Ikhlas Itu Berjuang
Sabina, ia adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang saat ini duduk di bangku kelas XI SMA-sederajat. Ia berasal dari dua keluarga yang berbeda agama. Keluarga dari ibunya beragama hindu, dan keluarga dari ayahnya beragama islam. Berhubung ibunya menikah dengan ayahnya yang beragama islam akhirnya ibu sabina pun juga masuk islam.
Awalnya sabina adalah gadis yang tidak memikirkan soal agama. Setiap keluar rumah belum mengenakan hijab, masih bergaul dengan lawan jenis, bahkan masih berpacaran.
Pada suatu ketika sabina ditegur oleh bu tari yang tidak lain adalah ibu kandungnya, ia berusaha menasehati sabina karena perilakunya yang kurang baik.
"Sabina..." Panggil bu tari dengan suara lembut.
Sabina tidak menghiraukan panggilan ibunya tersebut, ia justru sibuk bermain dengan gadjetnya.
"Sabina..." Panggil bu tari lagi.
Namun sabina pun masih tidak menjawab panggilan dari ibunya. Akhirnya bu tari pun menghampiri sabina dan berusaha sabar menghadapi tingkah lakunya.
"Sabina sayang" Ucap bu tari lembut.
"Iya apa.." Jawab sabina ketus.
"Sabina udah shalat ashar?" Tanya bu tari.
"Belum bu, nanti aja" Jawab sabina.
"Tidak baik menunda waktu shalat sayang."
"Bentar lagi bu.."
"Kalau sabina tidak mau shalat dulu nanti hp-nya ibu minta lo."
"Iya, iya, iya bu sabina shalat dulu. "
Karena takut hp-nya diminta oleh ibunya, sabina pun segera bergegas mengambil air wudhu untuk sholat.
Setelah selesai shalat ashar, bu tari menghampiri sabina lagi dikamarnya.
"Udah selesai sayang?" Tanya bu tari dengan senyuman.
"Udah ibu" Jawab sabina dengan balasan senyuman tipis.
"Sabina, ibu percaya kalau sabina adalah gadis baik." Ucap bu tari sambil mengelus rambut sabina.
Sabina tersenyum mendengar perkataan ibunya.
"Sabina putri ibu akan terlihat jauh lebih cantik jika mengenakan hijab."
"Gerah ibu, sabina belum terbiasa.
"Sayang, perlu kamu tau. Wanita itu adalah aurat, dan aurat itu harus ditutupi. Akan lebih baik jika rambut sabina ini ditutupi oleh balutan hijab yang indah."
"Sabina kan sudah menggunakan hijab ibu!"
"Iya. Sabina sudah menggunakan hijab, tapi memakainya pun harus sesuai syariat, tidak sembarangan sayang. Percuma kalau sabina pakai hijab tapi lekuk badan sabina masih jelas terlihat! Ingat sayang, kalau sabina tidak mau menutup aurat itu sama saja secara tidak sadar sabina telah menggiring ayah sabina ke neraka."
"Emang ibu sudah tau banyak tentang islam?" Tanya sabina.
"Ibu memang belum tau banyak tentang islam, tapi ibu akan terus berusaha menggali lebih dalam lagi tentang islam. Dan islam sendiri itu sungguh indahnya luar biasa bagi ibu, dan ibu ingin sekali sabina juga merasakan keindahan itu."
Sabina hanya terdiam.
"Sabina sayang, kita hidup didunia ini hanya sementara, abadinya kita di akhirat. Jadi kita harus mencari bekal sebanyak - banyaknya agar kita bisa bahagia kelak di akhirat. Apa sabina mau begini terus? Bagaimana kalau sabina belum sempat memperbaiki diri tapi sabina udah dijemput duluan sama Allah?"
"Iihhh... Ibu kok ngomongnya gitu sih." Ucap sabina sambil sedikit cemberut.
"He..he..he.. Ibu cuman mengingatkan sayang, mumpung ibu masih hidup. Nanti kalau ibu udah nggak ada siapa coba yang mau nasihatin sabina? Kalau ayah belum tentu kan!!!"
"Ibuuu... Jangan ngomong gitu ahh" Gumam sabina sambil memeluk ibunya.
"Ibu sangat menyayangi sabina, ibu ingin sabina berubah menjadi lebih baik lagi."
"Iya ibu..."
***
Keesokan harinya sabina pergi ke sekolah dengan perasaan yakin bahwa ia ingin berubah menjadi lebih baik. Ia sudah merubah penampilanya dengan hijab syar'i dan pakaian yang longgar. Bahkan ia juga merubah tingkah lakunya menjadi lebih lemah lembut.
"Assalamualaikum..." Ucap sabina kepada teman - temannya.
"Walaikumsalam, subhanallah cantik sekali." Kata hilda teman sekelas sabina.
"Wooww.. Rupanya ada yang ganti fashion ini." Tukas zahrah yang sebelumnya adalah teman satu geng sabina.
Sabina pun hanya tersenyum menanggapi komentar mereka.
Jam istirahat pun berdering, sabina tetap didalam kelas, tidak seperti biasanya yang langsung go ke kantin.
Ketika sedang duduk - duduk dibangkunya sambil baca - baca buku, tiba - tiba zahrah dan rawnie teman satu gengnya menghampiri sabina.
"Heh sabina." Panggil rawnie.
"Iya ada apa?" Jawab sabina.
"Hari ini kamu nggak banget deh, kaya ibu - ibu." Ucap rawnie.
"Iya tuh, kamu kenapa kok tiba - tiba berubah kaya gini?" Sahut zahrah.
"Aku hanya ingin hijrah dari keburukan menuju kebaikan." Jawab sabina dengan tersenyum.
"Ah.. Sok - sok an kamu nih" Ucap rawnie.
"Kalau begini caranya kita jadi malu main bareng sama kamu lagi karna penampilan kamu yang nggak banget itu." Kata zahrah kepada sabina.
"Iya tidak apa - apa kok jika kalian malu berteman denganku lagi, aku tidak masalah." Jawab sabina seraya membereskan buku - bukunya.
"Sudah lah jadi males bicara sama dia." Kata zahrah kepada rawnie sambil bergegas pergi meninggalkan sabina.
Setelah jam pelajaran selesai, sabina pun segera bergegas untuk pulang. Tetapi ditengah perjalan, ia dihampiri oleh davin pacarnya.
"Hay sabina.." Sapa davin.
"Hay..." Jawab sabina ketus tanpa menoleh pada davin.
"Sabina, kamu terlihat lebih cantik. " Ucap davin sambil tersenyum kepada sabina.
"Iya.." Jawab sabina.
"Saa... " Belum selesai bicara sabina memotong pembicaraan davin.
"Davin, aku mau kita putus!" Ucap sabina judes.
"Kenapa bi, ada masalah apa?"
"Aku sudah tidak menyukaimu!"
"Kamu yakin bi?" Ucap davin yang begitu kaget dengan keputusan sabina.
"Sudahlah jangan ganggu aku lagi. "
Sabina pun segera mempercepat langkah kakinya dan pergi meninggalkan davin.
"Bii...tunggu!!!" Panggil davin.
Sabina tidak menghiraukanya, ia tetap pergi meninggalkan davin. Sebenarnya ia sangat sedih dengan apa yang sudah menjadi keputusanya itu. Akan tetapi, ini demi hijrahnya. Ia ingin benar - benar fokus memperbaiki diri.
Ketika sabina masih didalam angkutan umum menuju rumahnya, tiba - tiba handpone-nya berdering. Rupanya yang menelfon nya itu adalah ayahnya.
"Hallo sabina..." Ucap ayahnya dalam telefon.
"Iya ayah, ada apa?" Jawab sabina.
"Sabina sudah pulang?"Tanya ayah dengan suara sedikit tergesa - gesa.
"Sudah ayah, ini sabina masih di perjalanan menuju arah pulang."
"Sabina cepet pulang ya, ayah tunggu dirumah."
"Iya ayah.."
Setelah ayahnya menutup telefon, sabina pun keheranan. Tidak seperti biasa ayahnya menelfon hanya meminta sabina cepat pulang.
Setelah sampai dirumah, sabina terkejut. Jantung terasa berhenti berdetak. Air matapun sudah tidak mau tertahan oleh pilunya hati ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku dan dikerumuni banyak orang yang membacakan surat yassin.
Sabina pun hanya tertunduk lesu tak berdaya didepan jenazah ibunya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ibunya bisa secepat itu meninggalkanya. Bahkan ia tidak pernah tau ibunya sakit.
"Ayah..." Ucap sabina di sela - sela isak tangisnya.
"Sabina yang sabar ya, sabina harus bisa mengiklaskan ibu." Jawab ayahnya sambil memeluk sabina untuk menenangkan hatinya."
Sabina pun hanya menangis meratapi kepergian ibunya, ia merasa bersalah karena belum sempat membahagiakan ibunya.
Setelah pemakaman ibunya selesai, sabina masih larut dalam kesedihan. Dia merasa benar - benar sendiri pada hari itu. Ayahnya sibuk dengan urusanya sendiri, ibunya sudah pergi meninggalkan nya untuk selama - lamanya, teman - teman nya menjauh, dan davin sudah tidak menghubunginya sejak ia putuskan tadi siang.
Keesokan harinya, disekolah sabina masih terpuruk dalam kesedihanya. Melihat sabina yang sangat sedih itu, hilda datang menghampirinya.
"Hay sabina..." Sapa hilda.
"Hilda" Jawab sabina dengan senyum tipis.
"Aku turut berduka cita ya atas kepergian ibumu."
"Iyaa da.."
"Sudah kamu jangan sedih terus menerus sabina, kamu harus bisa mengiklaskan ibumu. Kalau kamu sedih, ibumu pasti juga akan sedih disana." Kata hilda sambil memegang pundak sabina.
"Aku sedih karena belum bisa membahagiakan ibuku, aku belum sempat menjadi anak yang baik untuknya". Ucap sabina dengan meneteskan air mata.
"Belum terlambat untuk kamu menjadi baik bi, kamu bisa berhijrah dari sekarang, kamu bisa menjadi lebih baik lagi dari dirimu yang sebelumnya. Dan kamu harus tau bahwa sebaik - baiknya perhiasan didunia ini adalah wanita shalihah. Dan aku yakin, ibumu pasti akan bahagia sekali kalau kamu menjadi wanita yang shalihah".
"Terimakasih banyak da untuk segala saran yang kamu berikan untukku, aku akan hijrah menjadi diriku yang lebih baik lagi, aku ingin merangkul semua keluargaku meskipun kita beda agama".
"Aku selalu mendukungmu bi".
Sabina tersenyum, lalu kemudian memeluk hilda.
***
Satu bulan berlalu setelah bu tari ibunya sabina meninggal dunia, masih dalam keadaan duka ayah sabina sudah menikah dengan wanita lain yang akan menjadi ibu tiri sabina. Wanita itu bernama rini, ia adalah janda cantik yang masih mempunyai satu anak. Tetapi ibu tiri sabina tersebut tidak menyayangi sabina layaknya seorang anak. Ia hanya bersifat manis kepada sabina hanya ketika ada ayahnya saja, namun ketika ayahnya sedang pergi bekerja keluar kota bu rini bersifat semena - mena kepada sabina, ia memperlakukan sabina seperti seorang pembantu. Tetapi meskipun sabina diperlakukan kurang baik oleh ibu tirinya, ia tidak pernah membencinya. Sabina terus mengingatkan bu rini tentang kebaikan. Sabina tidak pernah lelah mengajak bu rini hijrah dijalan Allah. Walaupun ajakan sabina tidak pernah digugu oleh bu rini, ia tidak pernah putus asa. Ia berkeinginan kuat bisa merubah bu rini menjadi lebih baik.
Namun pernikahan bu rini dan ayah sabina tersebut tidak berlangsung lama, setelah ayah sabina mengetahui semua sifat buruk bu rini, ia langsung menggugat cerai bu rini. Ia tidak rela jika anak kandungnya diperlakukan tidak baik. Dan setelah ayah sabina berpisah dengan bu rini, ia selalu sibuk dengan pekerjaanya dan tidak jarang pula selalu pergi keluar kota. Oleh karena itu, sabina memutuskan untuk tinggal dengan neneknya tetapi nenek sabina tersebut beragam hindu. Alasan sabina memilih tinggal dengan neneknya karena hanya dialah satu satunya orang yang mengerti sabina, hanya beliau yang bisa menerima sabina tanpa membedakan agama yang dianut oleh sabina. Berbeda dengan anggota keluarga sabina lainya, yang mayoritas menganut agama hindu selalu mengucilkan sabina. Mereka menganggap bahwa islam itu tidak baik, mereka selalu mencemooh sabina ketika ia menggunakan jilbab lebar dan baju yang ubras ubrus. Bahkan tidak jarang pula mereka menyuruh sabina untuk menggunakan pakaian seperti celana jeans, baju yang ketat, dan bahkan untuk tidak menggunakan hijab. Namun sabina secara tegas menolak semua itu. Ia tidak peduli jika harus dikucilkan oleh anggota keluarganya sendiri, karna ia yakin bahwa yang ia lakukan tersebut adalah yang terbaik dan sesuai dengan syariat islam. Ia berusaha kuat untuk meneguhkan hati ketika banyak orang yang mengucilkan nya bahkan keluarga nya sendiri sekalipun.
Suatu ketika nenek sabina jatuh sakit. Ia yang sudah tua renta itu hanya bisa berbaring diatas tempat tidurnya. Sabina dengan iklas dan penuh rasa sabar merawat neneknya tersebut, bahkan ia rela untuk tidak masuk sekolah demi menjaga neneknya dirumah. Mendengar bahwa ibunya sedang sakit,tante sabina beserta suami dan anaknya datang kerumah untuk menjenguk si nenek.
" Tok...tok...tokk.."
Mendengar ada seseorang yang sedang mengetuk pintu, sabina yang sedang menemani neneknya segera beranjak membukakan pintu.
"Wahhh tante, rafika, om.. Silahkan masuk" sapa sabina dengan tersenyum.
"Bagaimana keadaan ibu" tanya tante devi.
"Nenek sudah agak membaik tan, hanya perlu banyak istirahat" jawab sabina.
"Pasti nenek sakit gara-gara kak sabina yaa, yang nggak bisa ngurus nenek" timpal rafika dengan nada suara tinggi.
"Semua itu terjadi karena kehendak Allah, nenek sakit itu juga Allah yang berkehendak" ucap sabina dengan lembut.
"Aahh...ngomong apaan sih kamu, mendingan cepet sana beresin kamar kami" ucap tante devi.
"Tante mau menginap" tanya sabina.
"Iya, kenapa kamu tidak suka? Kita akan menginap disini sampe nenek kamu bener - bener sembuh dari sakitnya.
"Bukan begitu tan, sabina seneng kok kalau tante, om dan rafika nginep disini. Kan jadi rame"
"Bagus deh kalau begitu, tapi inget ya selama kita disini kamu harus menyiapkan semua kebutuhan kita"
"Insya Allah tan"
"Yaudah sana cepet siapin kamar buat kita, sama siapin makan juga"
"Iya tan"
Sabina pun segera beres - beres kamar yang akan digunakan untuk tante devi dan om heri menginap dirumah neneknya. Setelah selesai, sabina segera memasak dan menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan oleh rafika.
"Mau kemana kamu??" tanya tante devi kepada sabina dengan suara tinggi.
"Mau ke mesjid tan, mau solat magrib berjama'ah"jawab sabina.
"Enggak, itu masih banyak piring kotor yang belum kamu cuci" ucap tante devi sambil menunjuk piring - piring kotor di meja makan.
"Iya tante, nanti setelah selesai solat magrib pasti bakal sabina cuci piring - piringnya".
"Tante bilang sekarang ya sekarang"
"Tante sabina mohon, meskipun kita beda kepercayaan sabina mohon tante menghargai sabina seperti sabina menghargai tante. Kita keluarga tante walaupun kita beda kita harus saling toleransi. Dan tante juga jangan sekali kali melarang sabina untuk meninggalkan kewajiban sabina sebagai seorang muslim".
"Prakkk" tante devi menampar pipi sabina.
"Kamu berani melawan tante" ucap tante devi marah.
"Bukan maksud untuk melawan tante" gumam sabina dengan meneteskan air matanya.
"Dasar anak nggak tau diri" ucap tante devi seraya meninggalkan sabina.
Sabina hanya bisa meneteskan air matanya. Dan ia segera bergegas untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan solat magrib berjamaah.
Setelah pulang dari masjid, sabina sangat terkejut ketika memasuki kamarnya ia mendapati semua baju gamis - gamisnya dan jilbabnya berubah menjadi baju seksi yang digunting - gunting. Sontak air mata sabina menetes tak tertahan, badan sabina terasa lemas seketika. Sabina yakin, bahwa ini semua ulah tante devi. Sabina tidak habis fikir mengapa tante devi setega ini kepadanya. Padahal sabina adalah keponakan kandung dari ayah sabina yang merupakan kakak kandung dari tante devi.
Tidak tau lagi mau berbuat apa, sabina seketika teringat oleh hilda. Akan lebih baik mungkin jika ia mencurahkan sedikit isi hatinya kepada hilda, sahabatnya. Dan sabina pun mencoba menghubungi hilda.
Setelah menunggu beberapa saat, hilda menjawab telvon dari sabina.
"Assalamualaikum... "Ucap Sabina di sela - sela isak tangisnya.
"Wallaikumsalam bi, ada apa? Tumben nelvon" jawab hilda.
Sabina terdiam.
"Bi kamu kenapa, kamu nangis?". Hilda mendengar isakan tangis di seberang sana.
"Da, apakah aku salah menjadi seorang mulim?". Tanya sabina.
"Tidak bi, tidak ada yang salah menjadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim adalah nikmat yang paling besar yang diberikan oleh Allah Swt. Jadi, kamu jangan pernah mengeluh apalagi menyesal menjadi seorang muslim. Kamu harus bersyukur!!" jawab hilda
"Aku tidak pernah menyesal sama sekali da, aku justru sangat - sangat bersyukur karna masih diberi nikmat islam. Hanya saja mengapa semua keluargaku tidak menghargaiku da, mengapa mereka selalu memaksaku untuk ikut ke agama mereka. Kamu tau kan da bagaimana hukumnya jika seorang muslim pindah ke agama lain (murtad) bisa dikatakan itu adalah dosa besar, dan aku tidak bisa melakukan itu".
"Iya aku tau bagaimana perasaanmu saat ini bi, tapi kamu harus tetap bersabar. Jangan sekali kali berfikir bahwa sabar itu ada batasnya. Coba renungkan apa guna kesabaran jika masih berbatas? Semua yang terjadi itu atas kehendak Allah bi dan dibalik itu semua pasti ada hikmahnya. Mungkin saat ini Allah sedang mengujimu dan kamu harus bersyukur karna itu pertanda bahwa Allah masing menyayangimu".
"Kamu sangat beruntung da, kamu dan keluargamu sama - sama beragama islam. Bisa hijrah bareng, solat bareng berjama'ah, ngaji bareng, apapun bisa dilakukan bareng - bareng. Sedangkan aku, aku hanya diberi kesempatam sebentar melakukan itu semua dengan kedua orangtuaku. Sekarang ibuku sudah meninggal dan ayahku sudah sibuk dengan pekerjaanya bahkan seperti sudah tidak memperdulikan aku lagi. Dan sekarang aku sendirian da, aku berjuang sendiri". Ucap sabina dengan suara terisak - isak.
"Allah itu punya rencana masing - masing buat hambanya bi, jadi jangan khawatir dengan kehidupan ini yang penuh dengan tantangan. Percaya janji Allah, semua akan indah pada waktunya bi. Dan ingat, kamu tidak sendirian!! Ada aku yang selalu mendukungmu, ada aku yang selalu bersedia kapanpun kamu butuh. Yang kuharapkan tetap jadi sabina yang ku kenal, jangan pernah goyah meskipun besarnya badai menerpa. Tetap semangat dan istiqomah hijrah dijalan Allah Swt".
"Terimakasih ya da, kamu sudah membuat perasaan ku lebih tenang, aku sangat bersyukur Allah mengirimkan kamu sebagai sahabatku. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki da yang selalu ada disaat aku senang maupun disaat aku susah. Terimakasih banyak da".
"Iya sama - sama bi, yaudah gih sana cepet tidur sudah malam besok sekolah".
"Sepertinya besok aku belum bisa berangkat sekolah da".
"Loh kenapa lagi bii?" tanya hilda keheranan.
"Semua bajuku digunting - gunting sama tanteku da, semuanya rusak. Dia tidak suka jika aku memakai baju yang longgar". Jawab sabina parau.
"Subbhanallah...tega sekali tantemu bi. Tapi tak apa iklaskan saja. Besok tetep berangkat sekolah ya pakai bajuku dulu kebetulan aku punya lebih. Dan untuk baju gamisnya ini aku juga ada banyak dirumah kamu bisa pake".
"Waahhh terimakasih banyak da" Kata sabina semringah.
"Iya sama - sama bi"
"Yaudah aku tutup dulu ya da sudah malam, wassalamualaikum".
"Walaikumsallam".
Sabina pun menutup telvon nya. Ia merasa sangat lega setelah curhat dengan hilda. Setelah itu sabina segera tidur karena waktunya sudah malam.
***
Keesokan harinya sabina bersiap siap untuk pergi kesekolah. Ia agak tergesa - gesa karna dirumah dia harus memasak, cuci piring dan segala macem. waktunya pun sudah menunjukkan pukul 07.13, dan ketika ia sampai diteras sekolah ia bejalan dengan buru - buru hingga ada orang yang menabraknya sampai buku yang dipegangnya jatuh berceceran di lantai. Dan ternyata yang menabrak sabina itu adalah zahrah dan rawnie.
"Uppss sorry bu ustadzah". Ucap rawnie dengan tertawa meledek.
"Makanya kalo jalan itu matanya dipake, atau karna kegedean kali ya jilbabnya jadi sampe gk liat ada orang di depan". Timpal zahrah.
Sabina pun hanya terdiam menyikapi zahrah dan rawnie, ia pun segera membereskan buku - bukunya karena sebentar lagi bel masuk berbunyi. Dan ketika sabina sedang membereskan buku - bukunya tersebut zahrah dan rawnie menendang buku - bukunya sabina hingga berantakan lebih jauh. Dan setelah itu mereka pergi meninggalkan sabina.
Bel masuk pun berbunyi, untung saja sabina tepat waktu masuk kelas. Dan tidak lama kemudian pak rudi guru mata pelajaran biologi datang memasuki kelas dan segera memulai pelajaran.
"Selamat pagi anak - anak". Sapa pak rudi kepada murid - muridnya dengan senyuman andalan.
"Selamat pagi pak". Jawab semua murid serentak.
"Baik sebelum pelajaran dimulai, bapak mau absen terlebih dahulu. Siapa yang tidak berangkat?". Tanya pak rudi
"Berangkat semua pak". Jawab salah satu murid di bangku paling depan.
"Oh ya sabina mengapa sudah tiga hari tidak berangkat sekolah tanpa keterangan?" tanya pak rudi kepada sabina dengan wajah sedikit sangar.
"Nenek saya sakit pak tidak ada yang jagain dirumah, jadi saya yang harus jagain nenek saya, dan saya tidak sempat untuk membuat surat izin pak. Jawab sabina lemah lembut.
"Alasan pak". Timpal zahrah
"Sudah - sudah jangan ribut, sekarang keluarkan tugas kalian mau bapak nilai".
Setelah semua murid - murid sudah mengeluarkan tugas, sabina pun kebingungan mencari tugasnya. Perasaan tadi sudah ia bawa tetapi mengapa sekarang tidak ada. Dan sabina pun mendapat teguran dari pak rudi.
"Sabina mana tugasmu?" tanya pak rudi tegas.
"Tadi sudah saya bawa pak, tapi nggak tau kenapa sekarang tidak ada". Jawab sabina kebingungan.
"Kamu tidak mengerjakan tugas!!" bentak pak rudi.
"Saya sudah mengerjakan pak, tapi entah mengapa sekarang tidak ada. Atau mungkin tugas saya jatuh pak". Jawab sabina berusahatetap tenang.
"Alah alasan dia pak, sudah pasti dia tidak mengerjakan. Liat aja pak tampangnya aja yang sok alim tapi kelakuan nggak bener". Ucap rawnie sinis
"Sabina kamu bapak hukum! Sekarang kamu keluar janganikuti pelajaran bapak" kata pak rudi dengan menunjukkan tanganya kearah pintu.
"Iya pak" Jawab sabina pelan.
Setelah sabina akan beranjak dari duduknya. Tiba - tiba ada suara yang mengetuk pintu.
"Assalamualaikum".....
"Walaikumsalam, ada perlu apa davin??" tanya pak rudi.
"Ini pak tadi saya menemukan buku tugas sabina yang jatuh diteras depan dan sekarang saya mau mengembalikanya". Jawab davin
"Oh iya davin".
"Iya pak, permisi".
Davin pun keluar setelah mengembalikan buku sabina.
"Sabina kamu tidak jadi bapak hukum". Ucap pak rudi
"Trimakasih pak".
Sabina pun tersenyum lega.
Setelah jam istirahat berbunyi, sabina tidak langsung pergi ke kantin. Ia pergi ke kelas hilda terlebih dahulu. Sesampainya di kelas hilda, sabina tidak menemukan hilda sama sekali. Sabina pun bertanya kepada salah satu siswi dikelas hilda.
"Assalamualikum, saya mau tanya nih, hilda sudah pergi ke kantin ya?". Tanya sabina
"Oohh hilda... Dia tidak masuk hari ini".
"Loh kenapa?"
"Tidak tau juga, soalnya tidak ada surat izin".
"Oh..yasudah terimakasih ya atas infonya".
"Iya".
Sabina pun pergi meninggalkan kelas hilda. Ia merasa sedih karna hilda tidak masuk, padahal semalam di telvon hilda menyuruh sabina untuk masuk sekolah. Tapi mengapa sekarang gantian hilda yang tidak masuk tanpa keterangan.
"Hilda kemana ya? Kok tumben nggak masuk sekolah. Mana nggak ada keterangan pula, terus dia juga nggak ngabarin aku gitu". Gumam sabina dalam hati
***
Setelah jam pelajaran selesai, sabina buru - buru untuk segera pulang karena sudah di telvon oleh tante devi.
Setelah sampai dirumah, sabina sudah melihat rafika berdiri di depan pintu.
"Heh...cepet sini" teriak rafika.
Sabina pun segera menghampiri rafika.
"Ada apa rafika?" Tanya sabina.
"Hari ini ada acara di pura, kamu harus ikut! Cepet siap - siap".
"Enggak deh, aku di rumah aja"
"Ini perintah dari mama"
"Maaf banget rafika aku nggak bisa ikut"
"Kamu berani melawan mama". Teriak rafika dengan mata melotot
"Buka seperti itu". Jawab sabina pelan
"Lalu apa?"
"Agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku, jadi please rafika jangan paksa aku untuk ikut agamamu"
Rafika geram dengan ucapan sabina, ia kemudian menarik jilbab sabina dengan sangat kencang sampai mau terlepas. Untuk melakukan pembelaan, sabina mendorong rafika hingga jatuh tersungkur di lantai.
Sontak rafika marah, karena akibat dorongan sabina tersebut kakinya luka - luka. Dan juga di janggut rafika memar - memar. Melihat rafika yang masih jatuh tersungkur, sabina mengulurkan tanganya untuk membantu rafika bangun. Sabina juga meminta maaf bahwa itu terjadi karna reflek dan ketidaksengajaan sabina. Namun, rafika tidak menerima uluran tangan sabina, justru ia berteriak memanggil mamanya untuk mengadukan perbuatan sabina tersebut.
"Maaaaaaa..... Mamaaaaaaa" Teriak rafika kencang.
Dan tidak lama kemudian mama rafika datang.
"Ada apa sih kok ribut - ribut rafika?"
"Liat ini ma perbuatan sabina" Ucap rafika sambil memberitahukan lukanya kepada mamanya.
"Yaampunn apa yang kamu lakukan sabina" bentak tante devi dan menghampiri sabina.
"Maaf tante, sabina tidak sengaja. Sabina hanya melakukan pembelaan".
"Bohong ma, dia sengaja". Timpal rafika
"Prraakkkkkkkk". Tante devi menampar sabina
Sabina hanya diam menunduk, dia tidak mau jika harus melawan tantenya. Dan kemudian nenek sabina datang menghampiri mereka.
"Ada apa ini?" tanya sang nenek.
"Liat itu bu perbuatan sabina kepada rafika, sudah keterlaluan sekali bukan?" Kata tante devi sambil sedikit melirik sabina.
"Benar itu sabina?" Tanya nenek kepada sabina.
"Iya nek, tapi sabina tidak sengaja". Jawab sabina dengan menahan tangis
"Apa yang membuat mu melakukan itu, dia adalah adikmu sabina. Tidak sepantasnya kamu berbuat seperti itu".
"Sabina hanya membela diri sabina nek".
"Membela diri karna apa?"
"Tidak nek! Rafika tadi hanya mengajak kak sabina untuk ikut sembahyang di pura tapi dia tidak mau. Dia malah marah kepada rafika dan alhasil rafika didorong sama kak sabina padahal rafika hanya mengajak baik - baik nek". Sahut rafika
"Sabina lain kali jangan seperti itu, itu perbuatan yang tidak baik. Sesama saudara itu harus saling menyayangi". Ucap nenek
"Ooohhh apa jangan - jangan di dalam islam tidak diajarkan hal seperti itu ya". Timpal tante devi
"Cukup tante, jangan bicara seperti itu kalau tante tidak tau apa - apa. Bukankah sesama manusia kita harus saling menghargai, sekalipun kita beda kepercayaan. Lalu tante!!"
"Apa kamu bilang, kamu berani ngatain tante?" Tante devi marah dan menarik jilbab sabina.
"Sudah - sudah dev, jangan ribut - ribut disini malu diliat tetangga. Sabina juga jangan semakin memperkeruh suasana. Lebih baik kita siap - siap, waktunya sudah semakin mepet ini". Tukas nenek
"Sabina tidak mau ikut nek" Ucap sabina kepada nenek.
"Yasudah kalau sabina tidak mau ikut dirumah saja"
"Terimakasih nek" Sabina tersenyum.
Nenek, tante devi, dan rafika pun bersiap - siap untuk segera pergi ke pura. Ketika mereka akan pergi, tante devi dan rafika menatap tajam sabina seperti ada sesuatu.
Sabina pun sedikit agak lega, karena tante devi dan rafika tidak ada dirumah. Sabina bebas untuk beribadah seperti solat wajib, solat berjama'ah di masjid, tilawah, dll. Sabina merasa senang, ia bisa melakukan ibadah dengan tenang tanpa gangguan tante devi dan rafika.
***
Sudah hampir 2 minggu hilda tidak masuk sekolah, sabina merasa heran. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan hilda. Sabina sangat merindukan hilda, ia ingin bercerita banyak dengan hilda. Namun hilda seperti hilang di telan bumi. Sabina mencoba menghubungi hilda lewat telvon, tetapi nomor hilda tidak bisa dihubungi. Sabina pun memutuskan untuk bertanya kepada guru BK, namun jawaban guru BK hilda tidak ada keterangan sama sekali. Hati sabina sedikit mengganjal bahwasanya jika hilda tidak masuk sekolah tanpa ada keterangan sama sekali selama sudah hampir 2 minggu, pasti guru BK sudah bertindak untuk memproses hilda seperti siswa - siswi lainya yang jarang masuk sekolah tanpa keterangan. Tetapi guru BK seperti santai - santai saja, sabina merasa ada yang disembunyikan.
Karena rasa penasaran yang begitu besar, setelah jam pelajaran selesai sabina tidak langsung pulang. Ia berniat untuk pergi kerumah hilda. Awalnya sabina tidak mengetahui dimana rumah hilda akan tetapi dia berusaha mencari tau lewat teman - teman sekelas hilda, dan akhirnya sabina dapat alamat rumah hilda. Sabina pun segera menuju rumah hilda menggunakan ojek yang biasa manggal di pojok sekolah. Sabina sudah tau bahwa jarak rumah hilda dengan sekolah itu lumayan jauh. Tapi sabina tidak memperdulikan hal itu, dia tetap nekat pergi kerumah hilda untuk memastikan bahwa sahabatnya itu baik - baik saja.
Setelah perjalanan sudah hampir satu jam, sabina sudah sampai diperumahan tempat tinggal hilda. Sabina sedikit heran, karena ia sedang berada di kawasan kompleks perumahan elit, sabina takut jika ia salah alamat. Namun sabina tetap menuju alamat tersebut. Dan sesampainya disana setelah sabina turun dari ojek, sabina tercengang melihat rumah hilda yang begitu megah, bangunanya yang begitu tinggi nan elok, dihalaman rumah nya terdapat taman yang begitu indah dan mobil - mobil yang berjajar rapi serta para satpam yang bertugas dengan tertib. Sabina heran, selama ini ia mengenal hilda sebagai perempuan yang sederhana, ramah, dan apa adanya. Bahkan sabina mengira kalau hilda bukanlah orang yang berasal dari kalangan berada jika dilihat dari pakaian yang dikenakan hilda setiap harinya, dan juga setiap berangkat sekolah hilda hanya naik angkot. Padahal dirumahnya banyak mobil - mobil mewah.
Untuk memastikan itu benar rumah hilda atau bukan, sabina memencet tombol gerbang, dan tidak lama kemudian seorang satpam datang membukakan pintu gerbang tersebut.
"Permisi pak..." Sabina tersenyum menyapa pak satpam.
"Iya, ada perlu apa dek" Tanya pak satpam ramah.
"Begini pak saya mau tanya, apa benar ini rumahnya hilda".
"Oohh...iya benar"
"Bisa bertemu dengan hilda pak". Tanya sabina
"Oh..maaf dek, non hildanya tidak ada dirumah. Dia sedang berlibur keluar kota besama orang tuanya".
"Kok dia tidak izin ke pihak sekolah ya pak,udah hampir 2 minggu hilda nggak masuk. Dan heranya lagi setiap saya telvon tidak pernah nyambung".
"Kurang tau dek. Yasudah saya tinggal dulu ya, saya lagi banyak kerjaan". Pak satpam pergi meninggalkan sabina.
Sabina pun kecewa karena tidak bisa bertemu dengan hilda, dan akhirnya sabina pulang. Sabina gelisah karna jalanan sore itu macet sekali, sabina akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menunggu jalanan sepi. Ketika sabina sedang duduk di atas trotoar, ia mendengar ada suara tausiah di dalam masjid di depan ia istirahat itu. Sabina kemudian masuk ke dalam masjid tersebut dan bergabung dengan jama'ah ibu ibu yang sedang mengikuti pengajian disitu.
Satu jam berlalu, pengajian pun selesai. Para jama'ah mulai meninggalkan masjid itu. Ketika sabina menoleh ke arah jalanan, terlihat jalanan masih sangat macet ditambah dengan hujan yang mengguyur jalanan tersebut. Sabina pun akhirnya tetap berada di masjid itu sembari menunggu jalanan longgar dan hujan reda.
"Assalamualaikum". Ucap seorang perempuan menyapa sabina
"Walaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh". Sabina menoleh, dan ia tekejut melihat perempuan yang menyapa dirinya itu adalah ustadzah yang tadi menyampaikan tausiah di masjid.
"Sedang apa disini nak?" tanya ustadzah itu kepada sabina.
"Ohhh... Jadi saya tadi kebetulan mendengar ustadzah ceramah, dan akhirnya saya datang kesini sembari istirahat menunggu jalanan sepi dan hujan reda" jawab sabina lembut.
"Memang mau kemana?"
"Mau pulang ustadzah, tadi habis dari rumah teman".
"Ohh...gitu"
"Iya ustadzah"
"Kamu namanya siapa?" tanya ustadzah sambil merangkul bahu sabina.
"Nama saya sabina"
"Wahh, nama yang bagus"
Sabina tersenyum.
"Ustadzah" panggil sabina lembut.
"Iya sabina" jawab ustadzah tersenyum kepada sabina.
"Sabina ingin seperti ustadzah"
Ustadzah tersenyum. "Gampang buat sabina bisa seperti ustadzah!"
"Sabina hampir menyerah" gumam sabina lalu menundukkan kepalanya.
"Sabina kenapa?" tanya ustadzah lembut.
"Sabina sedih ustadzah, sabina ingin hijrah dijalan Allah. Tapi apalah daya, keluarga sabina tidak suka jika sabina melakukan itu, sabina dipaksa terus menerus untuk ikut ke agama mereka" sabina meneteskam air matanya.
"Lalu sabina menyerah dan mau meninggalkan Islam?"
"Sabina tidak ingin meninggalkan islam, tapi sabina sudah tidak tahu mau bagaimana lagi ustadzah, sabina ingin berhubungan baik dengan keluarga sabina sendiri. Dan mungkin itu jalan satu - satunya".
"Dengar sabina, qul'atiiullahhawarrosuula fa'intawallau fa'innallahhal yuhibbul kaafirin. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasulnya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang kafir".
Sabina semakin terisak tangisnya.
"Sabina sayang," ustadzah menepuk kedua bahu sabina. "Kalau sabina ingin berhubungan baik dengan keluarga sabina, bukan begitu caranya. Sabina bisa menasehati pelan - pelan keluarga sabina, jangan sekali - kali membantah. Sabina harus sabar kalau mereka belum menggubris sabina. Semuanya itu butuh proses sayang! Ustadzah tau bahwa sabina adalah gadis baik. Sabina juga tau kan bagaimana jika seorang muslim berpaling meninggalkan Islam. Alangkah disayangkan sekali kalau sabina sampai melakukan itu, pesan ustadzah sabina jangan sampai seperti itu, sabina tidak boleh menyerah. Ini adalah bagian dari rencana Allah dan ustadzah yakin sabina bisa melewati ini".
"Trimakasih ustadzah" sabina tersenyum di sela - sela isak tangisnya.
"Sudah sabina jangan menangis"
"Boleh sabina memeluk ustadzah?"
"Silahkan sayang!"
Sabina pun langsung memeluk ustadzah, ia membayangkan bahwa sosok yang ia peluk itu adalah alm. Ibunya, sabina menangis di pelukan ustadzah.
"Sabina rindu ibu" desis sabina.
"Ibunya sabina kemana?" tanya ustadzah.
"Ibu sudah meninggal"
"Doakan yang terbaik untuk ibu sabina, ibu sabina pasti bangga memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan baik seperti sabina".
"Iya ustadzah" sabina memeluk erat ustadzah.
Tidak lama kemudian, ada sebuah mobil mewah yang berhenti di depan masjid. Pengendaranya adalah sosok laki - laki yang gagah dan berwibawa. Dan rupanya itu adalah suami ustadzah yang sengaja menjemput ustadzah.
Kemudian ustadzah pamit untuk meninggalkan sabina. Hari sudah semakin sore, sabina juga memutuskan untuk segera pulang. Ia naik ojek online yang sudah dipesannya 10 menit yang lalu. Dengan dibasahi rintik hujan, sabina merasa bahagia bertemu dengan ustadzah, ia seperti mendapat kekuatan untuk bangkit. Ia akan selalu ingat apa yang dikatakan oleh ustadzah.
***
Ketika sabina sudah sampai dirumah, ia mendapati tante devi duduk di kursi ruang tamu dengan raut muka yang tidak enak dilihat.
"Permisi tante" sapa sabina.
"Dari mana aja kamu?" bentak tante devi. "Jam segini baru pulang!"
"Tadi mampir kerumah temen tan, terus jalanan macet dan hujan deras jadi baru pulang".
"Alah...alesan aja kamu"
Sabina hanya terdiam.
"Sana cepet masuk, ganti baju. Terus beres - beres rumah jangan lupa juga masak buat tante" ucap tante devi dengan nada keras.
"Iya tante".
Sabina pun segera mandi kemudian ganti baju dan melaksanakan sholat magrib. Kemudian setelah selesai ia segera beres - beres rumah dan memasak untuk nenek, tante devi dan rafika. Sabina mengerjakan semuanya sendirian, tidak ada yang bersedia untuk membantunya. Biasanya sabina dibantu oleh neneknya, tetapi sekarang nenek sabina sedang sakit - sakitan.
Waktu menunjukkan pukul 21.15, sabina sudah merasa sangat mengantuk. Sabina kemudian membereskan tempat tidurnya lalu merebahkan badanya di atas kasurnya, ia mengingat - ingat kembali kejadian hari ini dari pergi kerumah hilda hingga bertemu dengan ustadzah. Terbesit kenangan tentang hilda di hati sabina, ia merasa sangat merindukan hilda. Sebenarnya sabina ingin bercerita banyak mengenai keluh kesah hidupnya kepada hilda. Namun hilda seperti hilang ditelan bumi.
Ketika mata sabina akan terpejam, tiba - tiba terdengar suara teriakan tante devi. Sontak sabina kaget, kemudian ia langsung bergegas untuk pergi menghampiri suara tante devi tersebut. Ternyata nenek sabina pingsan akibat terjatuh dari tempat tidurnya akibat akan mengambil segelas air minum di meja. Sabina dan tante devi merasa sangat khawatir. Kemudian tante devi dan sabina membawa nenek kerumah sakit.
Nenek sabina mendapat perawatan khusus dirumah sakit tersebut, nenek sabina mengalami stroke ringan. Oleh karena itu, nenek sabina harus dirawat beberapa hari dirumah sakit sampai benar - benar pulih. Tante devi pamit untuk pulang karena rafika dirumah sendirian, dan tante devi menyuruh sabina untuk menjaga neneknya dirumah sakit.
***
Pagi - pagi sekali datang seorang suster ke kamar nenek sabina untuk memberitahu sabina agar segera mengambil resep obat di apotik rumah sakit. Sabina pun kemudian pergi ke apotik tersebut. Setelah selesai mengambil obat dan berjalan menuju kamar neneknya, ia tidak sengaja melihat satu ruangan melalui jendela kaca yang hordengnya terbuka. Sabina seperti mengenal sosok yang ada di dalam kamar itu. Lalu sabina mengampiri kamar tersebut, ia melihat seorang ayah dan ibu yang sedang duduk dikursi tunggu didepan kamar itu dengan ekspresi wajah yang sangat sedih, bahkan seorang ibu itu menangis terisak - isak. Sabina tidak menghiraukanya, ia mengintip kamar itu melalui jendela, dan rupanya itu adalah hilda. Sahabatnya. Sabina merasa terpukul dan langsung meneteskan air matanya. Ia tak kuasa melihat keadaan hilda yang terbaring lemah tak berdaya tidak seperti biasanya dengan berbagai selang dan kabel infus.
Sabina jatuh lesu di depan kamar rawat hilda, ia tidak kuasa menahan tangisnya. Melihat sabina yang menangis, ayah dan ibu hilda menghampiri sabina.
"Kamu siapa? Mengapa menangis?" tanya ayah hilda kepada sabina sembari mengusap air matanya.
Ibu hilda masih dalam keadaan menangis.
Sabina berdiri "saya sahabat hilda om" jawab sabina di sela - sela isak tangisnya.
"Kamu sabina?" timpal ibu hilda.
"Ibu tau nama saya?" sabina heran dan bingung mengapa ibu hilda bisa mengetahui namanya.
Ibu hilda tiba - tiba memeluk sabina dengan suara tangisan yang semakin menyayat.
"Hilda sering cerita tentang kamu nak" ucap ibu hilda lirih.
Sabina kembali meneteskan air matanya.
Setelah itu, sabina kemudian mencoba untuk menenangkan ayah dan ibu hilda. Sabina juga bertanya kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar jawaban ibu hilda, sabina terkejut. Ia baru mengetahui bahwa selama ini hilda mengidap penyakit leukimia, dan sudah stadium akhir.
Hari itu sabina melihat hilda tidak seperti biasanya. Bukan hilda yang selalu semangat, selalu ceria, selalu memotivasi sabina kapan pun. Hari itu hilda lemah tak berdaya, wajahnya yang pucat dengan hijabnya yang berantakan. Melihat keadaan hilda, sabina seperti tak kuasa menahan sedihnya.
Setelah dokter keluar dari kamar hilda, ia mengizinkan mereka untuk masuk melihat hilda. Tetapi mereka harus menggunakan baju khusus untuk menjenguk hilda. Dan setelah berada didalam, sabina hanya bisa menangis meratapi keadaan. Ia melihat kedua orang tua hilda yang sangat terpuruk. Sabina pun meraih satu tangan hilda lalu menempelkan ke pipinya. Sabina sangat berharap hilda bisa sembuh dari sakitnya dan bisa hijrah bareng lagi dengan sabina.
"Hilda, sahabatku. Kamu harus sembuh" ucap sabina.
Tidak disangka - sangka, ternyata itu adalah hari terakhir hilda bernafas. Semua orang yang berada diruangan itu menangis, terutama ibu hilda yang langsung pingsan mengetahui bahwa anaknya sudah meninggal. Sabina pun merasa sebagian dari dirinya hilang. Hilda adalah orang yang sangat berarti bagi sabina, dan sekarang hilda telah pergi.
Sabina kemudian pergi ke kamar neneknya, lalu meminta izin untuk pamit ikut takziah kerumah hilda. Sabina meminta salah satu suster untuk menjaga neneknya.
***
Ketika pemakaman selesai, duka masih teramat menyayat dihati sabina, ia begitu merasa kehilangan sosok yang sangat berarti dihidupnya. Ketika sabina masih duduk disamping kuburan hilda, ibu hilda menghampiri sabina dan memberikan sepucuk surat terakhir yang ditulis oleh hilda untuk sabina. Sabina meraih surat tersebut lalu memeluk ibu hilda.
"Hilda adalah sahabat terbaik yang pernah ada" ucap sabina.
Ibu hilda hanya menangis.
Setelah pulang dari pemakaman hilda, dijalan sabina bertemu dengan ustadzah yang waktu itu mengisi ceramah di masjid. Rupanya ustadzah itu juga menghadiri pemakaman hilda.
"Assalamualaikum" sapa sabina.
"Walaikumsalam" Ustadzah tersenyum "wahh, ketemu lagi dengan sabina".
"Ustadzah disini juga?" tanya sabina.
"Iya ustadzah sedang mengantar anak ustadzah untuk menghadiri pemakaman temanya".
"Dimana anak ustadzah?"
"Itu dia... " ustadzah itu menunjuk seorang laki - laki yang akan menghampiri mereka.
"Davin" ucap sabina.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya ustadzah.
"Iya" jawab sabina singkat. Lalu menundukkan kepalanya.
"Teman sekolah ma" timpal davin.
"Wah.. Kebetulan sekali" ucap ustadzah semringah.
"Ustadzah, sabina pamit duluan ya.. Sabina buru - buru, Assalamualaikum" sabina bergegas pergi meninggalkan ustadzah dan davin.
Sabina tidak menyangka jika sebenarnya davin adalah anak ustadzah.
"Memang dunia ini selebar daun kelor" ucap sabina dalam hati.
Kemudian sabina pergi kerumah sakit, sesampainya disana ia mendapati neneknya yang sedang tertidur pulas. Sabina pun merebahkan dirinya diatas kursi yang ada di dalam ruangan neneknya tersebut. Tiba - tiba ia teringat oleh hilda, lalu ia membuka sepucuk surat yang diberikan ibu hilda kepada sabina tadi siang.
Sabina, sahabatku.
Maafkan aku yang sudah tidak bisa menemani proses hijrahmu, bukan aku tak mau. Tapi waktu yang sudah membawaku pergi. Teruskan proses hijrahmu, lanjutkan jihadmu di jalan Allah Swt. Aku percaya kamu gadis tangguh yang bisa melewati ini semua. Aku yakin, bahwa suatu hari kebahagiaan akan berpihak kepadamu. Jangan pernah takut membela kebenaran. Jangan pernah berniat untuk menyerah, kamu pasti bisa!!
Tetaplah menjadi sahabatku, meskipun aku sudah tidak ada lagi dibumi.
Hilda.
Sabina menangis setelah membaca surat dari hilda, ia masih belum percaya bahwa hilda sahabatnya pergi secepat itu, tetapi sabina berusaha untuk mengiklaskan hilda. Dia berfikir bahwa Allah lebih menyayangi hilda. Sabina bertekad bahwa ia tidak akan berpaling sedikitpun dari Agamanya, ia akan tetap berusaha sebisa mungkin untuk merangkul keluarganya dengan menasehatinya pelan - pelan. Sabina berharap suatu hari lagi Allah Swt. Akan membuka hati keluarga sabina.
***
Setelah lewat 1 minggu kepergian hilda, duka masih menyelimuti hati sabina. Namun ia tidak akan terus meratapi kesedihanya itu, sabina yakin hilda mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Hilda adalah orang yang sangat baik, dengan begitu sabina terus mendo'akan hilda.
"Semoga suatu sa'at kita bisa reuni di surga, hilda" gumam sabina, sambil melihat ke arah luar jendela kamarnya.
Selain memikirkan kepergian hilda, sabina juga memikirkan kesehatan neneknya yang semakin hari semakin lemah tak berdaya di atas kasur lusuhnya. Karena keuangan sabina yang semakin menipis, ia hanya bisa merawat neneknya dirumah. Apalagi uang yang dikirim ayahnya sabina untuknya itu tidak sampai ke sabina. Karena kartu ATM sabina dibawa oleh tante devi. Bahkan tante devi dan rafika tidak pernah menjenguk neneknya waktu sakit. Jadi sabina harus mencukupi kehidupanya sendiri, sabina juga harus menanggung biaya pengobatan neneknya. Karena sabina masih pelajar, jadi ia harus membagi waktunya untuk belajar dan bekerja.
Suatu ketika sabina bertemu dengan ustadzah, sabina mencurahkan segala isi hatinya kepada ustadzah, meskipun sedikit tidak enak karena ustadzah adalah ibunya davin, sabina tidak peduli. Karena hanya ustadzah lah yang bisa mendengarkan segala keluh kesahnya.
"Kebetulan sekali sabina, ustadzah juga akan berangkat umroh minggu depan. Jadi, sabina saja yang menggantikan ustadzah mengisi ceramah di pengajian ibu - ibu. Honornya lumayan bisa buat tambah - tambah pengobatan nenek sabina".
"Wahh, boleh sekali ustadzah, terimakasih banyak ustadzah".
Ustadzah tersenyum dan memeluk sabina.
"Sabina semangat yaa, jangan pernah mengeluh apalagi menyerah. Yakin bahwa semua ini terjadi karena Allah. Ustadzah percaya kalau sabina adalah wanita hebat, semoga nenek sabina cepat sembuh" ucap ustadzah kepada sabina sambil mengelus dahinya.
"Terimakasih ustadzah".
"Sabina...."
"Iya ustadzah".
"Ustadzah berharap suatu hari nanti ustadzah bisa mempunyai menantu seperti sabina. Yang cantik, pintar, sholehah".
"Insya Allah ustadzah".
Ustadzah tersenyum, lalu pamit meninggalkan sabina dan berjalan menuju mobilnya yang behenti di pinggir jalan.
"Ustadzah.... " teriak sabina.
Ustadzah kemudian menoleh. Lalu sabina menghampiri ustadzah lalu memeluknya.
"Hati - hati ya ustadzah, jangan pernah lupakan sabina! Terimakasih ustadzah sudah menjadi orang yang sangat baik untuk sabina".
"Iya sayang, ustadzah senang bisa bertemu dengan sabina. Dan ustadzah tidak akan pernah melupakan sabina" ucap ustadzah sambil meneteskan air matanya.
***
Setelah sebulan kepergian ustadzah ke tanah suci, sabina yang menggantikan ustadzah mengisi ceramah di pengajian ibu - ibu. Awalnya, sabina sempat takut karena ia belum memiliki banyak ilmu untuk disampaikan. Tetapi ia terus belajar, ia mencoba untuk mencari materi dari berbagai sumber, akhirnya sabina bisa fasih dan lancar untuk menyampaikan ceramah. Selain itu, honor yang ia dapat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sabina bisa membiayai sekolah dan neneknya untuk berobat jalan. Itu adalah salah satu karunia yang Allah berikan untuk sabina, dan ia selalu merasa bersyukur atas apa yang ia punya.
Suatu ketika, sabina melihat keadaan neneknya semakin lemah tak berdaya. Sabina kemudian menghampiri neneknya lalu membimbing neneknya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulilah mendengar neneknya yang lancar mengucapkan kalimat tersebut, sabina sangat senang.
Hari berganti hari, keadaan nenek sabina semakin pulih hampir seperti sediakala. Meskipun masih perlu banyak istirahat. Sabina kemudian membimbing neneknya untuk berwudhu, mendirikan shalat, dan membaca al qur'an. Walaupun itu tidak mudah karena nenek sabina sudah tua, sabina tidak pernah lelah untuk membimbing neneknya. Bisa masuk Islam itu adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi sabina, itu merupakan suatu hal yang ia cita - citakan sejak dulu. Ternyata Allah punya rencana dibalik ini semua.
Hari - hari dilalui sabina bersama neneknya, bahkan ketika sabina bekerja untuk mengisi ceramah, ia selalu mengajak neneknya. Sabina bertujuan agar neneknya bisa ikut pengajian ibu - ibu disana dan mendengarkan ceramah tentang Islam yang lebih jauh. Sabina sangat senang melihat banyak perubahan yang terjadi pada neneknya tersebut, dari mulai menutup aurat bahkan sekarang nenek sabina menyukai cara hidup yang agamis.
Setelah itu banyak juga perubahan yang terjadi di kehidupan sabina. Selain neneknya yang masuk Islam, rafika adik keponakan sabina juga masuk Islam. Rafika memutuskan tinggal bersama sabina dan neneknya karena ayah dan ibunya ditangkap polisi karena kasus korupsi di perusahaan milik nya. Karena tidak memiliki siapa - siapa lagi rafika akhirnya mencari sabina dan tinggal bersamanya. Rafika sekarang sudah berubah, tidak seperti dulu yang temperamental. Sekarang ia sudah lebih baik, sudah mau menutup auratnya, dan menjadi anak yang penurut.
Melihat perubahan rafika, sabina tidak ada henti - hentinya untuk bersyukur kepada Allah SWT. sabina merasa kebahagianya sudah tidak bisa diungkapkan lagi. Namun tiba - tiba terbesit kenangan tentang hilda di hati sabina. Kebahagiaan akan terasa lebih lengkap apabila hilda ada ditengah - tengah mereka. Tetapi sabina yakin bahwa ini semua sudah menjadi rencana Allah.
Hilda sudah tenang disana, hilda sudah bahagia di sisi-Nya, dan Allah lebih sayang hilda.
***
Mari kita ikhlaskan dia yg tak akan lagi ada 😥
BalasHapus