Serumpun Mawar yang Tidur


Matahari menggigit kulit. Pada masing-masing hati saling mengumpat kepada waktu yang begitu terik. Jalanan-jalanan yang lengang pun bertambah panas. Terlebih dahan-dahan pinggir jalan yang biasa rimbun sudah patah. Tertebas pisau-pisau kepentingan bersama katanya. Tidak masuk akal.

Danang berjalan di atas tanah yang terik itu. Tangannya naik turun menutupi cahaya matahari. Barangkali bisa membuat wajahnya lebih dingin dari suhu di sekitarnya. Ransel yang memeluk punggungnya bergoyang-goyang di bawa kakinya yang setengah berlari. Tap tap tap. Kakinya akhirnya sampai di depan toko bunga yang sedari tadi sudah dicari-cari.

Wajah Danang yang hampir hitam terpapar terik menyipitkan kedua matanya. Mencari-cari seseorang di dalam toko lewat kaca bening yang menjaei pembatas. Setelah matanya belum jua menemukan yang dicari, kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Tak ada jua yang dicari. Akhirnya tangan kanannya bergerak merogoh saku. Mengambil ponsel dan mengetik sesuatu. Setelah membubuhkan tanda tanya di belakang kalimat "sudah dimana?", kepalanya menengadah. Prakk!. Tubuhnya hampir saja jatuh. Tiba-tiba saja sepasang mata bercelak hitam sudah menempel di balik kaca tepat Danang berdiri. Beberapa detik kemudian baru nampak sepasang bibir yang melengkung. Tersenyum.

Cepat-cepat Danang berdiri dan memasuki ruangan toko.

"Ahh! Anda benar-benar membuat saya kaget." Ucap Danang setengah mengumpat.

Di dalam ruangan toko yang sudah cukup dingin dibanding terik di luar, tubuh Danang sudah terduduk di hadapan seorang wanita dengan mata bercelak. Tubuhnya yang kurus terbalut setelan dress berwarna pastel. Anggun seperti pemiliknya. Rambut hitamnya yang lurus tergerai di atas pundaknya. Kedua tangannya terpangku di atas kedua lututnya. Wajahnya menatap lurus kepada lelaki di depannya. Danang.

"Hm. Maaf membuatmu kaget." Seuntai senyum kembali mengukir.

Danang tersenyum membalas.

"Kau masih suka kelembutan rupanya." Ucap Danang mulai santai.

"Aku selalu suka kelembutan. Warna-warna kalem. Juga bunga-bunga mawar tentunya." 

"Kau tidak pernah berubah."

"Aku akan tetap seperti dulu."

"Kau selalu menjadi orang baik."

"Aku selalu berusaha melakukannya."

"Kau selalu berhasil membuatku untuk kembali menuai rindu."

Wanita itu setengah tersenyum.

"Kau sedikit berlebihan sepertinya."

Danang menerima kalimat itu apa adanya bahwa dia barangkali memang berlebihan. Walau bagaimanapun dia adalah satu-satunya orang yang paling beruntung di kota ini. Pasalnya tidak pernah ada satu pun pelanggan toko yang berhasil berjumpa secara langsung dengan pemilik yang sekarang tengah duduk di depan Danang. Bahkan sejak toko belum menjadi sepi seperti sekarang. Saat orang-orang berebut membeli bunga paling cantik di toko dengan harga yang paling mahal. Bukan untuk apa-apa dan siapa selain untuk berjumpa dengan pemiliknya dan memberikan serumpun bunga di tangannya kepadanya. 

Tapi waktu berjalan cepat sekali rupanya. Orang-orang gampang sekali pergi dan enggan sekali untuk kembali. Orang-orang gampang sekali berjanji namun enggan sekali menepati. Orang-orang gampang sekali mengumbar kata namun enggan sekali menuai bukti nyata. Kecuali Danang, tentunya. Satu-satunya lelaki yang tidak pernah pergi. Bahkan sejak took bunga ini  baru berdiri. Sampai took ini benar-benar hendak mati. Ditinggal pelanggan dan pemiliknya sendiri.

"Bolehkah aku meminta?" Kata Danang kepada wanita di hadapannya.

"Barangkali aku bisa melakukannya."
"Buatkan aku serumpun bunga paling cantik."

Wanita itu kembali tersenyum dan tanpa menjawab tangannya sudah memindahkan sekeranjang mawar ke meja di depan Danang. Satu per satu tangkai mawarnya terkait. Beberapa kali duri-duri yang merasa terganggu memberikan perlawanan. Namun wanita itu tentu saja tidak memperdulikannya.

Danang duduk tegak menunggu. Menanti wanita di hadapannya menyelesaikan bunga pesanannya. Tanpa mengetuk-ngetukkan kakinya dan menjentikkan jari-jarinya. Hanya matanya yang sesekali mengedip memandangi kedua tangan di depannya yang tengah merangkai serumpun mawar.

Jam berputar cepat sekali. Langit-langit terik sudah berganti menjadi selimut malam. Tapi Danang masih tegak menunggu pesanannya. Setia menanti wanita di depannya menyelesaikan serumpun mawar yang sisa beberapa tangkai lagi. Orang-orang di luar took sudah kebingungan memandangi Danang. Yang masih menunggu wanita di hadapannya menyelesaikan pesanannya.

"Aku sedih." Ucap Danang.

"Kenapa?" Tanya wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari serumpun mawarnya yang hendak selesai.

"Kau akan segera menyelesaikan pesananku."

Wanita itu tersenyum lagi.

Kedua mata Danang kembali mengedip. Tubuhnya masih tegak menunggu. Menghiraukan beberapa suara dari kuar toko yang sudah sedari Isya' tadi memanggil-manggil namanya.

"Teng.... Teng.... Teng...."

Jam tengah kota berdentang nyaring. Mengingatkan Danang bahwa malam sudah menemui pertengahannya. Tepat di dentang akhir jam kota yang menunjukkan jam dua belas malam, pesanan Danang selesai.

Wanita itu tersenyum. Tangannya yang menampakkan beberapa tusukan di jari-jarinya menyodorkan pesanan serumpun mawar kepada pelanggan di depannya.

"Kau sudah selesai." Danang mengucap.

"Iya. Pesananmu sudah selesai."

"Bolehkan ku berikan serumpun ini untuk wanita yang hendak ku lamar?"

"Tentu saja." Jawab wanita itu.

"Mawar.."

"Kau memanggil namaku?"

"Menikahlah denganku. Aku bersiap menunggu." 

Wanita yang terpanggil Mawar hanya terdiam. Selang waktu yang berjalan tubuhnya berdiri dan menggeser kursi yang sejak sedari siang ia duduki.

"Tenanglah. Aku akan tetap seperti dulu." Wanita itu tersenyum -lagi.

Pada akhirnya Danang yang terdiam. Melihat wanita di depannya beranjak, berbalik dan pergi. Matanya sama sekali tak bergeming memandangi tubuh wanita yang sangat dicintainya. Tepat dari seluruh rambutnya yang tergerai dan kedua telapak kakinya yang sudah tidak lagi menapak lantai. 

Danang masih terdiam. Memegang serumpun mawar untuk kekasihnya yang sudah pergi. Di bawah malam yang semakin kelam Danang menangis di depan serumpun mawar dan segunduk tanah. Toko bunga yang berhias mawar sudah berubah. Menjelma menjadi segunduk tanah beserta nama yang terpampang di atasnya. Mawar; Lahir: 01 Januari 1990; Meninggal: 01 Januari 2015.

*
Danang mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah. Berharap segera ia sampai di halaman rumahnya. Tangannya yang kurus memeluk ranselnya. Menepis dingin shubuh yang menusuk tulang-tulangnya.

Tepat di halaman yang tersebut sebagai halaman rumahnya, kedua orang tua Danang sudah menunggu dengan wajah paling khawatir di dunia ini. Di pelukan Ibunya, seorang wanita tengah menangis sesenggukan tidak berhenti. Calon istrinya.

Danang meletakkan ranselnya. Memeluk wanita di pelukan Ibunya yang hendak menjadi nama yang tersebut saat akad siang nanti. Maafkan aku. Ucap Danang kepada dirinya sendiri di dalam hati.

Mari kita masuk. Ayah Danang mengawal.

Keempat pasang kaki itu memasuki rumah. Meninggalkan sepasang kaki yang tengah berdiri di pojok gerbang mengenakan dress pastel. Sendiri. Tangan kanannya menggenggam serumpun mawar. Serumpun mawar pesanan yang dibuatkan langsung oleh pemiliknya. Di bawah kelopak mata yang menghitam, sungai-sungai kecil sudah mengalir. Membasahi kedua pipi tirusnya. Membasahi hati yang sudah mati baginya. Layaknya tubuhnya syang sudah tidak berbalut raga lagi.

Di pojok gerbang di bawah langit shubuh. Sepasang kaki yang berdiri sendiri melayang. Meletakkan serumpun mawar di tempat duduk pelaminan kedua insan yang siang nanti hendak mengakad janji.


Jakarta, 03 Mei 2019.


*ma.ms

Komentar

  1. Uwuw, pas ultahkuu ๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    BalasHapus
  2. Wahhhh selamat ulang tahun Syahiraaaa๐Ÿ˜ semoga selalu istiqomah dan manfaat๐Ÿค—๐Ÿค—๐Ÿค—

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16