Bagi yang Terlahir dengan Bahagia

BAYI YANG TERLAHIR DENGAN BAHAGIA
Oleh : Syee Nee

Untuk Fitriyani Nursyifa
MALAM bagi dia adalah sebuah tempat yang gelap dan sejuk, dimana angin lebih bebas berekspresi, berhembus, membentuk sebuah cerita yang tak akan terdengar oleh mata. Pohon-pohon menghapus jejak bunga-bunga yang berguguran, mengolahnya menjadi satu bakal kesejukan yang disebut oleh manusia sebagai embun. Dan langit akan menjadi sesombong-sombongnya cakrawala dengan sejuta bintang yang hidup di tubuhnya. Menarik bukan?
Ia berhenti menulis dan bangkit dari meja belajar milik ibunya. Dengan senyum yang getir, tertahan tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri, ia melangkah keluar rumah. Baginya, keluar rumah adalah kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian orang, dan hal yang membosankan baginya. Ketika ia harus mampu membuang segala kesedihannya, benar-benar segalanya sebelum kembali memasuki rumah. Biasanya itu akan memakan waktu sewindu, atau bahkan satu dekade apabila sedih yang harus dibuangnya begitu banyak ataupun berat.
Perihal kebiasaannya itu, ia menjadi satu-satunya manusia yang memenuhi kota dengan kesedihannya. Hampir tidak ada satu sudut kota yang tidak mendapat kesedihan darinya. Sebuah kesedihan yang menyerang seluruh penduduk kota yang tak bersalah.
ia berjalan dengan mata terpejam. Ia benci untuk melihat kesedihan yang telah ia buang, di jalan-jalan, di gang-gang, di tempat keramaian, bahkan di bawah-bawah pohon dekat kuburan. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa semoga terdapat ruang kosong di kota ini untuk membuang kesedihannya sembari trus berjalan dengan terpejam. Dan jika tak ketemu, ia akan kembali. Bukan ke rumah, melainkan ke stasiun kereta yang sudah ia lewati sepuluh menit yang lalu. Sekali lagi, bukan untuk ke rumah, ia akan menaiki kereta dan lari, lari membawa kesedihannya menuju batas kota dan keluar dari kota itu.

PAGI bagi ia adalah sebuah wahana yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Didalam pagi, ia dapat berteriak, minum kopi, menyapa udara, dan juga menyambut mimpi-mimpi yang dapat dari atap rumah untuk menjadi nyata. Seperti sebelumnya, ia berhenti menulis, kertas-kertas itu ia simpan kembali dalam pikirannya dan kembali berjalan, menuju stasiun yang tampaknya bangun kesiangan. “ah, sial.” Ia akan keluar dari kota!
Sehari berlalu, tiada yang gelisah, baik ia ataupun penduduk kota. Ia dapat membuang kesedihannya disepanjang kereta melintang, dan kota masih belum menyadari hilangnya salah satu penduduknya.
Seminggu berlalu, ia berlalu semakin jauh, tentu dengan kesedihannya yang semakin panjang dan tercecer sepanjang kereta melintang. Dan penduduk kota lebih sering keluar rumah mencari hawa dingin dan ketenangan.
Sebulan berlalu, ia benar-benar menjadi musafir yang asing dengan kesedihan yang tak berkesudahan dan terbuang. Sedangkan kota, entah bagaimana ini bermula, kota tersebut seperti labirin dengan penduduk yang bingung. Tidak ada sapa hangat tukang koran pagi hari, tidak ada obrolan panjang ketika jam makan siang, tidak ada klakson-klakson yang marah di sore hari, dan tidak ada ketenangan tidur di malam hari. Mimpi-mipi kabur tak ingin kembali. Seluruh kota hidup dalam kegetiran dan kegelisahan yang datar. Penduduk-penduduk berkeringat dan gemetar. Wabah penyakit mata yang merah menyebar ke seluruh sudut kota. Tidak ada lagi tawa, saling sapa, canda gurau, baik pada kalangan siswa, pemuda, ataupun lansia. Sebulan berlalu, sejak kepergian ia, kota menjadi tempat yang datar dan menakutkan, tidak ada lagi warna, tidak ada lagi kesedihan yang dibuang!

PADA suatu sore, puluhan tahun yang lalu, kota itu dinaungi awan biru yang indah. Semua penduduk histeris dan memenuhi ruas-ruas kota dan mengambil gambar awan yang biru dan indah. Disaat yang sama, pada sebuah rumah, seorang istri bersiap melahirkan buah hati pertama, yang mungkin juga terakhir baginya. Ia telah mengandung buah hatinya dengan matang, setidaknya sepanjang tiga musim hujan dan dua musim kemarau digunakan untuk mematangkan buah hatinya itu. Suaminya yang seharusnya telah sampai di rumah dengan membawa dukun bayi tak kunjung datang. Jelas, suami dan dukun bayi pun ikut mengambil gambar awan yang biru dan indah di langit kota. Tak ingin buah hatinya membusuk karena memasuki musim ketiga kemarau, ia berusaha sendiri melahirkan anak pertamanya. Usaha yang tak terduga. Ia berusaha mengeluarkan buah hatinya dari rahim miliknya, dengan senyuman. Senyuman yang ditahan, senyuman kebahagiaan yang kemudian berbuah pada tawa anak kecil dari selangkangannya. Ya, ia berhasil, ia berhasil melahirkan buah hati pertamanya dengan senyuman dan ia berakhir. Sang bayi yang tak mengetahui alasan apa yang membuat ibu barunya itu hanya terdiam. Ia-pun memutuskan untuk ikut merayakan kelahirannya sendiri, dengan tersenyum dan bergembira, juga bahagia. Ia tertawa, dengan tahi lalat kecil dibawah bibir sebelah kiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16