penantian
“Menunggu itu berwarna” ujarku memecah kesunyian. teman-teman refleks memperhatikanku, menjeda sendok untuk tetap melayang di udara. Sekian detik suasana hening kembali.
“berwarna gimana maksudmu sep?” tanya Amin dengan sedikit gerak, mengubah posisi duduknya, condong kearahku.
“ya berwarna cak, pean ndak tau makna berwarna? pelangi pelangi hahaha” bales Adi becanda.
“uwes, uwes, habisin dulu makanannya” ucap Umar. Sepertinya dia sangat kelaparan. Tak biasanya dia abai terhadap celoteh-celoteh yang kusajikan. Teman-teman pun lanjut melahap makanan masing-masing.
***
“jadi gimana nih Sep, jelaskan kata-kata kau tadi” benar saja, sehabis makan, Umar langsung menagih penjelasan dariku.perlahan perhatian teman-teman terfokus kembali padaku. Aku menelan ludah, kali ini tatapan mereka lebih serius dari sebelumnya tadi.
“hahaha, santai Sobat, jangan gitu liatnya, grogi nih” basa-basiku pada mereka
“ayolah, kapan lagi ini kita dapat penjelasan langsung dari sang calon pujangga” balas Adi sontak.
“HAHAHAHAHA” kami ketawa bersama-sama. Ucapan adi tadi, becanda tentunya, dulu di pesantren, aku terkenal paling suka dengan merangkai kata, sekedar merangkainya, tanpa mengabadikannya apalagi memberikannya kepada orang lain, cukup untuk diriku sendiri.
“baik anak-anak perkuliahan malam ini saya mulai” candaku namun anak-anak tak merespon, mereka terlalu serius dengan topik yang kubawa malam ini.
“baiklah. Menunngu adalah sebuah proses” kata pembukaan sudah kulontarkan. Sengaja topik malam ini kubawa serius, karena hal ini sebenarnya sering terjadi disekitar kita, di kehidupan kita.
Sekilas ku liat Vira yang masih terduduk di meja depan, menunggu pesanan
“proses yang memperlambat waktu dan bahkan memberhentikannya. Dan didalamnya, selalu ada dua penantian. Berhasil atau tidak berhasil, baik atau buruk...”
“jadi atau tidak jadi... dan sebuah ketidakpastian” sela Umar tanpa permisi. Aku hanya meng-iya-kan.
“benar, itulah jawaban sederhana dari menunggu. Tapi karena menunggu adalah proses, selalu banyak hal yang terjadi didalamnya...” aku berpikir sejenak. Amin menguap, tampaknya dia mulai bosen menanti klimaks dari pembicaraanku.
“Dengan menunggu, karakter seseorang akan tampak. Dengan menunggu, tujuan seseorang akan terlihat, dari menunggu, hati akan menuai apa yang ditanamnya.” Aku menghela napas. Mengambil jarak bicara.
“karenanya, menunggu itu berwarna, tergantung dari proses yang kita jalani sebelumnya. Menunggu itu membosankan, menyedihkan bagi orang yang dalam prosesnya hanya menuntut apa yang dia peroleh diakhir penantiannya, hanya memikirkan apa yang sudah dia korbankan, tak heran jika penantian yang dilakukan hanya berdiam dalam waktu yang beku, antara tuntutan hati dan rasa besar akan usaha diri, sungguh dia tak berinjak sedikitpun dari sana”aku terhenti. Kuminum segelas air putih, lumayan untuk melicinkan kembali tenggorokan.
“sudah, sudah, kau istirahat saja Asep, aku tau maksud hatimu” ucap Umar yang melihatku seperti tenggelam dalam rentetan kata, tak kuasa lagi.
“berarti menunggu juga menyenangkan, membahagiakan, yaitu bagi orang yang ketika dia menunggu, ketika dia menanti, proses dalam hatinya terolah dengan baik, dengan matang, dia mengetahui terdapat sebuah keindahan yang dia peroleh ketika menunggu...” kulihat Amin sudah tertidur pulas, dan giliran Adi yang menguap pelan.
“menunggu itu seperti daun-daun yang perlahan gugur dari pohon yang menjadi rapuh,mereka tak bosen menunggu datangnya musim semi. Seperti alunan pengamen yang senantiasa menunggu pendengar untuk memberi koin receh atau bahkan sekedar melambai kelima jemarinya tanda ‘cukup’. Seperti... seperti itulah pokoknya hehehe, benar kan aku sep?” tanya Umar padaku, berusaha menyakinkan dirinya. Aku pun meng-iya-kan dan menyudahi bualan isengku malam ini. Jam tanganku menunjuk angka 23, cukup malam pikirku. Adi dan Amin kubangunkan, dan kamipun beranjak pergi dari warung Bu Ilmi, menuju kosan masing-masing.
“berwarna gimana maksudmu sep?” tanya Amin dengan sedikit gerak, mengubah posisi duduknya, condong kearahku.
“ya berwarna cak, pean ndak tau makna berwarna? pelangi pelangi hahaha” bales Adi becanda.
“uwes, uwes, habisin dulu makanannya” ucap Umar. Sepertinya dia sangat kelaparan. Tak biasanya dia abai terhadap celoteh-celoteh yang kusajikan. Teman-teman pun lanjut melahap makanan masing-masing.
***
“jadi gimana nih Sep, jelaskan kata-kata kau tadi” benar saja, sehabis makan, Umar langsung menagih penjelasan dariku.perlahan perhatian teman-teman terfokus kembali padaku. Aku menelan ludah, kali ini tatapan mereka lebih serius dari sebelumnya tadi.
“hahaha, santai Sobat, jangan gitu liatnya, grogi nih” basa-basiku pada mereka
“ayolah, kapan lagi ini kita dapat penjelasan langsung dari sang calon pujangga” balas Adi sontak.
“HAHAHAHAHA” kami ketawa bersama-sama. Ucapan adi tadi, becanda tentunya, dulu di pesantren, aku terkenal paling suka dengan merangkai kata, sekedar merangkainya, tanpa mengabadikannya apalagi memberikannya kepada orang lain, cukup untuk diriku sendiri.
“baik anak-anak perkuliahan malam ini saya mulai” candaku namun anak-anak tak merespon, mereka terlalu serius dengan topik yang kubawa malam ini.
“baiklah. Menunngu adalah sebuah proses” kata pembukaan sudah kulontarkan. Sengaja topik malam ini kubawa serius, karena hal ini sebenarnya sering terjadi disekitar kita, di kehidupan kita.
Sekilas ku liat Vira yang masih terduduk di meja depan, menunggu pesanan
“proses yang memperlambat waktu dan bahkan memberhentikannya. Dan didalamnya, selalu ada dua penantian. Berhasil atau tidak berhasil, baik atau buruk...”
“jadi atau tidak jadi... dan sebuah ketidakpastian” sela Umar tanpa permisi. Aku hanya meng-iya-kan.
“benar, itulah jawaban sederhana dari menunggu. Tapi karena menunggu adalah proses, selalu banyak hal yang terjadi didalamnya...” aku berpikir sejenak. Amin menguap, tampaknya dia mulai bosen menanti klimaks dari pembicaraanku.
“Dengan menunggu, karakter seseorang akan tampak. Dengan menunggu, tujuan seseorang akan terlihat, dari menunggu, hati akan menuai apa yang ditanamnya.” Aku menghela napas. Mengambil jarak bicara.
“karenanya, menunggu itu berwarna, tergantung dari proses yang kita jalani sebelumnya. Menunggu itu membosankan, menyedihkan bagi orang yang dalam prosesnya hanya menuntut apa yang dia peroleh diakhir penantiannya, hanya memikirkan apa yang sudah dia korbankan, tak heran jika penantian yang dilakukan hanya berdiam dalam waktu yang beku, antara tuntutan hati dan rasa besar akan usaha diri, sungguh dia tak berinjak sedikitpun dari sana”aku terhenti. Kuminum segelas air putih, lumayan untuk melicinkan kembali tenggorokan.
“sudah, sudah, kau istirahat saja Asep, aku tau maksud hatimu” ucap Umar yang melihatku seperti tenggelam dalam rentetan kata, tak kuasa lagi.
“berarti menunggu juga menyenangkan, membahagiakan, yaitu bagi orang yang ketika dia menunggu, ketika dia menanti, proses dalam hatinya terolah dengan baik, dengan matang, dia mengetahui terdapat sebuah keindahan yang dia peroleh ketika menunggu...” kulihat Amin sudah tertidur pulas, dan giliran Adi yang menguap pelan.
“menunggu itu seperti daun-daun yang perlahan gugur dari pohon yang menjadi rapuh,mereka tak bosen menunggu datangnya musim semi. Seperti alunan pengamen yang senantiasa menunggu pendengar untuk memberi koin receh atau bahkan sekedar melambai kelima jemarinya tanda ‘cukup’. Seperti... seperti itulah pokoknya hehehe, benar kan aku sep?” tanya Umar padaku, berusaha menyakinkan dirinya. Aku pun meng-iya-kan dan menyudahi bualan isengku malam ini. Jam tanganku menunjuk angka 23, cukup malam pikirku. Adi dan Amin kubangunkan, dan kamipun beranjak pergi dari warung Bu Ilmi, menuju kosan masing-masing.
“sudah selesai pesanannya?” tanyaku sembari menutup kembali buku catatan kecilnya.
“iya sudah, ini barusan, kamu sudah selesai membacanya?” tanyanya padaku
“ohh sudah kok, bagus, teruslah berkarya. Kamu pulang kan, yuk aku anter!”
“enggak, enggak usah Den, ini kan deket dengan rumah aku" balas Vira sembari menunduk. jemarinya tak berhenti bergerak-gerak dibelakang punggungnya.
“yaudah, hati-hati ya Vir”
“iya Den, terima kasih ya” ucapnya dengan singkat. Vira berjalan ke arah utara, sedangkan aku harusnya ke barat.
“eh Vir tunggu-tunggu...”sembariku berlari mengampirinya. Dia menolehkan kepalanya ke belakang sebelum mengubah arah badannya menghadapku.
“ada apa Den?” tanya Vira padaku. Sembari terus melangkah, jarakku kian dekat dengan vira. Dua meter, dan ku terus melangkah. Satu meter dan ku terus maju sampai akhirnya hanya beberapa senti jarak wajahku dengan wajahnya.
“eee....” kemudian kuberbalik dan bergegas berjalan. Leherku kaku tuk sekedar menengok kembali ke belakang. Aku sudah malu dan akan terus malu atas kelancanganku terhadap buku catatan kecilnya.
“seperti kepalaku yang semakin hari semakin penuh dengan warnaan bajumu, bau khas parfummu, suaramu yang terdengar aneh ditelingaku, tawamu yang keras, tanganmu yang besar dan suka memukul, sorot mata hitam-coklatmu ; Aku masih menunggumu” ucapku padamu.
Seperti itu kiranya kalimat yang kutulis dengan bolpoint biruku di buku catatannya. Kuharap dia tahu, ada makna lain dari “mengapa aku menunggu” ; Kamu
Komentar
Posting Komentar