Cerpen : PUTRI MEII

Puteri Meii

Dahulu kala di sebuah tempat bernama Myong, hiduplah seorang putri dari keluarga bangsawan yang cantik jelita dan baik lagi luhur hatinya. Ia dibesarkan oleh ayah yang sangat penyayang dan bijaksana serta ibu yang juga cantik dan baik seperti putrinya itu. Sang ibu memberinya nama Meiiretha Swan. Sang puteri begitu cerdas sebab ia sangat suka belajar dan berdiskusi sejak masih belia, bahkan ketika remaja ia seringkali menang mendebat para pejabat pemerintahan pada masa itu. Rupa, hati dan juga kecerdasan semua dimiliki gadis ini. Bagi orang yang bersih hatinya, Meii adalah gadis yang sangat menyenangkan dan orang-orang ingin selalu dekat dengannya. Namun, ada beberapa orang yang begitu membenci Meii karena sangat iri pada kelebihan Meii, terutama para gadis yang seusia dengannya. 
Sangat besar rasa cinta ayah dan ibu Meii terhadap dirinya. Sejak kecil sang ayah dan ibu sangat khawatir jika ada orang luar yang mencari atau hendak bertemu dengan Meii. Meii diberitahu untuk tidak meninggalkan rumah kecuali mendapat izin dari ayah dan ibunya untuk juga hal-hal tertentu saja. Untunglah Meii mempunyai seorang kakak laki-laki yang selalu melindungi dan selalu bersamanya setiap hari. Suatu hari sang kakak memohon kepada ayahnya untuk dicarikan seseorang yang dapat mengajarinya memanah, berkuda dan lihai bermain pedang, karena ia sangat ingin  melindungi adiknya itu. Saat dewasa, sang kakak tumbuh menjadi pemuda tampan yang perkasa.
Menanggapi kekhawatiran ayah dan ibunya tersebut, Meii tidak merasa berat hati dan ia sangat paham maksud kedua orang tuanya. Lagi pula, di rumahnya itu ia ditemani oleh seorang budak sebatangkara yang keluarga Meii temukan sekarat di sebuah gua dekat perkampungan kumuh seberang desa Hwei. Meii sudah menganggap budak wanita itu sahabat sekaligus keluarganya sendiri. Lalu, ada beberapa pelayan yang siap melayani dan menyiapkan seluruh kebutuhan Meii selama di rumah. Pelayan pakaian, makanan dan pengatur kegiatan belajar untuknya. Dari semua pelajaran ia pelajari, mulai dari merajut, melukis, menenun, manajemen dan sistem keuangan, sastra dan politik. Yang  paling ia sukai adalah pelajaran sastra. Setiap hari banyak waktu yang ia habiskan untuk belajar sastra bersama kakaknya, tuan Han. Ia suka membaca kisah Cina kuno, syair-syair klasik dari penyair mashyur dan pepatah-pepatah sulit yang sirat akan makna serta kalam nasihat mengenai perilaku luhur para puteri dan permaisuri kerajaan dahulu yang menjadi panutannya.
Dibesarkan dengan penuh hormat dan kemewahan, Meii tidak serta merta menjadi gadis yang sombong dan kasar. Kepada Bing sang budak dan para pelayannya, Meii sangat menghargai dan berperilaku lembut kepada mereka serta jarang memerintah. Tak jarang, ia juga menitipkan uang kepada pelayannya yang hendak keluar untuk dibagikan kepada orang-orang miskin sekitar rumahnya. Meii sangat dihormati dan disayangi sepenuh hati oleh orang-orang seisi rumahnya. Akibatnya, Meii selalu memperoleh kesetiaan dengan tulus dari Bing dan para pelayannya.
Seorang penyair bertitah tentang Puteri Meii,

Putri jelita buah cinta dari sepasang suami-isteri yang dermawan,
Berkilau laiknya mentari, semerbak bak jejeran bunga di bukit Kyo,
Putih seputih salju, lembut menyaingi sutera terbaik di bumi,
Bahkan pasukan peri  tunduk menghormati dan menyisihkan jalan,
Rerumputan hijau subur sembari dilewatinya, tanah mati hidup kembali,
Ialah puteri surga abadi, ibunya yang rupawan menyebutnya Meii

Suatu hari Meii bermaksud mengirimkan surat kepada sang ayah yang juga pejabat istana untuk segera pulang ke rumah menemui dirinya yang akan menyampaikan sebuah permintaan. Meii sudah lama menantikan hari itu.

Ayah, segala hormat selalu tercurahkan dari puterimu Meii.
Maafkan Meii ayah, selalu membebani dan mengganggu pekerjaan ayah,
 Meii memiliki sesuatu yang harus disampaikan kepada ayah, 
Apakah ayah bisa pulang lebih awal malam ini? 
Meii menunggu ayah di rumah setelah matahari terbenam.

                                                                                            Puterimu,
                                                                                                 Meii

Mendapat surat dari puteri tercintanya itu, pulanglah sang ayah segera sesuai permintaan puterinya setelah mendapat izin dari baginda raja. Tepat setelah matahari terbenam, sang ayah berpacu dengan kudanya seorang diri tanpa membawa satupun dari pengawal istana menuju Myong untuk menemui putrinya. Sang ayah hanya membawa sebilah pedang. Melihat kepergian ayah Meii sang menteri keuangan istana, kepala peramal istana saat itu sunggguh dipenuhi kegelisahan. Namun, sang peramal istana tidak sempat mengutarakan perihal perasaan buruknya itu kepada sang Menteri karena sang Menteri sudah jauh meninggalkan istana. Di tengah perjalanan, tepatnya saat melewati sebuah hutan kecil yang gelap dan sunyi, seseorang memanah kaki depan kuda ayah Meii yang kemudian tersungkur bersama dengan dirinya. Tak lama kemudian, muncul beberapa pendekar berpakaian serba hitam laksana hitamnya malam di hutan itu sampai hampir tidak terlihat oleh ayah Meii. Pandangan ayah Meii sangat buram dan hatinya berdebar tak karuan. Yang ia lihat hanya banyak bilah pedang yang berkilauan di bawah sinar bulan. Sungguh, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi sebelum ia tidak sempat bertemu puteri tercinta dan isterinya yang sedang menunggunya di rumah.
Apa yang dikhawatirkan ayahnya terjadi, salah satu pendekar mengarahkan pedang kepada ayah Meii. Pertarungan sengit terjadi. Pendekar berbaju hitam itu gencar menyerang ayah Meii yang sudah bertarung sekuat tenaga seorang diri demi anak dan isterinya. Ia harus hidup, ia masih harus melindungi dan masih harus melakukan banyak hal dengan keluarganya. Meski ayah Meii pandai bertarung, tetap saja seorang pendekar akan kelelahan melawan banyak musuh. Ayah Meii menggunakan seluruh tenaga dan kekuatannya. Namun ia akhirnya terjatuh. Salah satu pendekar berpakaian hitam menusuk bagian dada sang ayah dengan tiga kali tusukan yang keji. Tidak ada harapan, ayah Meii sekarat. Sang ayah akhirnya meninggal dengan luka pedih di hatinya dengan melihat sinar bulan yang ia lihat sebagai wajah keluarganya yang tersenyum. 
Sungguh malang nasib Meii. Ia masih terus menunggu ayahnya pulang dengan wajah yang berseri dan kuntum Bunga di tangannya. Sampai tengah malam, sang ayah tak kunjung datang. Meii kian gelisah. Sang ibu menghampiri dan menemani Meii. Membelai rambut Panjang Meii dan menenangkannya, berkata bahwa mungkin ayahnya sedikit sibuk dan akan tiba larut malam nanti. Meii akhirnya tertidur oleh nyanyian dalam pangkuan ibunya.
Keesokan harinya, aroma kematian tercium. Penduduk desa yang bepergian melewati hutan tersebut menemukan jasad sang Menteri keuangan yang mashyur itu dan membawa jasad tersebut ke rumah keluarganya. Alangkah terlukanya hati Meii, kakak dan ibundanya melihat jasad tuan Menteri yang diusung. Sontak seisi rumah menangis tersedu-sedu penuh derai air mata. Sang ibu tak kuasa menahan beban ini hingga jatuh tak sadarkan diri.Llebih-lebih Meii. Ialah yang menyuruh sang ayah untuk pulang cepat pada hari itu. Mungkin jika ia tidak menyuruh ayahnya segera pulang, maut bisa dihentikan. Dirinya dipenuhi perasaan bersalah dan penyesalan. Ia terus menyalahkan dirinya atas kematian ayahandanya.  Puteri Meii jatuh sakit. Ia menjadi kurus dan sangat pucat. Sang ibu dan kakak tabah merawat Meii.
Setiap hari sang kakak selalu berusaha melepaskan Meii dari rasa bersalahnya itu. Ia selalu berkata kepada Meii bahwa kematian adalah takdir yang sudah tetap, bukan hal yang bisa untuk direncanakan dan dibuat. Mungkin sudah takdir ayah meninggalkan mereka seperti itu. Meii tidak bisa terus menerus menyalahnya dirinya.
**************************************************
Beberapa musim terlampaui setelah kematian sang ayah. Danau yang dulu kering di dekat bukit Kyo mulai penuh dengan air yang jernih. Banyak ikan berwarna-warni hidup di danau itu. Tak sedikit penduduk desa yang menyambung hidup dengan mencari ikan dan bertani di sekitar danau Kyo setiap harinya. Bunga-bunga di bukit mulai tumbuh dan mekar kembali. Serupa dengan alam yang berseri itu, Meii kembali sehat berkat kesabaran dan ketulusan sang ibu dan kakak yang merawatnya. Meii mulai tersenyum kembali dan melupakan kesedihannya.
Suatu hari, Meii tertarik mencari beberapa bunga untuk ia jadikan pewarna pakaian dari sarinya. Ia akan membuat pakaian terbaik pertamanya. Atas keinginannya itu Meii akhirnya memohon  izin dari ibunya untuk pergi meninggalkan rumah. Awalnya sang ibu khawatir terhadap puterinya itu, namun sang kakak dan Bing sang budak meyakinkan ibu bahwa mereka akan menjaga Meii. Akhirnya sang ibu dengan berat hati menyetujui permintaan anaknya yang sudah cukup dewasa itu. Ia harus berhenti mengekang anaknya di rumah. 
Meii pergi ke desa seberang setelah memeluk ibunya dan membawa beberapa bekal dari para pelayannya. Meii sangat senang karena ini kali pertamanya meninggalkan rumah dengan cukup jauh. Ia tidak perlu khawatir sebab di sisinya ada sang kakak si pendekar yang pemberani dan Bing yang mewarisi keahlian wushu dari darah orang tuanya. Beruntunglah keluarga Meii menyelamatkan budak seperti Bing.
Di perjalanan pulang setelah memenuhi wadah untuk bunga-bunganya, Meii melewati sebuah dataran yang cukup luas dan mendapati kelompok pemuda yang sedang latihan bertarung. Meii tertarik untuk menyaksikan pertarungan itu. Matanya menangkap sosok tuan muda yang sangat gagah dan lihai. Tanpa sadar, Meii jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tuan muda yang tak lain adalah seorang putera mahkota dari Kerajaan Wailin tempat ayahnya bekerja dulu. Nama putera mahkota tersebut adalah Zhin.
Setelah lama memandang sang putera mahkota, Meii diajak oleh kakaknya pulang karena hari mulai gelap. Pasukan yang bersama tuan muda itu melihat kepergian Meii dan menghentikannya. Mereka menyangka  bahwa Meii dan pengikutnya adalah mata-mata dari kelompok penjahat. Sang pangeran menyusul Meii hingga berada di hadapannya. Alangkah terkejutnya sang pangeran melihat gadis yang cantik jelita di hadapannya. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Meii. Seorang pengawal bertanya siapa mereka dan maksud kedatangan mereka kemari. Setelah Meii menjelaskan dengan tenang, pasukan istana itu paham dan melepaskan Meii, kakak dan budak Bing tanpa rasa curiga. Sang putera mahkota yang terpaku melihat kecantikan dan mendengar lembutnya tutur kata Meii bertanya siapakah nama gadis di hadapannya itu. 
“Saya Meii, Tuan.” Ujar Meii.
“Nama yang indah, semoga kita bisa bertemu kembali, Meii.” 
Meii pulang dengan perasaan senang mengingat perkataan sang putera mahkota tadi. Di malam hari, Meii memimpikan sang pangeran dalam tidurnya. Menghangatkan udara yang sangat dingin malam itu. Sang ibu ikut tersenyum memandangi puterinya yang tersenyum sambal menyelimutinya. Malam harus beralih. Mimpi indah berakhir, berganti dengan merdunya kicauan burung di pagi itu.
Satu bulan setelah kejadian itu, sang pangeran yang gelisah dan merindukan Meii mengutus seseorang untuk menyampaikan surat dan mencari kediaman Meii. Setelah beberapa hari, utusan itu kembali dan mengabarkan bahwa ia berhasil menemukan rumah Meii dan memberikan surat itu. Sang putera mahkota sangat lega dan bahagia. Ia menantikan balasan dari suratnya setiap hari.

Karenamu aku tidak dapat tidur setiap malam,
Istana ini bagai penjara yang menahanku untuk keluar,
Menyaingi rembulan, sinar wajahmu bak pesona Edelweiss yang abadi,
Akankah takdir mempertemukan kita kembali?
Jika tidak ada takdir seperti itu, maukah kau menciptakannya bersama?

                                                                                  Untukmu, Meii
                                                                                          Lee Zhin

Meii menyimpan surat itu di atas mejanya. Sang ibu yang sedang memeriksa kamar anaknya terkejut melihat sebuah surat yang dibalut dengan indah itu, dari kertas berbahan mahal. Setelah membacanya, sang ibu sangat gelisah dan mencari Meii. Bagaimana bisa seorang pangeran bertemu dengan puterinya? Jelas sekali bahwa dalam surat itu tertulis nama putera mahkota yang akan menjadi Matahari negeri ini. Sang ibu teringat perkataan kepala peramal istana beberapa hari setelah kematian suaminya.
“Apapun yang terjadi, jangan biarkan puteri Meii masuk istana. Kehidupan istana terlalu berbahaya untuk Meii. Dengan paras dan bakatnya, akan ada pelaku politik kotor dan pejabat istana yang akan bermain di belakangnya, atau wanita-wanita dengki yang akan berperilaku jahat terhadapnya. Suamimu itu, kematiannya adalah takdir yang dibuat mendahului takdir mulianya. Mantan Menteri keuangan sebelum suamimu yang diusir dari istana karena praktik  kotornya lah yang merencanakan pembunuhan itu. Jika kau tidak ingin membahayakan Meii, maka jauhilah Meii dari istana, biarkanlah Meii hidup bahagia di luar istana.” Jelas sang kepala peramal kepada ibu Meii.
Setelah bertemu Meii, sang ibu mengutarakan kegelisahan hatinya kepada puterinya. Dalam hati, Meii merasa kecewa dan sedih mendengar perkataan ibunya.
“Meii puteriku, ibu mohon kau tidak menjalin hubungan dengan siapapun di dalam istana. Apalagi itu adalah putera mahkota. Kau benar-benar tidak boleh puteriku, ini perintah dari ibu.”
“Tetapi kenapa ibu? Dia bukanlah orang jahat dan aku sudah terlanjut menaruh hati padanya.”
“Dengar baik-baik, ibu mohon padamu puteriku, bukan perihal orang itu baik atau tidak, tetapi kedudukannya. Istana terlalu berbahaya untuk kau telusuri. Cukup ayahmu yang tidak bersalah menjadi korban dari tangan-tangan kotor yang haus kekuasaan di dalam sana. Dari sekian banyak laki-laki di dunia ini, mengapa harus putera mahkota? Kau hanya belum bertemu lelaki lainnya anakku. Banyak laki-laki bangsawan yang rupawan dan baik hatinya di luar sana yang tertarik padamu.”
Meii sangat bingung. Di sisi lain ia sangat ingin pergi ke istana dan bertemu dengan pangeran Zhin. Namun di sisi lain, ia tidak sanggup mengecewakan ibundanya tercinta. Namun cinta telah membuatnya buta akan segala hal. Meii diam-diam pergi meninggalkan rumahnya pada malam hari seorang diri membawa surat dari pangeran Zhin.
“Maafkan aku Ibu, kakak, Bing…sekali lagi maafkan aku untuk kali ini saja.” Lirih Meii.
Meii akhirnya meninggalkan rumahnya. Untuk sekali dalam seumur hidup, ia tidak patuh terhadap ibunya. Namun jauh di dalam hatinya ia sangat khawatir dan menyesal. Ia berjanji untuk segera pulang setelah bertemu pangeran Zhin. Keesokan harinya Meii sampai dengan selamat di depan gerbang istana dan menitipkan surat kepada salah satu pelayan istana yang hendak masuk.

Hamba kemari bersama malam dan hanya disaksikan oleh sinar bulan,
Gerbang ini terlalu tinggi dan kokoh, hamba tidak kuasa melewatinya.
                                                                                            Meii

Sang pangeran yang senang mendapat surat dari Meii langsung berlari menuju gerbang diikuti beberapa pengawal. Benar saja, matahari dan bulan bertemu. Untuk beberapa saat mereka terdiam di hadapan masing-masing. Sang putera mahkota meraih tangan Meii. Mereka masuk ke istana. Namun tanpa diketahui, langit memiliki rahasia dan rencana yang berbeda dengan pertemuan itu.
Meii sebagai tamu kerajaan terpukau melihat kehidupan istana. Ramai namun damai. Ia belum sadar bahwa banyak mata yang mengamatinya di setiap sudut istana. Semua orang di mata Meii adalah orang baik. Sungguh gadis yang naif. Tidak pernah ada prasangka buruk di hatinya, yang ia lihat hanya wajah orang-orang baik yang kagum dan bersimpati padanya. Ia tidak sadar bahwa seorang musuh sekalipun tidak akan menampakkan wajah dengki kepada musuhnya. Musuh pandai bermuka dua. Banyak penghuni istana yang mengenal Meii yang merupakan puteri cantik jelita dan juga baik akhlaknya dari mendiang Menteri keuangan dahulu. Mulai dari pelayan, gadis-gadis bangsawan istana, dan kandidat-kandidat permaisuri yang menaruh hati pada sang putera mahkota mulai iri terhadap Meii yang begitu dekat dengan sang putera mahkota.
Matahari perlahan merona dan malu, nyaris menghilang dan  bersembunyi di ufuk barat. Langit biru menguning. Waktu terasa cepat berlalu. Kunjungnya ke istana sudah habis sesuai janjinya. Ia harus segera pulang ke rumah. Namun ia ragu, apa yang harus dikatakannya kepada sang ibu dan kakaknya nanti? Tetap saja, entah apa yang terjadi nanti, ia harus pulang karena ia rindu dengan ibunda dan kakak tercintanya.
Meii melaju dengan seekor kuda putih pemberian sang putera mahkota. Awalnya, putera mahkota membawa beberapa pengawal untuk mengantarnya pulang hingga selamat sampai di rumah. Namun Meii menolaknya. Ia bersikeras tidak ingin kepulangannya membuat geger karena bersama pengawal istana. Apa boleh dikata, putera mahkota menuruti permintaan Meii dengan berat hati.
Puteri Gyan yang tumbuh rasa irinya melihat kepergian Meii. Ia adalah salah satu puteri bangsawan yang akan dinobatkan sebagai calon puteri mahkota pada upacara Shu kerajaan Wailin tahun ini. Puteri Gyan merencanakan sesuatu yang kotor. Dalam hati ia berkata,
“Bunga Gyan yang selalu mekar untuk matahari dan kokoh berjuang tidak akan pernah menyerah pada Bunga Meii si pendatang musim semi. Tidak akan!”
Takdir jahat yang mendahului takdir langit kembali datang. Membawa aroma busuk yang merusak musim semi yang indah itu. Meii merasakan nalurinya terpanggil untuk segera pulang. Ternyata, yang lebih dulu sampai ke rumahnya bukanlah Meii sendiri, melainkan kelompok pembunuh bayaran yang bertuan Puteri Gyan.  Orang-orang jahat itu merusak dan menghambur-hamburkan isi rumah, mencari dan menunggu puteri Meii. Meii yang tergesa-gesa akhirnya terjatuh. Terhambatlah perjalanannya dengan kuda putih yang terseok-seok itu. Meii terlambat. Para penjahat yang tidak menemukan Meii yakin bahwa Meii pasti bersembunyi di salah satu ruang di rumah mewah itu. Demi memenuhi hasrat puteri Gyan, tanpa ampun, para penjahat menutup dan membakar seluruh sisi rumah keluarga Meii. Penduduk sekitar yang ketakutan dan tidak berdaya menyaksikan banyaknya orang-orang jahat itu hanya bisa mengintip lewat sudut jendela gubuk mereka. Berharap bantuan segera datang. Namun, alam seakan bisu. Hanya mengirim sunyi bersama angin menghampiri Meii. Angin pun sampai ditelinga Meii terlambat. Rumahnya yang dulu ramai dan penuh kehangatan kini menjadi abu. Ia sampai dan ternganga melihat apa yang terjadi di hadapannya, semua hilang, semua mati. Wajah ibunya yang  bersinar, kakaknya yang gagah melindunginya, Bing yang setia, binar para pelayannya kini hanya kenangan yang tak akan kembali. Orang-orang pembunuh yang biadab itu pergi tanpa meninggalkan jejak. Sirna seiring munculnya purnama pada malam itu.
Meii putus asa, ia kembali menuju istana bersama kuda putih dan lagi-lagi di bawah sinar bulan. Ia menangis dan meronta dalam hatinya yang penuh dengan luka dan terus mencaci pembunuh itu dalam hatinya.  Tidak ada pilihan lain, hanya putera mahkota yang dimilikinya saat ini. Selain itu, ia kehilangan segalanya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia membenci sinar bulan.
Putera mahkota yang menyambut Meii terkejut melihat keadaan Meii. Hatinya terluka melihat sang puteri terluka. Putera mahkota memberi tempat khusus di istana dan menemani Meii malam itu sambil menenangkannya. Mata Meii bengkak dan bibir merahnya kini seputih wajahnya, sang putera mahkota merasa khawatir melihat kesedihan Meii.
Satu tahun setelah peristiwa menyedihkan itu, sang putera mahkota resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Wailin dan berniat menghibur Meii. Meii diajak berkeliling taman istana yang penuh dengan bunga seperti kesukaan Meii. Raja yang sangat menyayangi Meii akhirnya melamar Meii di taman itu. Walau sikap Meii masih dingin, ia cukup bahagia dan menerima lamaran itu. Pernikahan kerajaan terjadi seminggu setelahnya. Pernikahan diumumkan ke seluruh pelosok negeri. Keluarga kerajaan, para pejabat dan bangsawan diundang dan mengadiri pernikahan yang meriah itu. Untuk sejenak, puteri Meii melupakan kesedihannya.
Waktu-waktu yang dilalui puteri Meii bersama dengan sang raja penuh kebahagiaan. Semua penghuni istana akhirnya merestui pernikahan tersebut. Seisi istana turut bahagia melihat mereka. Kecuali satu, puteri Gyan. Setiap hari ia habiskan dengan benuh kebencian. Ia muak dengan puteri Meii. Ia heran mengapa para pembunuh bayaran yang menghabiskan uangnya itu sangat bodoh dan tidak becus hanya untuk menghabisi seorang puteri yang lemah. Puteri Gyan menyumpahi Meii dan para pembunuh bodoh itu.
Sampai pada puncaknya, puteri Gyan memutuskan untuk pergi ke tempat salah satu penyihir yang terkenal. Ia akan melepaskan mantera. Ia berjanji akan membayar berapapun jika penyihir itu mampu membuat sang putera mahkota jatuh cinta padanya dan meninggalkan puteri Meii. Penyihir itu tergiur tawaran puteri Gyan. Beberapa hari setelah itu, si penyihir selesai menyiapkan cairan yang mampu menyihir sang raja. Si penyihir terkekeh puas dan mengundang puteri Gyan kembali.
“Cukup oleskan sedikit cairan ini di pakaianmu dan pakaian paduka raja. Ini akan berhasil, kau harus percaya padaku.” Jelas si penyihir sambil menerima wadah yang penuh dengan uang dan emas.
Malampun tiba. Puteri Gyan melancarkan aksinya. Hati kotornya membawa ia melakukan perbuatan keji itu. Seisi istana terlelap. Hampir saja salah seorang pelayan melihatnya di ruang ganti putera mahkota. Namun nasib baik masih berpihak kepadanya. Puteri Gyan bersembunyi. Pelayan itu hanya lewat sesaat untuk meletakkan baju raja yang baru dan segera pergi. Pekerjaan puteri Gyan selesai dengan sempurna. Ia tertawa puas dan segera tidur tak sabar menyambut hari esok.
Hari esok akhirnya tiba. Musim turut berganti. Kali ini musim yang dingin telah membawa salju menutupi bunga yang bermekaran di bukit Kyo. Dedaunan sudah tak tampak hijau lagi. Ikan-ikan kedinginan menunggu munculnya mentari. Alam seperti berbisik kepada puteri Meii bahwa akan ada hal buruk terjadi. Putri Gyan bangun dari tidur nyenyaknya. Ia bersiap untuk hari itu. Memakai pakaian terbaiknya dan siap muncul di hadapan sang putera mahkota. 
Puteri Gyan memandang puteri Meii yang sedang berjalan bersama dengan raja. Raut wajahnya tidak sekusut kemarin. Puteri Gyan hanya terus tersenyum. Sesuai rencana, ketika sang raja melihat puteri Gyan, untuk pertama kalinya ia mengabaikan puteri Meii. Dahsyat, sungguh manjur ramuan penyihir tua itu. Puteri Meii menangkap keanehan pada diri sang raja. Puteri Meii melihat jauh di mata sang raja bahwa mata itu sudah tidak berbinar lagi untuk dirinya. Bahkan tak sesaatpun mata itu berpaling untuknya. Raja telah menghianati permaisurinya.
Tidak membutuhkan waktu lama, raja menuju istana timur untuk menghampiri puteri Gyan. Hatinya sudah tertutup untuk puteri Meii dan seakan ia lupa pernah mengenal Meii. Meii menyaksikan mimpi buruk itu dengan matanya sendiri. Raja telah mencampakkannya. Puteri Meii menangisi nasibnya. Luka lama belum sembuh, namun ia mendapat luka baru. 
Udara semakin dingin hingga mampu membekukan hati Meii yang penuh luka. Ia berlari sekuat tenaga keluar istana tanpa peduli apapun di hadapannya. Air mata terus mengalir dan mengering bersamaan di pipinya yang merah. Dirinya berantakan. Pakaiannya sampai kusut dan kotor. Ia berlari sangat kencang dan tanpa alas kaki. Beberapa kali tersandung dan terjatuh. Kaki mungilnya yang lembut kini dikotori kerikil kecil dan tanah. Sampai pada sebuah tebing dan Meii tidak menyadarinya. wanita malang itu terpeleset dan berguling sampai pada dasar tebing. Dirinya kesakitan dan sekarat tanpa ada seorangpun di tempat itu. Namun, maut masih enggan menghampirinya. Ia belum mati. Bahkan, dirinya kecewa karena ia masih hidup. Ia terus berteriak dengan suara paraunya yang hampir habis. 
Di tengah menangisi hidupnya, Meii menuju sebuah gua yang terlihat oleh matanya. Namun, sebelum sempat memasuki gua itu, kakinya tertimpa runtuhan batu cukup besar dari tebing di atasnya. Kini kaki kirinya patah dan penuh luka. Luka yang tak sanggup ia obati seorang diri. 
Hari berganti hari. Namun, penderitaan Meii tak kunjung berhenti. Luka di kakinya terkena infeksi dan membusuk, hanya ia bungkus dengan dedaunan. Tubuhnya kini tinggal kulit pembungkus tulang, kurus kering. Ia belum makan apapun selain daun pahit yang ia dapat di sekitar gua dan minum air  dari salju yang meleleh di siang hari. Syukurlah jika hujan turun, ia bisa minum banyak pada saat itu.
Suatu ketika, seorang pemuda pemburu kayu bakar yang mencium aroma busuk dari luka di kaki Meii memasuki gua. Ia terkejut melihat sosok yang menyedihkan itu. Untung saja pemuda tersebut baik hatinya. Tanpa ragu, ia lalu menggendong Meii menuju rumahnya. Tak berapa lama, sampailah Meii di rumah pemuda miskin yang sebatang kara itu. Gubuk itu sempit dan penuh kayu bakar. Setiap hari si pemuda merawat Meii dengan tulus. 
“Aku harus memotong kakimu yang lumpuh nona. Jika tidak, ini akan terus membusuk dan menjalar ke bagian tubuh nona yang lain. Aku akan mengambil kapakku di luar. Mohon kuatlah dan tahan rasa sakitnya.”
Sang puteri sedih karena akan kehilangan kakinnya. Namun, tidak ada pilihan lain. Ia harus melakukannya. Tanpa ia sadari, sedikit rasa ingin hidup muncul di hatinya, melihat betapa pemuda miskin yang baik hati itu berharap ia bisa sembuh. 
Ketika pemuda itu mengangkat kapak dan siap memotong kaki sang puteri, tiba-tiba bilah kapak tanggal dari penyangga kayunya. Bagian besinya melayang mengenai bagian depan kepala si pemuda. Tragis, puteri Meii kembali tenggelam dalam nasib buruknya yang baru. Kenyataan bahwa dirinya lagi-lagi membawa kematian kepada orang yang tidak bersalah. Padahal, baru saja ia berfikir hendak bertahan hidup.
Kini, alam menangis untuknya. Di gubuk tua itu, sang puteri yang malang tinggal seorang diri. Dia sudah lelah menjalani hidup. Dengan kapak si pemuda tadi, ia memotong kakinya sendiri. Ia kemudian cacat. Hidupnya hancur. Siapa yang mau dengan wanita tanpa satu kaki seperti dirinya?  Ia menyumpahi hidupnya sendiri, mencaci segala nasib buruknya. Kebahagiaan dan kejayaannya bersama keluarga dahulu seperti mimpi yang sangat singkat di malam hari. Kebahagiaan itu meski diingat, tidak pernah bisa membuatnya bahagia lagi. Segala sesuatu sekarang menjadi sangat pahit. Ia merangkak dari gubuk tua itu dan meneriaki bulan. Ia meminta bulan mengutuk dirinya yang sial itu. Bulan mendengarnya dan mengutuk Meii menjadi sebatang mawar putih tanpa duri. Meii menghilang dari dunia.
Sungguh malang nasib puteri Meii. Dulu ia memiliki segalanya, namun kini ia kehilangan segalanya. Andai saja ia mendengarkan nasihat dari sang ibu, tentu ia masih bahagia saat ini dan sang ayah di langit tidak kecewa terhadapnya. Semua karena cintanya kepada lelaki itu. Bahkan cinta lelaki itu fana. Mudah direnggut oleh tipuan sihir. Nasib buruknya mengajarkan bahwa setulus apapun cinta yang kau dapat, cinta orang tualah yang paling abadi. Keluarga tidak akan pernah menghianati dan meninggalkan.
Mawar putih itu hidup abadi di negeri Myong. Daunnya hijau dan tak pernah gugur sepanjang tahun. Bunganya selalu merekah dan tak pernah layu. Meski tanpa matahari, mawar putih itu tak mati entah apapun musim yang dilaluinya. Tidak ada orang yang bisa mencabut ataupun memindahkannya. Mawar putih itu elok seperti puteri Meii. Sungguh mawar putih yang penuh misteri.
Kisah puteri Meii abadi dan dikenang di hati penduduk Myong yang baru dari masa ke masa. Penduduk Myong mewarisi kisah itu turun temurun. Kisah yang membuat setiap orang menitikkan air mata ketika larut di dalamnya. Kini kisah Meii mengisi lembaran-lembaran di buku sejarah kuno dan menjadi salah satu arsip penting peninggalan kerajaan Wailin. itulah akhir dari kisah Puteri Meii. 
Sekian.


Penulis,
Bunga Sakura

Komentar

  1. Muantep! Keren kaya bahasa, jadi bisa nambah isi gudang kata-kata Saya. Setelah membaca cerpen ini cukup menyadarkan saya, bahwa saya harus lebih banyak belajar lagi soal bagaimana bercerita, diksi dan gaya bahasa. Josss cerpenya. ceritanya juga bagus dengan alur yang gak ketebak. Dari cerita serat makna ini kita belajar bahwa cinta itu bisa membutakan, dan patuhi nasehat orang tua tentunya. Saya penasaran prihal kehidupan putri meii setelahnya. Lanjottt! entah cerita berbeda atau sama. Bunga sakura, ngohahahah😂

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16