Chapter ONE


Berjanjilah, aku akan mencintai dalam diam. Tidak lagi gaduh, tidak lagi bersungut-sungut. Aku hanya akan diam, dihubungi maka aku akan menghampiri, tidak dihubungi maka aku tidak mencari.
Karena ternyata, menunggu itu lebih sulit, dibanding jatuh hati.
Bahwa sebenarnya merindukan sepihak itu menyakitkan, daripada telpon dia berjam2.
Apa aku akan kuat? Tidak tahu, padahal selama ini aku tdk terbiasa menunggu, bahwa aku selama ini di beri kabar selalu, tanpa perlu aku minta.
Mendapatkan yg lebih menarik? Pasti senang, tp trnyata yg lebih setia lebih menenangkan.
Ku mohon, jadikanlah ia hanya yg kedua, bukan yang pertama, bukan yg paling diharap2. Sadarlah, bahwa aku miliki yg lebih romantis, yang lebih sabar, yang lebih pengertian, dia juga sebenarnya tampan. Mengapa pikiran ku selalu mengarah ke sana .? Seberapa besar pengorbanan dia untuk aku? Tidak ada, seberapa jauh dia tahu ttg aku? Hanya seinchi. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan yg lebih lama bukan.?
Maka sadarlah, bahwa ia bukan siapa2, bahwa ia hanya tempat permainan. Jika ia tidak membalas kamu, maka kamu mmng bukan d jadikan yg pertama, sama seperti kamu menganggap dia hanya yg kedua.
Ku mohon, ajarilah hati ini bertahan, ajari aku mengerem dengan anggun. Agar perasaan ini tidak menggebu2, supaya dia tidak merasa terganggu, wahai....

Sudah lebih dari 48 jam ponsel ku tidak berdering, dengan suara khasnya. Ringtone yang sengaja aku atur hanya jika ia yang memberikan pesan. Berkali memutar layar, berkali melihat chat list, berkali pula aku resah. Bisa bayangkan bagaimana ramainya lalulintas pikiran buruk yang rawut mawut tiba diotakku. Semuanya, semua yang bisa dipikirkan tentang keburukan, datang di setiap inci saraf otakku. "Kemanakah?" "Apakah?" "Dimanakah?" "Benarkah?" "Ah tidak mungkin?". Sekali, sepuluh kali, ribuan kali, tidak berhenti. Seperti ramainya jalanan kota tempat aku tinggal, aktivitas memori diotakku juga sama. Apa yg bisa aku lakukan? Tidak ada. Kesal menunggu, tapi tidak bisa berbuat apa2. Pernah mencoba dengan teori "elektromagnetik hati", kirimkan pesan dari hati kepada orang yang ingin kau tuju, maka dia akan paham dan membalas gelombang mu. Cih.. dusta. Mana ada teori seperti itu, jika terbukti pun, tidak perlu aku berdongkol2 seperti ini sejak kemarin. Aku, telak, tidak percaya.
Masih ada hari esok? Masih, tapi aku tidak merasa sanggup bahkan hanya melangkah satu detik kedepan. Setiap setengah detiknya bagai cambuk bagi aku, mencekik rasaku hingga rasanya tidak mau lagi aku menyimpan rasa. Tapi bagaimanalah, rasa yang ada tidak pernah dibentengi, maka ketika ada yg datang, ia dengan mudahnya dikekang. Kasihan.
Aku.. baiklah, lupakan dulu. Kita tunggu hari esok

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16