Chatting-an sederhana

 (oleh: nainawa)
 
 
Suatu senin di tahun ini. 

Azan Asar baru saja bersautan dari masjid-masjid terdekat.  Disusul dengan lantunan sholawat atau kami menyebutnya 'pujian', hal yang selama kuliah di Ciputat ini jarang kudengar. Biasanya yang pujian adalah muazin atau anak TPQ yang sudah rajin datang duluan. Hal kecil seperti ini kadang yang membuat rindu akan kampung.  Kampungku,  di mana masih banyak dijumpai pemakai Nokia 1600. Tapi sayangnya aku tidak pernah mengadakan 'survey' tentang jumlah pastinya. 

"Tolong kupaskan bawang dan brambang,  Ndhuk". 

Ibuk melanjutkan memotong wortel dan kacang panjang. Aku mengikuti instruksi. Mengupas bawang merah dan bawang putih. 

Suasana lengang sejenak setelah suara-suara pujian terhenti.  Terdengar bunyi minyak panas yang memekik (aku tidak yakin ini istilah yang benar) saat tahu dimasukkan ke penggorengan. 

Karena cerita ini bukanlah suatu demo memasak,  maka aku akan mulai mengajak Ibu mengobrol. 

"Buk,  temanku kemarin liburan ke Singapura. Sekeluarga lagi". 

Aku memulai pembicaraan sambil mengiris bawang. 

"(Temanmu)  Yang lain pada liburan kemana?".

Baru akan kujawab pertanyaan Ibuk,  telepon genggam beliau berdering. Ada panggilan masuk dari teman akrab. Hal yang dapat kusimpulkan dari monolog Ibuk di telepon adalah tentang pengajian Ahad Pon minggu ini dan beberapa hal yang tak kumengerti arah pembicaraannya.

"Ada yang 'explore' Jawa, Buk, ada yang umroh, bahkan kakak kelasku ada yang keliling Eropa".

Tidak ada ekspresi terkesan di sana.  Di wajah perempuan yang berusia hampir setengah abad itu. 

"Teman-temanmu banyak rezeki, ya". Ibuk menanggapi dengan singkat. 

Aroma tumisan sudah menyergap,  membuat perut yang puasa ini semakin meronta.

Aku mengiyakan kalimat Ibuk. Kemudian menyebutkan profesi beberapa orang tua temanku. Profesi yang berbeda level dengan pekerjaan yang digeluti Ibuk dan Bapak.  

"Sampean jangan minder, ya.  Yang penting kuliahnya ga kalah sama temenmu. Meskipun anaknya pedagang kecil ya harus semangat".

Entah mengapa mendengar kalimat Ibuk barusan,  aku merasa haru. Di dalam kalimat itu, Ibuk menguatkan.  Ibuk menyemangati. Beliau tahu bahwa putrinya ingin sekali berlibur setelah satu tahun penat belajar di kampus. Tapi maksudku membahas hal ini sama sekali bukan meminta jatah liburan. Hanya mencari topik yang menarik dibahas saat memasak. Kurasa. 

Kemudian kami melanjutkan berbincang.  Membahas kapan Ibuk dan Bapak berangkat haji.  Sekolah adik yang sebentar lagi lulus. Cicilan motor. Pengajian Ahad Pon minggu ini. 

Aku selalu dengan senang menyimak cerita Ibuk. Sesekali menanggapi dan menjawab jika ditanya. 

Kompor sudah dimatikan. Setelah salat Asar, giliranku mengantar makanan ke rumah nenek untuk buka puasa. 

Aku selalu senang tinggal di sini. Di keluarga ini.  Di kampung ini. Tidak ada istilah minder. Aku senang.  Selalu bersyukur diberi rezeki yang cukup. 

Aku men-starter motor hendak menuju rumah nenek. Ibuk datang sambil membawa bungkusan makanan untuk nenek.

"Ndhuk,  tadi teman Ibuk telfon. Katanya dia punya keponakan,  baru lulus sarjana teknik. Ganteng,  lho".

Mendengar kalimat Ibuk barusan,  aku jadi merinding.  Langsung kugas motor 'matic' dan 'ngacir' dari hadapan Ibuk. []


Diketik di kamar,  setelah makan bakso.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magis Fajar Di Ufuk Timur

Milad CSSMoRA UIN Jakarta Ke-16