Oh iya, monggo.” jawab Bu Susi.
Paras menyenangkan dan gembira. Rasanya seperti berbicara dengan teman sendiri, meski menggunakan bahasa dialog yang terkesan resmi dan baku.
“Terima kasih Bu, saya pamit dahulu ya Bu.”
“Iya mas.”
“Assalam'ualaikum?” ucap Rahmat sembari mencium tangan Bu Susi.
“Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh.”
*
“Mas, nanti mampir ke rumah saya dulu ya, ke balai desanya bareng anak saya.” Pesan masuk dari Bu Susi.
“Siap Bu, rumah Ibu di sebelah mana ya Bu? Hehe.”
“Oh iya, sebelah masjid dekat gapura pintu masuk desa mas. Sampean datang dari arah jembatan kan njeh?”
“Njeh Bu.”
“Nanti ada palangnya di depan rumah.”
“Baik Bu.”
*
Di depan masjid, ia mulai melambatkan laju motornya, matanya mencari palang Bidan Susi atau sejenisnya. Ia menemukannya, sebelah kanan jalan dari arah ia datang, namun ia terlihat ragu.
“Apa ini?” tanyanya sendiri. Perempuan berdiri di halaman rumah itu, seolah menanti.
“Assalamu'alaikum?”
“Wa'alaikumsalam.”
“Anaknya Bu Susi ya?”
“Njeh mas, mas Rahmat njeh?”
“Iya mbak, yaudah yuk tak anter ke ibu pean.”
Rahmat terlihat menarik napas, pelan. Perempuan itu naik dibonceng olehnya, kemudian motor kembali berjalan. Keduanya, barangkali merasakan sunyi yang canggung dan asing, di sepanjang jalan menuju balai desa.
*
“Hah ini dia baru datang.” ucap Bu Susi sembari keluar dari sekretariat perangkat desa, menuju Rahmat dan anak perempuannya yang dibonceng.
“Udah pada kenal belum?”
“Tau bu, tapi saya belum kenal hehe.” Jawab Rahmat tersenyum. Anak perempuan itu berjalan masuk ke kantor.
“Eh bilah, mrene sek, kenalan karo mase.” (eh bilah, kesini dulu, kenalan sama masnya).
Bu susi memanggil anak perempuannya yang ternyata memiliki nama bila (h?). Rahmat hanya meringis, sedikit grogi barangkali.
“Rahmat."
“Bila."
*
“Lah ini, baru aja aku mau keluar tadi.”
“Mohon maaf bu, tadi ada kendala di jalan.” jawab Rahmat sembari bersalaman dengan Bu Susi, tak lupa cium tangan.
Bu Susi kembali masuk ke dalam balai desa, Rahmat mengikutinya.
“Ini, semua ibu hamil disini sudah mengisi, coba di cek dulu mas.”
“Alhamdulillah makasih banyak bu.” Ucap Rahmat sembari menerima kuisioner yang dititipkan kepada Bu Susi. Sebenarnya ia sendiri yang mendatangi warga dan mengisi kuisioner itu. Namun hingga sore hari, ia tak mampu mewawancarai seluruh subjek penelitiannya, akhirnya Bu Susi mengajukan diri untuk membantu.
“Ini udah selesai semua berarti ya mas?”
“Iya Bu alhamdulillah.”
“Mau langsung pulang?”
“Enggak Bu sepertinya, udah mau masuk waktu jum'at.”
“Oh jum'atan di masjid sini saja?"
“Iya Bu rencananya begitu”
“Mau mampir dulu ndak ke rumah?”
“...” Rahmat terdiam.
“Ada Bilah di rumah, yuk kesana saja dulu”
“Njeh Bu."
*
“Assalam'ulaiakum?”
“Wa'alaikumsalam.” Suara dari dalam rumah menjawab salam.
“Ayo mas masuk mas.”
"Njeh Bu.” Jawab Rahmat sembari melepas sepatunya.
“Assalamu'alaikum?” Salam ia ucapkan sembari mendekat pada pintu.
“Wa'alaikumsalam” Suara dari ruang tamu, dan itu adalah Bila. Rahmat terdiam sejenak, menarik napas pelan, keluarkan.
“Monggo mas pinarak.” (silahkan mas, duduk).
“Eh, iya mbak”
Ruang tamu mulai menciptakan ceritanya. Sunyi dalam genggaman rahmat, ia tahan erat-erat, jangan sampai ia lepas dan memenuhi ruangan.
“Mas, makan njeh?” Suara Bu Susi dari dalam.
“Eh, mboten usah repot-repot Bu hehe." Jawab Rahmat cengengesan.
Ya dan tuan rumah pun menjamu tamunya, dengan hangat, dengan ceria, dengan sukacita.
*
“Bu, saya pamit ya Bu."
“Eh kok buru-buru mas, masih panas (cuaca) loh."
“Haha kalo ngikutin panas mah saya bisa menginap di sini Bu."
“Hahahaha ya udah hati-hati."
“Siap Bu."
Keduanya mengantar Rahmat hingga depan rumah.
“Assalamu'alaikum?” Ucap rahmat kepada Bu Susi dan Bila.
Motornya mulai berpacu, ia berikan sorot penghormatan kepada Bu Susi dengan matanya. Juga kepada Bilah, sorot menabraknya, perenungan mengudara diantara jarak mereka. Berat.
“Wa'alaikumsalam."
Agak jauh dari rumah Bu Susi, Rahmat berhenti. Ia keluarkan telpon genggam dari tasnya.
“Hallo, assalamu'alaikum?"
“Wa'alaikumsalam, kok baru diangkat?"
“Iya maaf ya hehehe."
“Mau pulang ya?”
“Iya dong."
“Hati-hati di jalan, sampai ketemu disini."
**
“Hayo moco opo kon?” (hayo baca apa kamu?) tanyaku pada Andi yang ketahuan sedang membuka-buka buku catatanku.
“Eh wes sampek, endi kopine?” (Eh sudah sampai, mana kopinya?)
“Ki." (ini).
“Kon tau ketemu Bilah?” (Kamu pernah bertemu Bilah?)
“Enggak, koyok e.” (Enggak pernah sepertinya)
“Hahaha bucin”
**
Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar mengingat wajahnya.
Komentar
Posting Komentar