Sebuah Surat.


Teruntuk laki-laki yang akan dan selalu menjadi kebanggaan keluarga-nya (ku). 

Hei, rasanya tak perlu ku awali surat ini dengan pertanyaan kabar basa basi layaknya orang berkirim surat. Aku tahu jawabannya karena sudah jelas kemarin malam kita menangisi takdir kita bersama. Takdir yang memang tak akan pernah dan tak akan bisa kita lawan. Izinkan aku untuk sedikit membuka lembaran lama tentang perjalanan kita sampai saat kemarin. Sebelum kalimat panjang itu tertulis dalam ruang chat kita kemarin malam. 

Hei, rupanya cukup lama kita saling mengenal, dan bukan waktu yang singkat untuk melupakan kenangan yang telah terlewatkan. Sisi-sisi sudut kota ini tentunya sudah kita singgahi. Jalanan menuju tempat singgahku yang selalu kau namai dengan sebutan aneh, angkringan, tempat makan, warung seafood. Tak terhitung berapa tempat yang pernah kita ukir menjadi kenangan. Tepatnya, sudut kota ini menjadi saksi bahwa kita pernah ada dan bersama.

Hei, kapan kita pertama kali saling kenal? Ah! Lupakan perkara itu, aku lupa kapan detailnya. Yang kuingat, kau pertama kali mengajakku berbincang; membicarakan hal yang tak perlu; guyonan aneh yang seharusnya tak ku tertawai namun di pikiranku saat itu tertawa adalah kunciku untuk bisa dekat denganmu. Waktu berjalan sampai kita bisa sangat dekat, teramat dekat, bahkan orang mengira kita memiliki hubungan spesial, padahal kala itu, kita tak pernah merasa ada sesuatu yang spesial, semuanya mengalir begitu saja. Semakin hari, kita semakin dekat, hubungan kita tentunya sudah berubah tak seperti dulu, mulai terbuka satu sama lain, bahkan kau bisa membuka kunci hpku dengan sidik jarimu. Ah, ternyata hubungan kita sudah sedekat itu dan entah sejak kapan, kata "berkomitmen" ada pada prinsip hubungan kita. 

Hei, masih teringat di ingatan ketika kita saling membahas masa depan di sudut teras tempat singgahku. saling berlomba mengukir mimpi, kau sebagai pemimpin rumah tangga, aku sebagai bendahara nya, bermimpi membangun rumah minimalis dua lantai dengan halaman yang ku tanami sayur mayur kesukaanku dan kau tambahi dengan bunga kesukaan ibumu (kau pernah bilang ibumu suka menanam bebungaan). Di sudut lantai dua rumah, kita bangun perpustakaan kecil yang akan kita isi dengan ratusan novel koleksiku dan ratusan buku ilmiah koleksimu (terkait selera buku, kita memilik selera yang jauh berbeda tentunya). Selain rumah, kita bicarakan tentang kehidupan kita di masa depan, kamu dengan pekerjaanmu dan kamu hanya menyuruhku menjadi istri yang taat kepada suami. Ah, rupanya mimpi kita terlampau tinggi kala itu. 

Hei, bagaimana dengan ingatanmu? Masihkah kau ingat semua detail perjalanan kita? Aku saksi kau masih ingat detail semuanya. Waktu berjalan terlampau cepat, ternyata sudah bertahun-tahun kita saling mengenal satu sama lain. Sampai tiba waktunya kau di penghujung akhir cerita hidupku. 

Hei, saat ini kita terpisah oleh ratusan jarak. Atau bahkan ribuan? Ntah, aku tak akan dan mau menghitungnya. Hanya menyisakan luka di hati jika mengingatnya. Kau saat ini berada di kota sana, menikmati kehidupan barumu. Awal yang baik kau jalani hari-harimu di kotamu. Dan hidupku di kota ini tak jauh berbeda-beda dengan sebelumnya, mungkin ku tambahi dengan rasa khawatir akan hidupmu di kotamu itu. Namun, selalu saja, kau mampu menutupi kekhawatiran ku dengan semua perlakuanmu terhadap ku.

Sampai hari itu tiba. Ya, hari dimana kau bertanya sesuatu yang tak wajar terhadap ku. Tentang kejelasan hubungan kita, dan orangtua. Kau tau perasaan ku saat itu? Takut tak terkira. Kenapa secara tetiba kau mengutarakan pertanyaan itu saat jarak tak bisa kita pangkas secara sederhana. 

Hei, Sejak saat pembicaraan itu, hubungan kita mulai tak biasa. Saling bungkam satu sama lain. Namun ku tau, kita saling menyimpan tanya pada hati masing-masing. Beberapa hari setelah itu, kau menghubungiku dengan sapaan tak seperti biasanya, terlalu kaku untuk orang yang sudah kenal sejak lama. Aku meminta kejujuran atas sikapmu saat itu. Bunyi notif darimu terdengar. Aku buka pesan darimu. Terpampang jelas dilayar gawaiku untaian kalimat panjang, yang menjadikan kita tak bisa bersama lagi. Kau tau, menyakitkan jika ku ingat moment saat ku membaca pesan itu. Tak pernah terbayang sebelumnya jika ternyata orangtuamu tak restu. Padahal selama ini aku berusaha memantaskan diri tuk bisa bersamamu.

Hei, takdir memang terlalu kejam kurasa. Mimpi masa depan yang pernah kita utarakan bersama, hancur hanya karena kalimat panjang yang kau kirim saat itu. Ternyata pesan itu menjadi akhir dari kisah kita bersama. 

Hei, bagaimana kabarmu saat ini? Apakah masih sama seperti malam kau mengirim pesan itu? Menangisi takdir kita yang begitu kejam adanya. Atau malah sebaliknya? Kau sibuk mencari diriku yang lain, sebagai penggantiku? Silakan, itu semua terserah padamu. Aku di sini masih menertawakan kebodohan akan sikapku. Yang masih saja menangis jika teringat kalimat panjangmu itu. Aku di sini, masih menanti waktu dimana melihatmu menjadi biasa saja, dan mengingatmu bukan lagi luka. 


-CL-

Komentar

  1. Semoga, semoga dan semoga doaku untumu

    BalasHapus
  2. Mohon maaf, saya bacanya bener² pake hati :v

    BalasHapus
  3. Ceritanya Keren.. Teruskan Menulis dan Menginspirari Pmbaca..

    BalasHapus
  4. Jika dalam fiksi tak ada restu semoga dalam realita restu tak perlu dipertanyakan

    BalasHapus
  5. Itu, kenapa ya mbak nya ga direstuin mbak ??? 😭😭😭

    BalasHapus
  6. Daann, timbullah perspektif buruk ke cowoknya. Dasar cowo

    BalasHapus
  7. Pen tau selanjutnya. Pc gue aja ahahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16