JUARA TIGA LOMBA CERPEN ; Setelah Matinya makna


Cerpen karya Matahari*
----------------------------



Makna telah dikuburkan tadi siang.

Rumahku masih ramai dengan pelayat. Mereka datang berpakaian gelap-gelap, membawa setangkai lily putih kesukaan Makna.

Padahal sudah kusuruh mereka datang berpakaian terang-terang. Membawa mawar, anggrek, basil, atau apa pun itu. Yang jelas bukan lily. Bukan semua yang bakal mengingatkanku pada kesayanganku.

Aku dan Makna adalah sahabat karib. Kami terlahir di hari yang sama. Tumbuh bersama, dan saling jatuh cinta. Tanpa makna, aku hanyalah semu. Dan tanpaku, makna adalah lumpuh. Lalu sesaat setelah aku mempersuntingnya, memutuskan untuk selalu bersama, pekerjaan datang layaknya air bah.

Setiap hari, pesanan datang silih berganti. Dari seorang pengacara, pebisnis, penyair, politikus, ilmuan, guru, bahkan dari muda-mudi yang duduk berdua di tepi pantai. Mereka membutuhkanku, sedangkan aku membutuhkan Makna. Mau tidak mau, pemesan harus membayar dua kali lipat. Untukku, dan untuk Maknaku.

Berkali-kali Makna mencoba mengingatkan. Tapi aku sudah terlanjur besar kepala. Tidak ada pekerjaan yang tidak berhak mendapat bayaran. Aku bekerja keras, sampai-sampai membawa istriku dalam pekerjaan.

“Masuklah, Nek!” ujar Makna, di sebuah malam saat gerimis membasahi halaman dan atap rumah.

Aku tengah berbaring di kamar waktu itu. Setelah tadi siang pengacara menyewaku untuk sebuah sidang yang sangat alot, aku begitu kelelahan. Seharusnya begitu pula dengan Makna. Dia sama lelahnya denganku. Namun, saat bel berbunyi, dan seorang nenek-nenek berpakai compang-camping terlihat di intercom, dia langsung turun dari tempat tidur dan pergi membukakan pintu. Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk mencegahnya. Aku hanya bisa mencuri-curi dengar percakapan mereka dari kamar. Aku menolak untuk tertidur. Setidaknya, aku harus tau apa yang diminta nenek itu.

“Apa Nenek menginginkan secangkir teh? Malam ini begitu dingin. Aku yakin kehangatan dan rasa manis dari teh akan membuat percakapan kita panjang dan menyenangkan.”

“Duduklah, Nak! Aku tidak membutuhkan teh, atau pun pembicaraan yang panjang. Waktuku tidak sepanjang itu.”

Aku mendengar istriku bergumam sedih. Maknaku terlalu baik hati. Bisa saja nenek itu hanya berdusta supaya ia tidak perlu membayar. Aku berhanjak turun dari tempat tidur. Melangkah mengendap ke ruang tamu. Aku berdiri di balik dinding dekat pintu yang menghubungkan ruang tamu dan lorong kamar. Mengantisipasi jika nenek itu memang benar ingin menipu Maknaku.

“Ceritakanlah, Nek! Apa yang membuatmu datang di tengah malam yang dingin ini, terlebih dengan waktumu yang tak lagi panjang.”

“Aku mempunyai seorang cucu yang tidak bisa mendengar. Orang tuanya telah lama meninggal. Aku yang telah tua dan tak sanggup lagi bekerja, terpaksa membesarkannya dalam kemiskinan. Aku begitu senang ia membantuku di ladang setiap saat, namun di waktu yang bersamaan, aku begitu sedih melihatnya terpaksa bekerja di usianya yang masih begitu muda. Orang-orang menjauhinya karena kekurangannya. Kini, saat waktuku hampir habis, aku begitu khawatir meninggalkannya sendirian.”

Mereka berdua mengusap air yang mengalir dari sela mata masing-masing. Makna menangis bahkan untuk orang yang tak ia kenal. Aku menyukai bagian dirinya yang baik hati, tapi aku juga khawatir orang-orang justru akan memanfaatkan kebaikan hatinya.

“Lalu, apa yang kau butuhkan dari kami, Nek?” tanya Makna.

“Aku tidak butuh bantuan kalian. Aku hanya butuh bantuanmu. Seperti yang ku katakan tadi, cucuku tuli, Nak!”

“Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Aku tak tahu apa bisa membantumu atau tidak, Nek!”

“Kau hanya perlu mengunjungi cucuku, Nak! Mengusap kepalanya. Tersenyum padanya. Kau adalah Makna, cukup dengan melakukan itu, maka pesan yang begitu ingin kusampaikan padanya akan tersampaikan, sebaik-baik penyampaian yang tak bersuara. Kumohon, Nak! Ikutlah denganku!”

Nenek itu menarik tangan Maknaku. Aku tahu ia tak bisa menolak, karena itu aku langsung keluar dari persembunyianku dan mencoba menghentikan mereka.

“Istriku tak akan pergi kemana pun malam ini, Nenek Tua” ucapku menarik tangan Makna dan menyembunyikannya di balik punggungku.

“Tapi, sayang! Nenek ini butuh pertolonganku” balas Makna.

Aku menggeleng mantap. Nenek itu terlihat sedih.

“Mengapa kau menolakku anak muda?” tanyanya.

“Kau hanya mencoba menipu istriku. Tak pernah ada orang yang hanya membutuhkan Makna! Orang-orang selalu membutuhkanku, dan aku membutuhkan Maknaku. Selamanya selalu begitu!”

“Cucuku tak bisa mendengar, Nak. Kehadiranmu tidak akan membantu!”

Darah naik ke kepalaku. Aku merasa begitu dilecehkan! Orang-orang selalu memanggilku, memintaku melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya. Aku menolong pengacara memenangkan kasus, menolong politikus berpidato, membantu ilmuan melakukan presentasi, bahkan terakhir kali aku dipekerjakan oleh president. Seorang nenek tua lusuh mengatakan bahwa ia tak membutuhkan bantuanku? Cih! Seharusnya dari awal ia bilang saja kalau dia tidak bisa membayarku!

“Pergilah, Tua! Aku dan istriku harus beristirahat untuk persidangan esok hari” ucapku mendorong nenek itu dan membanting pintu.

“Kau seharusnya tidak bicara begitu!” teriak Makna. Ini pertama kalinya ia berteriak padaku.

“Kau lebih membela wanita tua lusuh itu daripada aku?” tanyaku balas berteriak.

Maknaku menangis.

Aku berteriak kesal. Semuanya baik-baik saja sejam yang lalu. Kami duduk bersandar di kepala kasur sambil menceritakan banyak hal. Makna bermanja-manja di pangkuanku, tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

Dasar tua sialan!

Makna berlari ke kamar, mengambil jaket, dompet, dan kunci mobil. Aku tak bisa mencegahnya. Ada bisikan di hatiku yang bilang bahwa aku akan menyesal jika aku mencegahnya pergi.

Keesokan harinya, aku datang ke pengadilan tanpa Makna. Kesayanganku belum pulang sejak semalam. Aku terpaksa berangkat sendirian.

Pengacara menyalamiku ramah. Senyumnya lebih lebar lagi saat tahu bahwa aku datang sendiri. Uang dari klien akan lebih banyak masuk kantongnya, aku yakin dia berfikiran seperti itu.

Persidangan berjalan seperti biasa. Bahkan kali ini, aku dengan lebih mudah memenangkannya. Tak ada Makna yang mencegahku memberitahu kebusukan lawan. Aku bebas menyampaikan apa saja di pengadilan itu.

Kabar bahwa aku berkerja sendiri tersebar begitu cepat. Permintaan datang dua kali lipat lebih banyak. Tanpa Makna, aku berkerja lebih cepat, dan orang-orang dapat membayarku lebih murah. Kupikir, tanpa Makna aku hanyalah semu! Tapi itu salah! Seperti Makna yang tak membutuhkanku malam itu, aku pun tak membutuhkan Makna lagi dalam pekerjaanku. Ia bisa jadi ibu rumah tangga saja. Mengurus rumah, berbelanja, memasak, dan suatu hari membesarkan anak kami. Itu ide yang bagus.

Sepulang dari pengadilan, aku melihat Makna duduk di teras belakang, memandangi kolam ikan dengan tatapan kosong.

“Nenek itu meninggal, Sayang. Tadi malam, saat aku menemui cucunya yang sedang terlelap” ujarnya.

Aku membawanya dalam pelukanku.

 “Baru kali ini aku merasa begitu bermanfaat bagi orang lain. Nenek itu benar. Cucunya tuli. Ia hanya tersenyum saat aku mengusap kepalanya, dan tersenyum kepadanya. Aku bahkan tak perlu mengucapkan apa pun.”

“Jadi, kau bilang kau juga sudah tak butuh padaku lagi?” tanyaku membentak.

Maknaku terkejut.

“Mulai besok, aku akan bekerja sendiri. Kau tetaplah di rumah! Jangan pergi kemana pun! Jangan mengajak masuk siapa pun! Tetaplah di rumah dan jalankan tugasmu sebagai ibu rumah tangga! Dan ingat, jangan berbicara dengan siapa pun!” ucapku mencoba mengabaikan iba akan rasa sedih yang terpancar di matanya.

Ini adalah pertengkaran hebat pertama kami. Aku dan Makna saling diam, tak berbicara sedikit pun sejak itu. Aku makin sibuk dengan pekerjaan yang datang silih berganti. Aku selalu pergi saat ia belum terbangun, dan selalu pulang hanya untuk melihatnya tertidur di sofa dengan jejak air mata yang sudah kering.

“Apa kau selalu menungguku pulang?” bisikku di telinganya. Ia yang tertidur tentu tak mendengar.
Keesokan-keesokan harinya, jadwalku makin menggila. Aku hanya pulang sekali tiga hari, itu pun untuk sekedar mandi, mengambil pakaian ganti, dan melihat Maknaku barang semenit dua menit. Kami masih belum bicara.
***
Maknaku telah dikuburkan tadi siang.

Rumahku masih ramai dengan pelayat. Mereka datang berpakaian gelap-gelap, membawa setangkai lily putih kesukaan Makna.

Padahal sudah kusuruh mereka datang berpakaian terang-terang. Membawa mawar, anggrek, basil, atau apa pun itu. Yang jelas bukan lily. Bukan semua yang bakal mengingatkanku bahwa sebenarnya, justru aku lah yang membunuh Maknaku.

Waktu itu aku tak sadar bahwa ia tengah sakit. Tubuhnya semakin kurus dan rapuh. Malam dimana aku pulang dan tidak menemukannya di sofa, aku malah menemukannya tergeletak di kamar mandi.
Dokter bilang seharusnya tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Dia kesepian, dan sepi adalah pembunuh yang lebih kejam dari penyakit mana pun.

Aku membunuh maknaku.

Membuatnya merasa sendiri dan sepi. Melarangnya berbicara. Seharusnya aku ingat! Bahwa Makna tanpaku adalah lumpuh.

Di Antara barisan pelayat yang datang, akhirnya kutemui seorang berpakaian cerah. Gadis kecil itu memakai gaun kuning dengan rok kembang selutut. Di tangannya ada sebuah buku dan pena. Langkahnya mantap menuju ke arahku.

Dia seperti mencari-cari sesuatu di buku itu. Lalu saat tiba pada halaman tertentu, ia memperlihatkannya padaku.

Apa kau mengusap kepalanya dan tersenyum kepadanya?

Aku melihat bingung pada anak itu. Ingatanku membawaku pada malam dimana seorang nenek datang meminta pertolongan Makna untuk cucunya yang tuli. Maknaku mengusap kepala anak ini, dan tersenyum padanya.

Gadis kecil itu memberikan buku dan penanya padaku. Belum sempat aku menjawab, sebuah panggilan masuk dan pesan berturut-turut masuk ke ponselku.

“Kita kalah telak di pengadilan! Hakim tak percaya pada KATA tanpa MAKNA! Kau harus ganti rugi!”

“Rakyat tak lagi percaya pada politik tentang ketulusan. Mereka bilang, mereka tak perlu KATA! Mereka perlu MAKNA!”

“Murid-muridku jadi pembangkang! Kau tahu kenapa? Karena tanpa MAKNA, kau hanya KATA! Kau tak bisa mendidik tanpa MAKNA!”

“Gebetanku menolakku! Padahal aku sudah menghafalkan seluruh KATA yang harus kusampaikan. Tapi dia bilang, seluruh laki-laki mengucapkan hal yang sama. KATA tanpa MAKNA hanya kebohongan! Gombalan!”

Lagi-lagi pesan dan panggilan masuk ke ponselku. Keringat dingin mengalir begitu saja melewati pelipis dan turun ke leher.

Gadis kecil di depanku masih menunggu.

Aku adalah Kata. Aku dan Makna adalah sahabat karib. Kami terlahir di hari yang bersamaan. Tumbuh bersama, dan saling jatuh cinta. Tanpa makna, kata hanyalah semu. Dan tanpa kata, makna adalah lumpuh.

Setelah matinya makna, aku hanya membuat dunia makin rumit. Kini, tak ada lagi orang yang saling mempercayai satu sama lain.
TAMAT

*Sastra adalah salah satu cara menyumbangkan pemikiran strategis yang disampaikan dengan ringan, dan menyenangkan. Nama Matahari, anggota CSSMoRA UPI Bandung angkatan 2016 jurusan Teknologi Pendidikan, alumni Madrasah Sumatera Thawalib Parabek. Lahir di Bukittinggi, 7 Maret 1998. Email Matahari@student.upi.edu WA/Hp. 081374989361. No Rekening 3278-01-031948-53-6 (BRI a.n. Matahari)

Komentar

  1. Wow luar biasa ceritanya. Unik nama tokohnya dan konflik yang menarik

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Jejak Kesehatan: Dari Tradisi ke Teknologi Modern

Medical Training CSSMoRA UIN JAKARTA 2025

Halal Bihalal CSSMoRA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1446 H: Bersama Meraih Berkah, Bersama Membangun Ukhuwah