Anyir


Aku terbangun karena dingin fajar menusuk lebih dalam dari biasanya. Sudah sejak semalam sebenarnya mataku tak mampu nyenyak karena angin yang menembus tulang-tulangku menggigit sampai ke pembuluh-pembuluh darahnya sekaligus. Tidak ada selimut tidak ada bantal, yang ada sebatas jilbab biru yang terjulur dari atas kepalaku.

Aku menarik lengan lalu menarik napas. Pagi ini rupanya udara tak begitu segar. Baunya tidak sewangi tanah yang biasanya merasuk hidungku selepas bergurau ria dengan embun di bawah fajar. 

Selesai bersiap diri tanpa bercermin seperti biasanya, jam di tanganku berputar-putar sampai jarum yang lebih pendek dari dua jam lainnya mengetuk-ngetuk angka tujuh. Kakiku melangkah di halaman depan kampus. Membelok kemudian membuka pintu lobby dan kemudian naik tangga.

Sampai di kelas, aku memilih duduk di barisan ketiga sayap kanan. Menaiki dua undakan lantai lalu duduk berpangku tangan.

Suasana kelas masih sangat sepi. Tentu saja begitu karena perkuliahan hari ini baru akan dimulai jam sembilan nanti. Ku pandangi interior kelas satu per satu. Tidak ada yang berubah. Meja dosen dan kursinya di bagian depan sebelah kanan; papan tulis di bagian tengah; layar proyektor di belakang meja dosen; kursi-kursi mahasiswa; dan dinding bercat coklat yang akan memudar.

Semua infrastrukturnya tidak ada yang berubah. Kecuali saat mataku beradu pandang dengan sesosok gadis di pojok belakang sebelah kiri. Kepalanya tiba-tiba langsung menunduk. Tangannya menangkup di samping kedua telinganya, seolah enggan sekali mendengar angin yang berbisik pelan di ruangan ini. Aku memalingkan wajah ke arah depan. Sepertinya gadis yang ku kenal dengan sebutan Mawar lewat namanya ingin menyendiri untuk pagi ini. Meski hatiku sedikit tergerak dan khawatir saat sekelebat wajahnya yang ku lihat tadi menampakkan bibirnya yang pucat dan matanya yang memerah. Mungkin karena sembab. Tidak tahu. Biarlah dia menyendiri terlebih dahulu. Karena ku kira dia memang butuh waktu.


Kursi kelas menjadi semakin ramai. Bunyi sepatu yang bertepuk dengan lantai berdebum-debum seperti kaki kuda. Udara yang sepagi tadi masih berbisik lirih mulai berebut keluar mencium bau sarapan yang bercampur dengan minyak wangi. Kalau kau punya kekuatan untuk melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain, matamu bakal menemukan bunga mawar, bunga tulip, bunga melati, buah apel, buah jeruk, coklat dan ornamen-ornamen minyak wangi lainnya tengah berterbangan di langit-langit ruang kelas. Setiap tangkainya yang menyangkut di benang-benang pakaian teman-temanku bakal memeluk hidungmu itu. Lalu reseptornya bakal memilah-milah bau mana yang lebih kuat dan mampu bertahan di bagian dalam hidungmu.

Setelah bermacam minyak wangi juga akhirnya memeluk bagian dalam hidungku, sepasang sepatu hitam mengetuk-ngetuk lantai luar kelas. Lalu sepersekian detik tangan pemiliknya mendorong daun pintu yang sudah tua termakan waktu berwarna abu-abu itu. Dan perkuliahan yang tidak pernah didengarkan sama sekali oleh telinga-telinga yag terduduk rapi di kursi mahasiswa pun dimulai.

Kuliah hari ini selesai. Tepat saat sepasang sepatu hitam milik seseorang yang berdiri di depan kelas kami beberapa menit lalu meninggalkan ruangan, matahari sudah meninggi dan memanas. Meski begitu bau tanah di luar kampus yang wanginya masih sama dengan pagi tadi masih tercium pekat. Seperti wangi air yang bertemu dengan tanah merah.

"Aaarggghhhhhhhhhhhhhhh."

Semua mulut di ruang kelas mendadak diam. Masing-masing kepala menoleh ke belakang secara serentak tanpa komando. Di bawah jendela yang kacanya sudah pecah sejak lama, seorang mahasiswi pucat pasi terduduk dengan lutut tertekuk. Tangannya bergetar menggenggam jari-jarinya. Matanya tertutup rapat oleh kelopak matanya yang berwarna coklat dengan taburan pink muda. Tubuhnya masih tampak bergoyang-goyang lemah seakan ketakutan.

"Mia, kamu kenapa?"

Seorang teman berkemeja biru mendekati Mia dan memberanikan diri bertanya. Kami semua masih terdiam. Mata Mia masih saja tertutup dan kakinya mulai ikut bergetar-getar mengikuti tangannya. Setelah menunggu agak lama, tangan kanan Mia bergetar naik lebih tinggi dari pundaknya. Perlahan telunjuknya menuduh-nuduh jendela di belakangnya.

"A... a... add.. ada da... dar... darahh!"

Telunjuk Mia semakin bergetar-getar. Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri tanpa disuruh. Mata seisi kelas saling berpandangan. Antar bola mata saling melemparkan tanda tanya.

Ardan. Laki-laki berkemeja biru maju mendekati jendela. Matanya melompat-lompat seakan ingin masuk ke dalam otaknya agar tidak melihat sesuatu yang sudah lebih dulu dipikirkan otaknya. Samar-samar kaki di balik celana bahannya bergetar. Tangannya lalu memegang daun jendela yang sudah tak berkaca itu. Kepalanya melongok ke luar jendela. Menengok ke kanan kiri dan atas bawah. Sebelum mulut salah satu dari kami melontarkan pertanyaan yang sedari tadi menggemuk di pikiran, wajah Ardan sudah berubah merah. Tubuhnya berbalik dan memandang kami semua.

"Kenapa?" Tanyaku.

Ardan tak menjawab.

"Kenapa dan?" Seorang teman kelas mengulangi pertanyaanku.

"Oh Tuhan! Kalian tidak akan mempercayai ini." Sebuah kalimat muncul dari mulut Ardan.

Mata kami semua kembali berpandangan satu sama lain.

"Ada tubuh tergeletak berlumuran darah di pekarangan belakang ruang kelas kita!"

Semua kelopak mata membelalak. Alih-alih berdempetan menyesaki jendela di balik punggung Mei, semua kaki sontak berlari meninggalkan ruangan. Bukan untuk melarikan diri dan membuang rasa takut melainkan menuruni tangga, melewati pintu lobby lalu berlari ke pekarangan belakang. Namun sebelum semua kaki terbebas dari lantai ruang kelas kami, aku baru menyadari sosok gadis di pojok pagi tadi yang tersebut namanya Mawar sudah tidak terduduk lagi di kursi. Wajahnya yang pucat sudah tak nampak lagi di antara wajah-wajah penuh tanda tanya di ruang kelas. Aku lalu menolehkan kepala ke kanan kiri, tapi tetap saja wajah Mawar tak ku temui. Telapak kakiku lalu memutuskan untuk berputar dan berjalan mengikuti teman-teman. Meninggalkan Ardan dan Mia yang masih menekuk telututnya dan menggenggam tangannya sendiri dengan bergetar-getar.
Sampai di pekarangan belakang yang ku lihat adalah kepala-kepala yang seolah ingin terbang. Kaki-kaki pemiliknya berjinjit-jinjit. Berharap tingginya bakal bertambah beberapa senti. Meskipun begitu, setelah kakinya berjinjit-jinjit dan kepalanya menongol-nongol hendak terbang ke udara di depannya, mereka orang-orang yang tidak bisa melihat apa yang tergeletak di hadapan orang-orang terdepan- tetap saja tdak bisa melihat apapun sepertiku dari belakang sini. Kecuali bau anyir yang lamat-lamat semakin menusuk hidung. Aku lalu menutup hidung dengan ujung jilbab. Lalu mendongak-dongakan kepala dan menjinjit-jinjitkan kaki. Hasilnya tetap sama. Aku tidak bisa melihat sesuatu yang tergeletak atau apapun yang ditunjuk Mei sebagai darah. Kecuali punggung-punggung temanku yang seolah hendak jatuh tertopang ujung kaki yang berjinjit.


Bau anyir yang sama belum juga hilang. Justru semakin kuat pekat di reseptor pembauku. Aku masih belum bisa melihat apa yang tergeletak. Lalu, di antara punggung-pungung temanku yang masih bergetar, mataku menangkap wajah pucat dengan mata memerah di balik gedung tempat aku berdiri sekarang. Wajahnya masih sama dengan kondisi saat sepagi tadi ku jumpai. Bukannya ikut menjinjit-jinjitkan kaki dan memasang tanda tanya seperti kami, wajah Mawar justru bertambah pucat. Terlebih saat matanya secara tidak langsung beradu pandang dengan bola mataku. Tubuhnya lalu berlari meninggalkan pekarangan di atas kaki kami dari balik gedung. Hanya wajah pucatnya yang masih menempel di dinding tempat kakinya berdiri beberapa detik lalu. Wajah pucat yang terbayangi ketakutan dan kekhawatiran. 
Keningku tiba-tiba berkerut. Wajah pucat Mawar yang terbayangi ketakutan mendadak tidak asing di bola mataku. Ketakutan yang terselingi dengan tangan bergetar dan bola mata merah yang menatap lurus ke mataku. Aku lalu mengerjapkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala. Sesaat sebelum aku benar-benar menjadi pening dan mataku tak bisa melihat punggung-punggung yang berjinjit lagi, sekelebat bayangan ketakutan bertengger di samping jendela kelas kami. Bagian pinggir-pinggir daunnya yang sudah berkarat tampak merah dan anyir. Lalu seorang gadis berjilbab biru melongok di antara dua daun jendelanya.


Aku melongokkan kepala ke luar jendela. Menghirup napas lalu membalikkan badan. Mendadak tubuhku setengah terkaget. Sepasang mata memerah dengan wajah pucat pasi sudah menatap wajahku. Tangannya bergetar-getar hendak terangkat. 

"Ma.. war. Kamu kenapa?" Tanyaku kepada gadis yang tengah berdiri di depanku.
Mulutnya tidak menjawab. Sedang wajahnya semakin pucat dan bertambah menampakkan ketakutan. Ketakutan yang sama persis dengan ketakutan yang tertempel dan tertinggal di dinding sebrang pekarangan belakang kelas kami.

"Aku tidak suka kau menjadi bagian kesayangan keluargaku, adik tiri!"

Aku menatap mata Mawar dan tersenyum sedikit khawatir.

"Maaf." Ucapnya singkat lalu melangkahkan kaki.
Sebelum sepotong kalimat dari mulutku menangggapi maaf Mawar yang bagiku tidak perlu, setengah tubuhku sudah melayang. Kaki Mawar terlampau cepat untuk melangkah mendekati tubuhku. Setelah lengan kiriku bergesekan dengan daun jendela yang sudah menua dan berkarat, mataku menangkap langit yang ternyata mendung. Di antara gelembung-gelembug awan hitam yang hendak meneteskan rintik hujannya, tubuhku bertabrakkan dengan bumi. Meninggalkan bunyi debum yang membekas di gendang telingaku. Di atas tanah pekarangan kampus, sungai-sungai kecil merah mengalir di bawah tubuhku dan sepasang tangan pucat milik saudara tiriku masih tampak bergetar di jendela coklat yang bertambah tua.


*ma.ms
Ciputat, 2019.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16