DUA RUANG YANG MARAH

PUKUL lima sore mempertemukan dua marah milik manusia pada sebuah lantai tujuh belas september yang sunyi. Tak seperti biasanya, jalan ditelusuri oleh marah masing-masing, satu dikanan dan satu dikiri, membuat jalanan itu mati seketika. Dedaunan hijau yang layu dan burung-burung yang rontok bulunya. Juga mobil-mobil yang mendadak mogok. Langit sore kehilangan merah dan manjanya. Juga dengan hati-hati yang bahagia, melebur seketika dalam dua marah yang berjalan berjauhan.

Ia terlahir dengan kemarahan senja kepada malam yang merengut nyawanya begitu cepat. Sepanjang hidupnya, ia berusaha untuk tersenyum dan berbahagia, seperti manusia kota pada umumnya, menjaga sikap sedemikian rupa, sampai akhirnya tangan-kaki-egonya memberontak. Ia selalu marah, kepada mobil-mobil dengan satu penumpang, kepada motor-motor pelan di tengah-tengah jalan, kepada antrian lift yang memberudak dan tangga yang sepi, kepada kran air yang dibiarkan menyala tanpa tuannya, kepada lampu yang dipaksa berpijar menghadapi terang mentari, kepada dosen-dosen yang merevisi dengan hardcopi, kepada kebahagiaan-kebahagiaan ruang obrolan dunia maya, kepada usaha-usaha lelaki lain mendekati kekasihnya! Ia sadar, semuanya adalah pilihan, termasuk kekasihnya yang memilih tidak tahu apa-apa tentang lelaki lain yang mendekatinya. Termasuk juga ia, yang memilih selalu marah!

MENJELANG maghrib, dua marah itu beradu kemarahan, satu dengan diam, satu dengan terpejam dan helaan napas yang dalam. Keduanya masih menelusuri jalan yang sama dan melambat. Udara tak seriang biasanya, juga pagar-pagar rumah warga yang tak seramah biasanya. Saat itu, tidak ada sapaan yang lahir di jalanan. Dingin semakin berani menyerang bumi, menelusur diantara telinga-telinga dan dada, satu sisi, ia berusaha mendinginkan emosi, sisi lain ia telah mematikan hati. Dua marah berjalan beriringan dengan jarak antara malam dengan siang.

Ia ditakdirkan memiliki kemarahan sejenis diam, dan juga kesabaran yang tak terjumlahkan. Insan dengan senyum yang tak pernah tua. Kemarahannya adalah kediaman yang sunyi, melebihi kesendirian abadi. Mendekati senja, amarahnya tumbuh menjadi satu bunga yang anggun dengan warna kemerahan. Ia marah pada ulat-ulat yang mengelikan, ia marah pada klakson-klakson yang riuh, ia marah pada dapur-dapur yang lengket, ia marah pada orang-orang pemalas, ia marah pada donat-donat yang manis, ia marah pada kekasihnya yang dekat dengan banyak wanita!

PERSIMPANGAN jalan memaksa waktu untuk menentukan, malam yang yang seperti apa yang mereka inginkan? “ada yang ingin disampaikan nyonya?” pria itu memulai pembicaraan. Seperti halnya kebanyakan nontonan tv, ia memainkan peranan yang membingungkan, entah sebegai pria, atau sebagai kekasih yang marah. “Cuma satu, terima kasih telah menjadi lelaki satu-satunya yang membuat aku menangis! Udah itu saja, kamu hebat” ia memecah kediamannya sendiri. Kali ini ia benar-benar marah! “tentu, aku hebat, lelaki mana yang yang mampu berjalan beriringan setelah sakit hati yang luar biasa?” seketika itu, ia kehilangan dirinya sendiri. persimpangan jalan benar-benar sepi. Sore itu, keduanya telah memutuskan, bahwa malam haruslah dijalani. Setidak begitu, jika tidak bagi kekasihnya, maka cukupkan saja bagi ia, pria itu akan menjadi sisa harinya dengan malam. malam yang sunyi bagi seorang pria yang entah hatinya berada dimana.
KINI, keduanya memiliki marahnya masing-masing dan berpuas diri. Seperti halnya wanita lainnya, ia akan diam dan mengunci diri, bercerita kepada malam. sebagaimana pria pada umumnya, ia mengerti bahwa ia telah mencapai satu tingkat diatas bangsat, dan ia sendiri menyadari, beberapa saat lagi, tubuhnya akan melebur, bertransformasi menjadi debu di malam hari. Dan itu benar-benar terjadi!

Selasa, 18 September 2018.

Syee Nee

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16