JUARA DUA LOMBA CERPEN ; Sehari Menjelang Kirab
oleh : Siti Mutmainah*
Suasana
menjelang diadakannya Kirab Apem Sewu sudah mulai terasa. Aroma apem yang
dibuat oleh ibu-ibu mulai tercium di beberapa titik kampung. Pemuda-pemudi terlihat
semakin aktif berlalu-lalang, sedang membuat rancangan gunungan, kata mereka.
Ada juga yang latihan marching band. Bapak-bapak pengurus desa sibuk berkumpul
dan berbincang demi memantapkan konsep kirab tahun ini.
Kirab
Apem Sewu adalah tradisi dengan upacara membagi-bagikan kue apem sejumlah
seribu yang dilakukan oleh masyarakat kampungku, namanya Kampung Sewu.
Kampungku adalah salah satu dari sekian banyak kampung yang terletak di Kota
Surakarta. Kirab ini hanya dilakukan ketika bulan Zulhijah. Apem akan diarak
dari situs Pohon Pamrih menuju prasasti Apem Sewu.
Aku
pernah mendengar dari sesepuh kampung kami, katanya kirab ini adalah wujud rasa
syukur kami. Kami yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo tak pernah
terkena bencana banjir lagi, jadi harus bersyukur. Rasa syukur kami ungkapkan
melalui berbagi apem. Kata sesepuh itu juga, kirab ini dulunya adalah perintah dari
Ki Ageng Gribig, seorang pemuka Islam yang menyebarkan Islam di daerah kami. Kirab
tetap kami lakukan setiap tahunnya dengan disesuaikan perkembangan zaman.
Semua
orang kampung gembira. Laki-laki perempuan, sesepuh, orang tua, anak muda, juga
anak-anak kecil. Tak terkecuali aku, Ibu, dan kakakku. Sembari makan, kami
sering memperbincangakan kirab yang dilakukan dua hari ke depan. Kakaku, Agus
yang sedang menempuh studi di tempat Pak Habibie sekolah dulu, bahkan rela
pulang. Mumpung bisa membaur dengan warga, katanya. Aku yang sedang berburu
ilmu di Kota Pelajar juga tak mau melewatkan kirab.
Tapi
ada satu orang yang terlihat biasa-biasa saja dengan adanya kirab. Bapakku tak
pernah menampilkan wajah gembira dengan adanya kirab ini. Beliau yang sibuk
bolak-balik ke negeri tetangga dan negeri antah berantah tak pernah terlibat
dalam kirab ini. Menonton pun tidak, apalagi membantu persiapan kirab.
Dari
dulu, Bapak selalu punya jadwal pergi ketika kirab sedang dilakukan. Aku sering
ditanya tetangga perihal Bapak yang tak pernah terlihat batang hidungnya ketika
kirab.
“Murti,
kemana Bapakmu itu to? Ndak pernah kelihatan kalo ada kirab. Sibuk
sekali ya?” taya Bu Sastro, tetangga kami.
“Iya,
Bu. Bapak sekarang ada di Jepang. Sedang penelitian katanya.” jawabku dengan
lirih.
“Begitu
to. Mbok kapan-kapan kamu ajak ke kirab.” desak Bu Sastro.
Selain
ibu-ibu, bapak-bapak juga sering menanyakan kemana Bapak pergi. Aku hanya
menjawab apa yang kutahu. Padahal yang kutahu hanya bahwa Bapak akan pergi ke
negeri seberang untuk memberitahu dunia kehebatan temuannya.
***
Kirab
tahun ini sepertinya sedikit berbeda. Ibu memberitahuku bahwa Bapak tidak akan
pergi ke luar negeri bulan ini, juga bulan depan. Berarti kemungkinan Bapak
bisa menonton kirab yang akan dilakukan dua hari lagi. Ingin rasanya aku pergi
ke kirab menggandeng tangan Bapak, dengan begitu aku tidak akan disuguhi beribu
pertanyaan oleh orang-orang kampung.
Tak
disangka, hari ini bapak menyempatkan keluar dari ruang kerjanya. Padahal
biasanya ia tak pernah keluar, walau hanya untuk menyapa tetangga. Beliau
selalu sibuk berhubungan dengan kolega-koleganya di luar negeri melalui email. Tapi
hari ini pagi-pagi benar beliau benar-benar keluar dari ruang kerjanya dan
duduk santai di kursi di teras rumah.
Bapak
membaca koran dan sesekali menyeruput kopi yang dibuatkan Ibu. Mata Bapak mengamati
isi koran dengan seksama dan sesekali manggut-manggut. Bapak hanya menoleh
sebentar ketika ada tetangga yang lewat dan menyapanya. Selebihnya ia terpaku
dengan koran itu.
Ketika
waktu makan siang, Bapak masuk ke rumah dan langsung menuju ruang makan. Ibu tak pernah telat dalam menyiapkan menu
makan siang kami. Mengekor kakak , aku juga msuk ke ruang makan. Ketika di
ruang makan, aku terdorong untuk bertanya ke Bapak.
“Pak,
bapak sedang libur?”
“Iya.
Istirahat sebentar. Sambil mencari inovasi.” jawab Bapak dengan nada datar.
“Bagaimana kuliahmu, Nduk?” tanya Bapak tiba-tiba.
“Anu...
. Semuanya berjalan dengan baik, Pak. Berkat doa Ibu Bapak juga.”
“Agus?”
“Kuliah
Agus juga berjalan dengan baik, Pak.”
“Pak...
. Bolehkah Murti bertanya sesuatu?” tanya saya dengan nada hati-hati.
“Tanya
saja.”
“Dua
hari lagi kan ada Kirab Apem Sewu. Bapak mau datang tidak?”
Bapak
memandangku lamat-lamat. Ibu dan kakak menghentikan makan mereka dan ikut
memandangiku. Bapak lantas menjawab pertanyaan.
“Buat
apa datang? Apa yang bapak dapat dari kirab?”
Mas
Agus dan Ibu hanya diam. Tapi aku mencoba memberi jawaban yang baik untuk Bapak.
“Ini
sebagai perwujudan syukur Bapak.”
“Bukankah
bisa dengan cara lain? Perjalanan Bapak negeri seberang juga dalam rangka
bersyukur.” elak Bapak.
“Bapak
kan bisa beramah tamah dengan tetangga. Hubungan Bapak dengan tetangga dapat
menjadi lebih dekat dan erat.”
Bapak
terdiam mendengar kalimat terakhirku. Sepertinya aku telah menyinggungnya,
karena pada kenyataanya hubungan Bapak dengan tetangga kurang berjalan dengan
baik. Setelah terdiam sebentar, Bapak lalu masuk ruang kerjanya. Ia manutup
pintu dengan keras, dan tak pernah keluar dari ruang kerjanya semenjak siang
itu. Bapak juga tidak mengimami kami solat magrib seperti biasa.
***
Tengah
malam, aku terbangun karena suara teriakan. Sepertinya dari ruang kerja Bapak. Aku
bergegas keluar kamar. Begitu juga dengan Ibu. Mas Agus juga terbangun dan keluar dari kamar
tidurnya. Ia lantas menghampiri kami berdua lalu bertanya gerangan apa yang
terjadi.
Kami
mendengar teriakan yang lebih keras lagi dari kamar Bapak. Sontak kami berlari
ke ruang kerja bapak. Ibu membuka ruang kerja Bapak dan mendekatinya, diikuti
saya dan Mas Agus. Tapi setelah masuk, kami hanya melihat Bapak yang tertidur
di kursi goyang di ruang kerjanya. Lama mengamati Bapak, kami tak mendengar
teriakan lagi. Ibu akhirnya menyuruh kami kembali ke kamar kami masing-masing,
begitu juga Ibu.
***
Subuh
datang, Bapak tak jua keluar ruang kerjanya, begitu juga hingga siang. Bapak
tak juga keluar bahkan untuk makan. Ibu berpikiran mungkin Bapak lelah. Malahan
Ibu tak berniat sedikitpun untuk masuk ruang kerja Napak.
Sementara
itu, suasana di luar rumah kami semakin ramai, karena besok Kirab Apem Sewu
dimulai. Aku tak menyiapkan persiapan yang terlalu berarti, hanya menyiapkan
kamera terbaik yang kupunya. Aku dan Mas Agus rencananya akan mendokumentasikan
kirab besok pagi.
Sehabis
magrib, tiba-tiba Bapak keluar dari kamar. Ibu menanyainya, tapi Bapak hanya
berkata akan pergi ke tetangga yang sedang membuat gunungan untuk kirab besok
pagi. Ia berkata ia akan membantu membuat gunungan RW kami agar terlihat paling
bagus. Hingga hari beranjak malam, Bapak tak juga pulang. Saya dan ibu sedikit khawatir
sebenarnya.
Habis
subuh, Bapak pulang dan langsung mandi. Sehabis mandi, ia masuk ke kamarnya
lalu keluar dengan setelan baju yang cocok. Lantas mendekati aku yang masih di
meja makan.
“Nduk,
ikut Bapak ke kirab ya. Agus dan Ibu juga diajak ya.”
Aku
bak disambar petir mendengar pernyataan Bapak barusan. Bagaimana tidak. Bapak
yang sebelumnya tak pernah sudi datang
ke kirab, kini mendadak bersemangat sekali untuk datang
Alhasil
aku pun berangkat menonton kirab bersama Bapak, Mas Agus dan Ibu. Terlihat Bapak sangat menikmati pertunjukan kirab.
Saat apem di gunungan diperebutkan, Bapak juga tak kalah semangat mengambil
apem-apem tersebut.
Ketika
pulang, aku memberanikan diri bertanya kepada Bapak.
“Mengapa
Bapak tiba-tiba pergi ke kirab?”
Bapak
diam. Lalu menerawang jauh. Ia menjawab pertanyaanku.
“Kemarin
malam, Bapak bermimpi dikejar air bah dari Sungai Bengawan Solo ketika duduk di
teras rumah, sedang warga lain sedang menonton kirab. Bapak takut dan menjerit.
Setelah itu Bapak bermimpi warga sekampung mengejar Bapak dengan membawa obor.
”
Aku
terpaku mendengar jawaban Bapak. Kini aku tahu mengapa ada teriakan dari kamar
Bapak pada malam sehari menjelang kirab. Tapi dalam hati aku sangat bersyukur. Jati
diri Bapak sebagai wong Jowo telah kembali.
***
TAMAT
* Saya seorang
perempuan. Nama saya Siti Mutmainah. Saya dilahirkan dua puluh tahun lalu,
tepatnya pada tanggal 12 Agustus 1997 di sebuah kabupaten yang tidak terlalu
terkenal di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Purworejo. Saya merupakan anak pertama
dari dua bersaudara. Saya beragama Islam.
Saya
dibesarkan di Purworejo, dari TK Mekar di desa sendiri, yaitu Desa Sruwohrejo
hingga saya menempuh sekolah menengah atas di Madrasah Aliyah Negeri Purworejo
di pusat kota. Sekarang saya sedang menempuh studi S1 jurusan pendidikan
biologi di Universitas Negeri Yogyakarta semester 4.

Komentar
Posting Komentar