JUARA SATU AKSARA PUISI ; Perempuan Pemecah Aksara
oleh : ragita anggaritna
Batuan-batuan kata yang tersaji di depanmu.
Tak ubah kerikil-kerikil kecil yang pecah oleh tanganmu.
Sedang di dadamu, pintu-pintu rapat tertutup.
Rayuan sunyi yang diam-diam menelusup ke dalam tubuhmu.
Tak mampu menembus dinding hatimu.
Dan ia harus kembali tersungkur melihat kenyataan.
Seorang perempuan memecah aksara ditangannya.
Seraya berkata:
Aku bukan perempuan pemuja sajak!
Sejak sajak yang ia berikan kau lempar ke lautan.
Ia mulai paham,
kau adalah perempuan yang tak pernah mengharap apa-apa selain
kebahagiaan.
Luka yang bersarang, beranak dan berpinak tak sempat engkau
ceritakan.
Mimpi-mimpi indah tentang pertemuan kedua yang telah ia ramu
sedemikian rupa.
Tak lagi ditemu dari bangun tidurnya.
Ia lupa, tidur adalah upaya melupakan segala.
Sedang mimpi hanyalah kenyataan yang dipalsukan.
Di hari kala bait puisi ia rajut dari tubuhmu yang mulai
pergi.
Kamu menjadi bait paling hilang dari puisinya.
Dikotak tempat biasa ia merapikan sajak.
Aksara-aksara berhamburan keluar, tercecer dari kata-kata.
Ia jadi lelaki sendirian bercermin di muara-muara.
Bersetubuh dengan sepi.
Renungnya diantar pulang oleh belalang dan kumbang.
Terbayang sajaknya berlarian.
Tercebur ke dasar sungai yang menyiapkan pekuburan.
Beberapa tenggelam ke dasar samodera usai kau lemparkan.
Duhai perempuan pemecah aksara.
Telah berkeping sajak yang kau hancurkan.
Kata-kata tak lagi bermakna.
Puisi hanya sekedar bait yang kehilangan barisan.
Tapi ia tak pernah berhenti menyulam kata.
Berharap apa yang ia tulis sempat kau baca.
Meski berkali-kali sajaknya kau suruh kembali.
Sebab telah kau ubah datang jadi pergi.
Pulang adalah pilihan satu-satunya.
Untuk memadamkan senyum yang terbakar tanpa sengaja.
Ngawi, 24 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar