SELEPAS #SEXYKILLERS, KEMUDIAN APA?


13 April 2019, sebuah film dokumenter cukup memberikan pergerakan yang masif diantara deras kampanye kedua kubu pilpres. Kalo sekarang, bagaimana?

Pemilihan presiden Republik Indonesia (pilpres) yang diselenggarakan tahun ini (2019) tampaknya memiliki beberapa momentum, apa yang masih teringat? Tentu selain dengan serangkaian pro-kontra aksi 22 mei yang spontan, opportunis, dan anarkis, #sexykillers adalah sebuah momentum besar yang, barangkali lagi tak masuk dalam list-list hal-hal yang menganggu kampanye kedua kubu ( siapa lagi kalo bukan 01 dan 02 heuheuheu).

Sebuah film dokumenter yang dirilis oleh watchdog Indonesia ini mengambil sebuah trek perjalanan dan pengkajian pertambangan yang ada di Indonesia. Dirilis 13 April di laman youtube, film ini terbukti mampu mendapatkan respon yang luar biasa dari segala penjuru sosial media, serta para aktivis lingkungan dan literasi yang ada di nusantara ini. Dampaknya? Tentu #sexykillers sempat melahirkan sebuah opini publik yang tentunya, dapat dikatakan menganggu,atau mungkin membongkar kedok, elektabilitas kedua kubu kontestasi pilpres.

Beberapa hari setelah rilisnya #sexykillers ini kepada publik, banyak media yang mencoba mempertanyakan hal ini (yang berbau tentang pertambangan dan dampak yang disoroti oleh film) kepada kedua kubu. Dan, tepat sekali, respon yang normatif dan mencari aman dari kedua kubu, seolah ikut membantu pembangunan opini yang lebih kuat lagi, semisal “ah, ternyata keduanya begitu, memeras rakyat kecil, golput aja ahhhh.” Dan bau-bau sejenis dari kalimat itu. Yang jelas, sepengamatan penulis, kemunculan #sexykillers membuat suatu alasan general tentang alasan kita selesai, ett, golput maksudnya.

Sekarang, 25 Mei 2019, KPU telah merilis hasil rekapitulasi Pilpres, dan, tingkat golput adalah sebesar 19,1%, terendah sepanjang sejarah. Apakah #sexykillers, yang sejak awal kemunculannya dikatakan menjadi pertimbangan orang untuk golput, mengalami fenomena “mengatakan yang tidak dilakukan” atau “ melakukan yang tidak dikatakan” dari 13 April 2019 hingga 17 April 2019? Saya juga tidak tahu karena tidak ada riset tentang hal ini. Namun, ketika melihat dari bagaimana film ini dikemas dan dipasarkan, apakah dampak #sexykillers ada hingga saat ini? Dalam artian, apakah kampanye-kampanye lingkungan yang marak di sosial media waktu itu (periode pertengahan april 2019) masih ada hingga kini? Kemudian bagaimana kelanjutan dampak yang diharapkan dari lahirnya #sexykillers di tahun politik ini? Mari kita sama-sama berusaha menjawab (belajar bareng boleh kali ah heuheuheu).

Melihat dari produsen dibalik #sexykillers, latar belakang jurnalistik adalah hal yang perlu kita ingat, bahwa jurnalistik hanyalah media penyampai peristiwa, benar atau salah serta tindak lanjutnya bebas ditentukan oleh pembaca, karena itu, saya, penulis, dan juga mahasiswa, mari kita berharap dan berusaha agar makin banyak usaha-usaha istiqomah yang kita lakukan untuk bangsa Indonesia. Jangan hanya karena lantaran aksi 22 mei yang semerbak di media, lantas kita melupakan apa saja yang perlu dibenahi dari indonesia, #sexykillers telah mengawalinya, maka tinggal tugas kita untuk melanjutkannya. Yang jelas, kesehatan yang layak adalah salah satu hak bagi seluruh makhluk di muka bumi yang kecil ini.

Ayo belajar menulis pemikiran kita dengan mengikuti hastag #NgeessaiYuk. Perubahan ada di tangan kita, yang di tangan tuhan itu jodoh.

Tabik!
Syee Nee

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16